Rebutan Jadi Presiden Dengan Tujuan Apa?
Sejak tahun 2002 dunia politik kita sangat gaduh dengan perjuangan beberapa tokoh menjadi Presiden RI melalui pemilu langsung. Demikian juga dengan pemilihan Gubernur, Walikota, Bupati dan Camat. Untuk menjadi Presiden beberapa calon bersedia mengeluarkan uang sampai ratusan milyar rupiah. Pertanyaannya uang diperoleh dari mana? Banyak sekali argumentasi dikemukakan. Yang diyakini oleh banyak orang dana sangat besar itu diperoleh dari pengusaha yang bersedia memberikannya dengan motif dagang, yaitu apabila berhasil, kepadanya harus diberikan fasilitas dan bahkan dijadikan Menteri dengan kekuasaan yang bisa dipakai untuk memperkaya diri secara sewenang-wenang.
Kalau keyakinan banyak orang ini benar, demokratisasi Indonesia yang dikawal oleh National Democratic Institute (NDI) dari Amerika Serikat sudah menanamkan korupsi ke dalam sistem politik secara struktural pada para pimpinan dalam berbagai jenjangnya, karena sang pemimpin dari Presiden sampai Camat harus membayar kembali pembiayaan dalam jumlah besar yang dipakai untuk mendudukannya pada kekuasaan yang sedang diembannya. Sangat besar kemungkinannya bahwa caranya memperoleh uang untuk membayarnya kembali dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya.
Implikasi yang lebih serius ialah adanya pikiran yang korup atau corrupted mind sejak awal yang bersangkutan ingin menjadi pemimpin. Mengapa? Karena tidak merasa ada yang salah dalam berutang untuk merebut kekuasaan. Bahkan mungkin tidak sadar. Corrupted mind seperti ini lebih berbahaya dibandingkan dengan korupsi dalam bentuk-bentuk lainnya.
Mengapa? Karena pemberantasan korupsi yang sekarang sedang berlangsung di kemudian hari akan selalu berpacu dengan korupsi baru oleh para pimpinan negara yang baru terpilih pada semua jenjang, karena mereka harus mengembalikan uang yang dipakai dalam memenangkan pemilu yang membawanya pada jabatannya yang sekarang. Apakah kecuali menyalahgunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal ada juga perwujudan corrupted mind yang lebih berbahaya, tetapi tidak kasat mata atau lebih intangible? Teoretis dan potensinya ada, yaitu kalau obsesinya memperoleh dan/atau mempertahankan kekuasaannya sudah mulai menggantungkan diri pada kekuasaan lebih besar dengan dukungan politik yang adi kuasa. Biayanya bisa sangat mahal, yaitu kehilangan kemandirian bangsa, penyedotan dan pengedukan kekayaan alam kita. Bisa juga membiarkan kekuatan asing memecah belah NKRI supaya bagian-bagian NKRI yang sangat kaya sumber daya alam dan mineral memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan kekuatan adi kuasa asing.
Reformasi demokratisasi Indonesia seperti yang digagas dan dikawal oleh NDI membawa kerusakan jiwa pada para pemimpin kita. Kita tercengang menyaksikan orang Indonesia yang hakikatnya rendah hati dan “pemalu” mendadak sontak bisa menyombongkan diri berkeliling seluruh Indonesia, menepuk dada di depan massa sambil mengatakan: “Wahai rakyatku, aku ini orang hebat. Pilihlah aku menjadi Presidenmu !!” Banyak orang termasuk saya tidak habis pikir bagaimana mungkin bisa terjadi perubahan jiwa yang demikian drastisnya?
Biasanya Presiden yang sedang berkuasa ingin menang lagi dalam pemilihan berikutnya. Supaya bisa menang dia harus menjaga agar dirinya senantiasa sepopuler mungkin. Maka keseluruhan kebijakannya selalu dihantui oleh penjagaan popularitas, sehingga selalu dalam keraguan antara kebijakan yang jelas dan tegas dan kebijakan yang dapat memberikan kepadanya citra yang baik. Program kerjanya bergeser dari menjalankan program yang solid menjadi kegiatan-kegiatan ad hoc yang oleh rakyatnya akhirnya dikenali dan dijuluki sebagai program kerja pencitraan.
