AUTOMATIC EXCHANGE OF INFORMATION (AEoI) – THE END OF TAX EVASION ? (KEY NOTE)
KEY NOTE
AUTOMATIC EXCHANGE OF INFORMATION (AEoI)
THE END OF TAX EVASION ?
Seminar Nasional pada Kwik Kian Gie School of Business
15 September 2016
Oleh Kwik Kian Gie
Telah lama beredar berita, bahwa negara-negara OECD mengambil prakarsa untuk menggalang kerja sama dengan sebanyak mungkin negara di dunia, dalam bidang keterbukaan data keuangan dari orang maupun badan hukum, yang mempunyai harta di negara manapun juga. Artinya, setiap pemerintah dari negara manapun, bisa melihat kekayaan dari setiap warga negaranya, di manapun dia berada, melalui bank account dan/atau sumber-sumber lain.
Entah bagaimana prosesnya, berita tersebut menjelma menjadi keyakinan bagi sangat banyak orang, termasuk pemerintah Indonesia, bahwa memang benar demikian adanya. Pemerintah Indonesia menggunakan “kenyataan” ini sebagai peringatan, bahwa sebaiknya menggunakan Tax Amnesty (TA), karena kalau tidak, di tahun 2017 dan 2018 toh akan ketahuan semua harta gelap yang disimpan di manapun, karena akan berlakunya Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI).
Kecuali dikatakan secara lisan oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan dan entah oleh siapa lagi, akan berlakunya AEOI dalam tahun 2017 atau 2018 untuk Indonesia, juga dicantumkan dalam iklan yang dimuat oleh pemerintah di hampir semua media. Butir dari iklan itu berbunyi :
“Data Kekayaan di Dalam & Luar Negeri akan Terbuka mulai tahun 2017”.
Kalimat tersebut secara implisit berarti bahwa Indonesia sudah pasti ikut serta dalam AEOI secara efektif mulai tahun 2017 dengan semua negara di dunia secara multilateral, atau secara bilateral dengan setiap negara di dunia. Dalam hal bilateral, dapat kita bayangkan betapa banyaknya perjanjian yang harus disepakati dan diratifikasi oleh DPR RI.
Yang saya pahami tidak semudah itu. Tidak mudahnya disebabkan karena persyaratan dan aturan dalam menyusun data yang dipertukarkan sangat rumit. Sepanjang pengetahuan saya, pemerintah Indonesia belum pernah memberikan keterangan yang mendetil tentang Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters (AEOI) kepada rakyatnya, sehingga kita belum mengetahui apakah butir dalam iklan tersebut tadi memang akan terwujud ?
Maka saya mempunyai keraguan yang besar apakah Indonesia mampu memenuhi semua persyaratan unutk ikut serta dalam AEOI dalam tahun 2017 atau 2018. Keraguan saya lebih besar lagi, setelah saya membaca buku setebal sekitar 310 halaman yang diterbitkan oleh OECD, berjudul “”Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters”.
Keraguan saya semakin besar lagi, kalau saya merenung, apakah para Akuntan Publik, maupun para Akuntan Internal kita mampu melakukan due diligence yang dituntut oleh apa yang dinamakan Common Reporting Standard.
Forum ini bukan tempatnya untuk membahas isi dari Common Reporting Standard. Isinya sangat teknis, rumit, tidak untuk orang awam, dan akan makan waktu lama untuk membahasnya secara mendalam.
Maka dalam key note ini, saya akan menggambarkan sejarah dan duduk perkaranya AEOI dengan Common Reporting Stanard-nya dewasa ini. Kampus ini masuk dalam mailing list oleh OECD, sehingga kami akan selalu up to date dengan perkembangan pelaksanaan AEOI.
Yang akan saya kemukakan didasarkan atas studi dari dokumen-dokumen otentik tentang AEOI yang diterbitkan oleh OECD, beserta semua organisasi dan lembaga yang mereka bentuk untuk tujuan AEOI tersebut.
SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA SECARA KRONOLOGIS
Pikiran awal datang dari Menteri Keuangan Jerman, Schäuble di tahun 2014. Dipimpin oleh 5 negara, yaitu Jerman, Inggris, Perancis, Italia dan Spanyol, 51 negara menandatangani pernyataan yang oleh Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schäuble disebut sebagai “tonggak (milestone) sejarah dalam memerangi penggelapan pajak, yaitu ditandatanganinya komitmen oleh 51 negara tentang pertukaran informasi secara otomatis.” Selanjutnya dikatakan, bahwa “Kesepakatan akan mengakhiri kerahasiaan bank yang telah berlangsung selama puluhan tahun,” Harian Bild dari Jerman menulis bahwa “Schäuble mengemukakan pikirannya kepada rakyat, yang akan membuat orang kaya bertekuk lutut.”
Kesepakatan telah ditandatangani di kantor Menteri Schäuble oleh 123 negara yang telah bergabung dalam Global Forum dalam rangka memerangi penggelapan pajak (tax evasion) dan kecurangan pajak (tax fraud). Pada kesempatan itu, ketidak hadiran Swiss menarik perhatrian banyak orang.
FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA)
Amerika Serikat telah lebih dahulu mempunyai aturan tentang keterbukaan data dan informasi keuangan untuk warga negaranya, di mana saja mereka menyimpan hartanya. Landasannya adalah undang-undang yang berjudul FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA), yang berarti Undang-Undang tentang Kepatuhan (keterbukaan) account di luar AS.
PRAKARSA AEOI
Karena sangat prihatin dengan penggelapan pajak yang terjadi secara global melalui penyimpanan di berbagai negara lain (offshore tax evasion), maka dalam bulan September tahun 2013, para pemimpin negara-negara G20 mengumumkan inisiatif untuk memberlakukan apa yang mereka sebut “Global Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters”, yang disingkat dengan AEOI. Maksudnya yalah untuk menggalang kesepakatan dalam menciptakan aturan-aturannya, guna pertukaran data keuangan secara otomatis. Yang dipertukarkan adalah harta yang disimpan di bank-bank di negara-negara peserta AEOI.
Di samping AEOI juga ada kesepakatan yang dinamakan “Standard for Exchange of Information on Request (EOIR). Negara-negara yang bersepakat dalam bentuk EOIR memperoleh informasi atas permintaan. Dikatakan bahwa EOIR merupakan complement (kelengkapan) dari AEOI.
Kewajiban bank-bank dari negara-negara peserta AEOI terdiri dari tiga langkah, yaitu :
- Pengumpulan data (Collection). Bank-bank harus melakukan penelitian/audit mendalam (due diligence) tentang nasabahnya, dengan maksud memperoleh data yang relevan dari account-nya yang harus dilaporkan.
- Pelaporan (Reporting) – Setiap lembaga keuangan harus melaporkan informasi yang bersangkutan kepada aparat pajak dari negaranya sendiri.
- Pertukaran (Exchange) – Setiap aparat perpajakan harus melakukan pertukaran informasi dengan partner AEOI.
Negara-negara peserta AEOI mengirimkan dan menerima informasi setiap tahun tanpa melakukan permintaan. Maka disebut pertukaran datanya secara otomatis.
PERAN OECD
Pada tahun 2014 OECD diberi tugas oleh G20 untuk memberikan pengarahan teknis. Maka OECD menerbitkan Common Reporting Standard (CRS), yang menentukn aturan-aturan guna pengumpulan data dan pelaporannya.
CRS disertai dengan penjelasan-penjelasan yang sangat lengkap dan rinci.
GLOBAL FORUM ON TRANSPARANCY AND EXCHANGE OF INFORMATION FOR TAX PURPOSES
Ini adalah badan yang ditugasi untuk me-monitor pelaksanaan AEOI secara global, melakukan pemeriksaan dan melaporkan yang tidak patuh kepada G20.