Bagaimana dengan yang dahulu sejak RI berdiri? Bung Karno dengan semua pemimpin seangkatannya berjuang memerdekakan bangsa kita yang sudah lama dijajah Belanda. Mereka itu para lulusan universitas di Belanda dan di Hindia Belanda. Waktu itu lulusan perguruan tinggi sangat langka, sehingga kalau mereka mau menjadi ambtenaar (pegawai negeri), gajinya sangat tinggi, bisa hidup sangat makmur. Tetapi mereka membuang semua kesempatan itu. Mereka memilih berjuang untuk kemerdekaan bangsanya dari penjajahan dengan akibat keluar masuk penjara. Karena perbuatannya yang nyata ini, rakyat merasa dan menerima bahwa yang harus menjadi Presiden beserta pemimpinnya haruslah Bung Karno beserta kawan-kawannya. Tidak ada kampanye dan tidak ada pemilihan. Begitu juga yang terjadi di India dengan Mahatma Gandhi dan Nehru, dengan Ho Chi Minh, dengan Sun Yat Sen, Chiang Kai Shek dan Mao Tze Tung, dengan Lee Kwan Yew dan masih sangat banyak lagi.
Bagaimana dengan pak Harto? Pak Harto dengan rekan-rekannya, terutama Jenderal Nasution sebagai seniornya bekerja keras memulihkan keamanan dan ketertiban. Karena perbuatan kepemimpinannya yang nyata inilah rakyat menganggap dengan sendirinya yang menjadi Presiden setelah Bung Karno adalah Jenderal Nasution. Beliau menolak. Karena itu barulah pak Harto diminta, dan beliaupun menolak karena merasa tidak siap menjadi Presiden. Setelah diminta oleh rakyat (MPR) di tahun 1968 barulah menerima jabatan sebagai Presiden dengan rasa adanya beban dan tanggung jawab maha besar di atas pundaknya. Jadi tidak menyombongkan dan membesar-besarkan diri terlebih dahulu dengan maksud supaya tanpa track record yang besar menjadi Presiden. Tidak begitu! Bekerja keras mempertaruhkan segala-galanya. Karena track record yang nyata dan besar inilah rakyat menganggap dengan sendirinya pak Harto yang menjadi Presiden setelah pak Nas menolak.
Jadi Nasution, Soeharto, seperti halnya dengan Bung Karno bekerja keras dahulu, dikenal oleh rakyat sebagai pemimpin sejati, dan baru diminta oleh rakyat. Diminta, tidak dipilih dengan cara membeli suara rakyat dalam berbagai bentuk.
Yang dilakukan selama kampanye tiada lain kecuali membangun image, pencitraan, caranya berjalan diatur, melambaikan tangannya diatur, pakaiannya diatur, mimiknya diatur. Tapi yang keluar dari pidatonya tidak ada konsep yang jelas menggambarkan kebijakan, program dan cara-cara membuat makmur bangsanya yang berkeadilan. Pencitraan atau lenggak-lenggoknya itu olehnya sendiri disebut “manuver”. Rakyat yang menyaksikan mereka bermanuver tujuh keliling menjadi mabok terlebih dahulu. Terus disodori uang untuk memilihnya.
Hampir semua orang bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa gerangan maksud dan tujuan yang sebenarnya dari para calon Presiden itu, sehingga menjadikannya demikian besar keinginannya menjadi Presiden? Banyak wartawan yang terang-terangan menanyakan kepada para calon secara langsung.