STANDARD FOR AUTOMATIC EXCHANGE OF FINANCIAL ACCOUNT INFORMATION IN TAX MATTERS
Informasi yang dipertukarkan antar negara-negara peserta AEOI harus seragam, supaya mudah dimengerti oleh negara-negara peserta. Ketika membaca laporan yang bersisi informasi dan data keuangan, istilah-istilah serta formatnya harus mempunyai arti yang sama. Maka diciptakanlah standar, yang berisi ketentuan-ketentuan dan contoh-contoh yang sangat teknis dan mendetil tentang bagaimana data dan informasi dari setiap nasabah bank harus disusun.
Dalam bidang AEOI, standar ini bernama Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters.
Negara-negara yang telah menyatakan komitmennya ikut serta dalam AEOI akan memberlakukannya secara aktif paling awal di tahun 2017. Sebagian negara lain menyatakan komitmen ikut serta dalam tahun 2018. Oleh karena itu, pada saat ini belum semua negara telah mempunyai standar tersebut. Yang sudah mulai dan sedang bekerja menyusun standar tersebut sekitar 50 negara.
NEGARA-NEGARA BERKEMBANG
Global Forum mengenali dan memahami bahwa negara-negara berkembang menghadapi kendala yang serius dalam kemampuan (capacity) untuk mewujudkan Standar yang dimaksud. Oleh karena itu, negara-negara maju tidak mengharapkan bahwa negara-negara berkembang akan mampu ikut serta dalam AEOI di tahun 2017 dan 2018.
Maka Global Forum diberi tugas untuk membantu negara-negara berkembang dalam mewujudkan dan meningkatkan kemampuannya membentuk Standar yang dimaksud. Belum ada kepastian sama sekali kapan Indonesia akan mampu mewujudkan standar beserta semua persyaratan, agar bisa ikut serta dalam AEOI.
AEOI GROUP
Global Forum membentuk AEOI Group di tahun 2013, yang anggotanya terdiri dari 60 negara. AEOI group akan menyusun Roadmap buat negara-negara berkembang supaya bisa ikut dalam AEOI. Dalam menyusun Roadmap ini, AEOI Group melakukan konsultasi yang intensif dengan negara-negara berkembang, Bank Dunia, organisasi-organisasi internasional dan civil society guna mengenali biayanya, manfaat dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Mereka juga membentuk lembaga-lembaga terkait, beserta membuat pilot projects. Jadi sama sekali tidak jelas berapa lama segala sesuatunya ini makan waktu, dan kapan negara-negara berkembang menjadi peserta AEOI.
UNI EROPA (EU) dan AEOI
Negara-negara EU sudah memberlakukan AEOI di antara mereka. EU dan Lichtenstein juga sudah memberlakukan AEOI yang akan efektif di tahun 2017.
SINGAPORE
Singapore merupakan negara yang sangat penting dan relevan buat Indonesia, karena banyaknya hubungan ekonomi dan keuangan antara Indonesia dan Singapore. Maka kita perlu mengetahui sampai seberapa jauh Indonesia bisa bekerja sama dengan Singapore dalam bidang AEOI.
Singapore telah mendapat persetujuan dari parlemennya untuk meng-amandemen undang-undangnya, agar memungkinkan Singapore ikut serta dalam AEOI atas dasar CRS. (Bussiness Time, 10 Mei 2016).
Namun dalam pernyataannya di Washington, Menteri Keuangan Singapura, Tharman Shanmugaratman mengatakan bahwa Singapura hanya akan memberlakukan AEOI secara bilateral dengan negara-negara yang memenuhi persyaratannya, yaitu :
- Negara yang bersangkutan harus merupakan level playing field dengan Singapore untuk meminimalkan arbitrase.
- Singapore hanya akan melakukan kerja sama dengan negara yang mempunyai rule of law yang kuat, dan bisa menjamin confidentiality dari informasi yang dipertukarkan.
- Harus ada timbal balik (Reciprocity) tentang informasi yang dipertukarkan.
JUMLAH NEGARA PESERTA
Sampai sekarang 100 negara telah menyatakan komitmennya ikut dalam AEOI. Namun komitmen ikut sertanya suatu negara dalam AEOI tidak berarti bahwa negara yang bersangkutan dipastikan akan benar-benar mewujudkan keikut sertaannya.
Keikut sertaan sebuah negara dalam AEOI membutuhkan perjanjian yang harus diratifikasi oleh parlemennya. Keikut sertaan ini bisa bersifat multilateral, seperti Swiss yang telah menandatangani komtmen dengan EU sebagai satu kesatuan, yang terdiri dari banyak negara, termasuk Gibraltar dan Australia.
Dalam dua bulan pertama tahun 2016, dengan Guernsey, Isle of Man, Iceland, Japan, Jersey, Canada, Norway dan Korea Selatan, Swiss telah menandatangani pernyataan (communique) atas dasar Convention on Administrative Assistance as well as a Multilateral Competent Authority Agreement and has started hearings on it. Jadi belum efektif.
PERSYARATAN UNTUK NEGARA-NEGARA YANG INGIN BERSEPAKAT DENGAN SWISS
Dalam rapat rutin pada bulan Oktober 2014, Swiss Federal Council mengemukakan beberapa pertanyaan sebagai berikut.
- Sampai di mana ada jaminan tentang akses pasar dalam jangka panjang ?
- Apakah kalau ada kerelaan untuk membuka data, akan dikenakan pajak (surcharge) sebesar misalnya 60 % ?
- Apakah Standar (dari OECD), yang menjadi persyaratan AEOI bisa ditolak oleh salah satu peserta, misalnya Mexico ?
Dikatakan dalam salah satu publikasi Global Forum, bahwa hanya waktu yang akan membuktikan apakah Swiss akan ikut serta dalam AEOI, karena pemerintah Swiss masih mengajukan beberapa pertanyaan yang krusial. Jadi Global Forum, yang merupakan forum penting dari OECD memahami kegalauan Swiss.
Memang dapat diharapkan bahwa Swiss akan melaksanakan AEOI dengan negara-negara EU, dan EU sudah bersepakat dengan Andora, Monaco dan San Marino untuk melaksanakannya di tahun 2017. Namun Swiss masih membutuhkan banyak waktu untuk persiapan yang matang, karena para nasabah bank-bank di Swiss mulai mengajukan berbagai macam pertanyaan.
KRONOLOGI PERKEMBANGAN AEOI
Selama 20 tahun OECD merancang dan memperbarui standar untuk pertukaran jenis-jenis pendapatan, yang terdapat dalam OECD Model Tax Convention, dengan maksud agar informasi dapat diperoleh, dipertukarkan dan diproses secara cepat, efisien dan biaya yang pantas.
Dengan meluncurkan Common Reporting Standard (CRS) di tahun 2014 diharapkan, bahwa negara-negara akan menggunakan CRS, beserta format laporan terkait.
Sebelum CRS menjadi kenyataan, negara-negara tetap menggunakan OECD Standard Transmission Format (STF 2.2).
Maka formats yang digunaka dewasa ini adalah :
- STF 2.2 digunakan untuk pertukaran data/informasi mulai April 2015
- Bridge version 1.3 yang digunakan untuk pertukaran data/informasi per 1 April 2015.
AEOI : STATUS KOMITMENT (101 negara telah memberikan komitmen)
NEGARA-NEGARA YANG TELAH MEMBERIKAN KOMITMEN AKAN MELAKUKAN PERTUKARAN PERTAMA DI TAHUN 2017 ada 54, YAITU
Anguilla, Argentina, Barbados, Belgia, Bermuda, British Virgin Islands, Bulgaria, Cayman Islands, Colombia, Croatia, Curacao, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Faroe Islands, Finlandia, Perancis, Jerman, Gibraltar, Yunani, Greenland, Hongaria, Iceland, India, Irlandia, Isle of Man, Italia, Jersey, Korea, Latvia, Lichtenstein, Luxembourg, Malta, Mexico, Montreal, Nederland, Niue, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, San Marino, Sychelles, Republik Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Trindad dan Tobago, pulau-pulau Turki dan Caicos, Inggris.