Jawabnya selalu ingin membela dan memakmurkan rakyatnya. Apa iya? Apa betul mereka orang-orang yang begitu mulianya? Menurut keyakinan saya hanya orang-orang yang betul-betul sangat-sangat mulia yang mau berkampanye demikian kerasnya sambil mengeluarkan uang demikian besarnya, tetapi sama sekali tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Orang-orang yang mulia, yang idealis, yang panggilan dan pilihan hidupnya ikut serta dalam penyelenggaraan negara untuk kepentingan rakyatnya tanpa pamrih terlihat jelas dalam hidupnya sehari-hari. Contoh-contoh konkretnya yalah para pendiri bangsa kita. Tidak ada satupun dari mereka yang minta kepada rakyat supaya memilihnya sebagai pejabat tinggi, apalagi sebagai Presiden setelah Indonesia merdeka.
Pemimpin sejati tidak menyodorkan dirinya. Pemimpin sejati mau memimpin kalau dibutuhkan dan diminta. Adakah pemimpin seperti itu? Ada, tetapi seperti yang ditulis di atas, pemimpin sejati seperti itu tidak akan menonjolkan diri. Pemimpin seperti itu melakukan kegiatan-kegiatan yang olehnya sendiri tidak disadari untuk kepentingan rakyat banyak. Seluruh kegiatannya sehari-hari bagaikan panggilan hidupnya yang ikut serta dalam penyelenggaraan negara yang baik. Dan karena kegiatannya sehari-hari yang tidak dibuat-buat itulah dia dikenali oleh rakyat sebagai pemimpinnya yang sejati, dan kemudian baru diminta, didesak oleh rakyat supaya mempimpin bangsanya.
Perkecualian tentu selalu ada. Tentu ada yang setelah Indonesia memasuki sistem pemilihan Presiden seperti ini ikut serta dalam pemilihan Presiden dengan maksud yang memang mulia. Namun jumlahnya terlampau sedikit, dan yang baik ini dengan mudah dapat digeser oleh kekuatan uang.
Maka sistem pemilu langsung yang dirancang oleh NDI harus kita hapus dan diganti dengan yang sudah lama kita kenal. Yaitu mencari pemimpin terbaik melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Dengan sendirinya haruslah oleh orang-orang yang arif bijaksana, atau oleh de wijze mannen van het volk.
Di Eropa, pemilu Presiden memang ada. Tetapi kebanyakan Presidennya hanya simbol. Yang berkuasa adalah Perdana Menteri, dan Perdana Menteri tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Perdana Menteri dipilih oleh parlemen yang dianggap terdiri dari de wijze mannen van het volk.
Bahwa parlemen di Indonesia tidak bisa dikatakan terdiri dari de wijze mannen van het volk urusan lain lagi. Itu menyangkut dimensi lebih luas, yaitu kerusakan mental dan moral dari kebanyakan elit bangsa kita yang sedang mengalami malaise atau general melt down.
peoplepower Juni 9th, 2012 14:20 pm
Democracy dan panggung srimulat dagelan bernama pemilu itu hanyalah ciptaan imperialis yang dipaksakan ke negara terbelakang.
Agar mereka senantiasa menghambur-hamburkan uang negara demi kekuasaan semu. Mengapa semu? Karena siapapun pemimpin yg gol, tetap harus menjalankan agenda imperialis. Agenda nasional negaranya tidak ada yang dapat dilaksanakan karena kehabisan dana.
hendi November 25th, 2013 18:14 pm
Saya merasa kagum dengan tulisan-tulisan yang disampaikan oleh Bpk. Kwik Kwien Gie, analisa dan pemikiran seperti ini yang harus diwariskan pada anak bangsa. Pemimpin mesti sadar dan rakyat harus bangun dalam tidur panjangnya, kita terlalu lelah diberikan mimpi-mimpi yang indah oleh asing. Semoga Bpk.Kwik diberikan umur yang panjang dan terus berkarya untuk bangsa ini, saya tidak akan pernah meragukan Nasionalisme Bpk…..
askhabul khafi Juli 7th, 2016 12:45 pm
Rusaknya NKRI akibat ulah para pemimpinnya sendiri bukan karena salah rakyatnya