NEGARA-NEGARA YANG TELAH MEMBERIKAN KOMITMEN AKAN MELAKUKAN PERTUKARAN INFORMASI DI TAHUN 2018 ADA 47, YAITU
Albania, Andora, Antigua dan Barbuda, Aruba, Australia, Bahama, Bahrain, Belize, Brasilia, Brunei Darussalam, Canada, Chile, China, Cook Islands. Costa Rica, Dominika, Ghana, Grenada, Hong Kong, Indonesia, Israel, Jepang, Kuwait, Lebanon, Marshall Islands, Macao, Malaysia, Mauritius, Monaco, Nauru, Selandia Baru, Panama, Qatar, Rusia, Saint Kitts dan Nevis, Samoa, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Arab Saudi, Singapore, Saint Maarten, Swiss, Turki, Uni Emirat Arab, Uruguay, Vanuatu.
BEBERAPA CONTOH MASALAH TEKNIS
Tadi telah saya katakan bahwa forum ini bukan tempatnya untuk membahas tentang persyaratan teknis yang dituntut oleh Common Reporting Standard. Sekedar sebagai gambaran saya kemukakan apa yang antara lain diminta, yaitu sebagai berikut.
Section I tentang General Reporting Requirements, yang terdiri dari 13 butir. Section II tentang General Due Diligence Requirements yang terdiri dari 5 butir. Section III tentang Due Diligence for Preexisting Individual Accounts, yang terdiri dari 13 butir. Section IV tentang Due Diligence for New Individual Accounts yang terdiri dari 42 butir. Section V tentang Due Diligence for Preexisting Entity Accounts yang terdiri dari 3 butir. Section VI tentang Due Diligence for New Entity Accounts yang terdiri dari 12 butir, dan lebih banyak lagi butir-butir tentang Due Diligence saja.
Section VIII memberikan Defined Terms, yang terdiri dari 111 butir.
Section IX tentang Effective Implementation, yang terdiri dari 5 butir, dan seterusnya, dan seterusnya.
Dari sebutan butir-butirnya saja, kita sudah menjadi pusing tujuh keliling.
HAMBATAN DAN KESULITAN NON TEKNIS
Kerja sama antar bangsa yang diselenggarakan oleh pemerintah pada umumnya mengalami kesulitan dan berbagai hambatan. Kita cenderung berpikir bahwa dalam fenomena globalisasi yang sudah lama berlangsung, kerja sama antar pemerintahan di dunia adalah sebuah keniscayaan. Menurut pengamatan banyak orang, termasuk saya, tidak demikian kenyataannya.
Kita mengamati bahwa kerja sama ASEAN tidak mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. ASEAN hanya berarti secara relatif dalam bidang politik.
Hal serupa juga dialami oleh fenomena yang dinamakan globalisasi. Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi ini beberapa tahun yang lalu, mantan Perdana Menteri Belanda, yang juga guru besar pada Harvard University dalam bidang Globalisasi, Ruud Lubbers, mengatakan bahwa hambatan terhadap keinginan kerja sama yang jauh antar semua negara di dunia adalah tidak adanya satu Pemerintah buat seluruh dunia. Maka globalisasi lebih menonjol dalam bentuk terkaitnya seluruh dunia oleh revolusi teknologi ICT. Globalisasi yang demikian, sifatnya mengkaitkan seluruh manusia secara individual. Bukan mengkaitkan Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia.
Uni Eropa yang sudah sangat lama dirintis, dan jauh lebih sedikit negara-negara pesertanya, dibandingkan dengan AEOI-nya OECD, sampai saat ini masih menghadapi berbagai masalah besar yang rumit. Uni Eropa sangat ambivalen antara meniru AS menjadi United States of Europe dan menentukan bentuknya sendiri. Sangat banyak orang Eropa masih bingung apa hak dan kewajiban “Pemerintah” di Brussel dan “Parlemen” Eropa, kalau dihadapkan pada pemerintah masing-masing negara peserta ?
Bidang yang paling jauh mereka capai adalah mata uang tunggal Euro dan European Central Bank atau ECB. Dalam bidang inipun sampai sekarang menjadi masalah, yang merupakan salah satu sebab penting dari pat-pat gulipatnya Perdana Menteri Tsipras di Yunani, dan Brexit yang sangat aneh. Dalam waktu 3 hari setelah referendum Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa, sekitar 2,7 orang yang memilih Brexit menyatakan penyesalannya. Lebih aneh lagi adalah bahwa Perdana Menteri yang menggantikan David Cameron, yaitu Theresa May dari Partai Konservative yang pro Uni Eropa, seperti David Cameron.
Kalau demikian gambarannya dengan upaya regionalisasi saja, maka AEOI yang berambisi mencapai globalisasi dalam bidang yang demikian teknis dan rumitnya, rasanya masih jauh dari kenyataan. Yang dikemukakan oleh OECD bersifat keinginan, wish atau bahkan wishful thinking, yang disusun oleh para menteri yang naif.
Obyek dari AEOI, yaitu orang-orang kaya dan super kaya di dunia, merupakan kekuatan sangat besar, yang jelas akan berhadapan menentang AEOI. Maka saya bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana pemerintah-pemerintah OECD dan G-20, akan berhadapan dengan orang-orang seperti Rockefeller, Rotchild, Geoge Soros dan para akrobat keuangan, yang memporak-porandakan Wall Street di tahun 2008 ?
Belum lama ini terbit buku yang sangat menggemparkan, yaitu yang ditulis oleh Thomas Pikkety, berjudul “Capital in the Twenty-First Century”, yang menyatakan bahwa Return on Capital lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Return on Capital termasuk laba, dividen, bunga, sewa, dan pendapatan lain-lain.
Akibatnya, Oxfam menyimpulkan bahwa jumlah kekayaan yang dimiliki oleh 1% dari semua manusia di dunia sama dengan kekayaan dari 99% dari jumlah manusia lainnya.
Dalam State of the Union Presiden Obama tahun 2014, dia mengatakan bahwa 1% orang-orang terkaya mempunyai kekayaan sebesar 40% dari kekayaan seluruh bangsa AS.
Last but not least, manusia mempunyai hakikat dan naluri privacy dalam hal-hal tertentu yang sama sekali legal, tetapi merasa sangat terganggu dan risi kalau diketahui orang lain. Besarnya kekayaan yang dimiliki seseorang termasuk domain privacy. Dalam masyarakat yang sudah beradab, hampir semua manusia merasa risi menanyakan berapa pendapatan anaknya yang sudah dewasa dan mempunyai pendapatan serta nafkahnya sendiri. Demikian juga sang anak juga merasa sangat terganggu privacy-nya , kalau orang tuanya menanyakan berapa pendapatannya, berapa yang dipakai untuk hidup, berapa sisanya, berapa yang disimpan di bank, berapa yang berupa perhaiasan dan logam mulia dan seterusnya. Hal-hal inilah yang justru harus dirinci dalam Common Reporting Standard, dan secara otomatis dipertukarkan oleh semua bank di dunia.
Yang saya khawatirkan, seandainya AEOI akan efektif, apakah tidak mungkin bahwa orang kembali menyimpan kekayaan ”di bawah” bantal secara modern, yaitu menyimpannya dalam bentuk emas, membangun gedung-gedung yang sangat kokoh dan aman untuk menyimpannya. Kalau hal yang demikian terjadi, bukankah sistem perbankan dan sistem moneter di seluruh dunia ini akan runtuh ?
Banyak terima kasih.
Visi Bank Indonesia Tentang Stabilisasi Nilai Tukar Dapat Menyesatkan
Ditulis Oleh: Anthony Budiawan
Rektor – Kwik Kian Gie School of Business
Kalau kita buka website Bank Indonesia (www.bi.go.id), maka langsung terbaca Visi Bank Indonesia yang berbunyi:
Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil.
Theory of Money and Exchange Rate
Ditulis Oleh: Anthony Budiawan
Rektor – Kwik Kian Gie School of Business
Tulisan ini dibuat untuk mendukung tulisan lainnya yang berjudul: Visi Bank Indonesia Tentang Stabilisasi Nilai Tukar Dapat Menyesatkan.
Sebelum ada uang (money), semua transaksi dilakukan secara barter. Sistem barter ini tentu saja sangat tidak efisien. Uang kemudian dikenalkan sebagai alat tukar transaksi (medium of exchange) pengganti barter. Pada awalnya, uang yang digunakan adalah dalam bentuk logam mulia, perak atau emas. Dalam tulisan ini, logam mulia diasumsikan emas. Sistem moneter berdasarkan uang logam emas disebut gold specie standard.
Ilusi Seputar Penaikan BI Rate
Ditulis Oleh: Anthony Budiawan
Rektor – Kwik Kian Gie School of Business
Neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2012 mengalami defisit berkepanjangan, dan masih berlanjut hingga 2013. Defisit tersebut merupakan yang terburuk sejak tahun 1961. Di samping itu, neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit yang bahkan jauh lebih serius dari defisit neraca perdagangan. Defisit transaksi berjalan ini sudah berlangsung selama 8 kwartal berturut-turut, yaitu sejak kwartal IV 2011 hingga kwartal III 2013. Secara “kebetulan” kurs rupiah terhadap dolar AS juga mengalami tekanan hebat, dan terdepresiasi hingga 24,26 persen selama satu tahun terakhir ini, terhitung 7 Desember 2012 hingga 6 Desember 2013. Puncak akselerasi depresiasi terjadi pada pertengahan tahun kedua sebesar 21,96 % (5 Juni 2013 – 6 Desember 2013). Untuk pertengahan tahun pertama (7 desember 2012 – 5 Juni 2013) rupiah hanya terdepresiasi 1,89 persen. Lihat tabel di bawah ini.
Pernyataan Tidak Bermakna Bank Indonesia
Ditulis Oleh: Anthony Budiawan
Rektor – Kwik Kian Gie School of Business
Sering kali, para pejabat kita berbicara, atau membuat pernyataan, tanpa makna dan tanpa bisa dimengerti sama sekali. Sebagai contoh, mari kita simak Siaran Pers Bank Indonesia pada 12 Desember 2013 yang saya kutip di bawah ini.
“ …….. Bank Indonesia menilai tren perlambatan ekonomi domestik sejalan dengan arah kebijakan stabilisasi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam membawa pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang.”
Kalimat ini sungguh membuat alis kita berkerut karena tidak mengerti apa yang ingin dijelaskan oleh Bank Indonesia. Bagaimana perlambatan ekonomi domestik dapat membawa pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang? Apakah selama ini pertumbuhan ekonomi kita tidak sehat dan tidak seimbang, dan, oleh karena itu, harus diperlambat agar lebih sehat dan seimbang? Apa yang dimaksud dengan “sehat” dan “seimbang”? Apa kriterianya? Apakah karena neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan mengalami defisit berkepanjangan sehingga pertumbuhan ekonomi kita dikategorikan tidak sehat dan tidak seimbang? Apabila benar demikian, apakah kebijakan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang dimaksud di atas (misalnya, melalui penaikan BI rate) dapat membuat pertumbuhan ekonomi kita ke arah yang lebih “sehat”. Dengan kata lain, apakah kebijakan menaikkan BI rate dapat mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan? Bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih “seimbang”? Pernyataan seperti ini jelas tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti sama sekali. Seyogyanya, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter membuat pernyataan yang jauh lebih berkualitas, tegas dan jelas, daripada kalimat yang tidak dapat ditangkap isinya seperti di atas.