'

Kategori

Follow Us!

APBN dan Pertumbuhan Ekonomi 2017 (Bagian 2)


APBN dan Pertumbuhan Ekonomi 2017 (Bagian 2)

 oleh Anthony Budiawan

Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pendapatan negara ditetapkan Rp 1.750,3 triliun dan belanja negara ditetapkan Rp 2.080,5 triliun, sehingga terjadi defisit Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

 

Di dalam penyusunan APBN 2017 tersebut pemerintah mengasumsikan:

1. Pertumbuhan ekonomi 2017: 5,1persen

2. Kurs rupiah: Rp 13.300 per dolar AS

3. Inflasi: 4 persen

4. Harga minyak mentah: 45 dolar AS per barel

 

Target pertumbuhan ekonomi 2017 yang ditetapkan 5,1 persen sungguh sangat mengejutkan. Angka ini lebih rendah dari asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN-Perubahan 2016 yang sebesar 5,2%. Dan angka ini juga tidak jauh lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan selama 3 kuartal (Januari – September) 2016. Ada apa dengan pemerintah, kok sangat pesimistis? Bukankah Tax Amnesti (TA) sangat sukses, yang katanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan? Bukankah dana repatriasi yang ratusan triliun akan mendongkrak investasi dan pertumbuhan ekonomi?

 

Sepertinya, pemerintah sudah belajar dari pengalaman dua tahun terakhir ini yang membuat target pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tetapi akhirnya toh tidak tercapai dan perlu dikoreksi: target pertumbuhan 2015 dipatok 5,8 persen, tercapai 4,8 persen. Target pertumbuhan 2016 dipatok 5,3 persen, tercapai hanya 5,04 persen (3 kuartal).

 

Sepertinya pemerintah sedang berusaha untuk lebih realistis dengan menetapkan target pertumbuhan 5,1 persen ini. Namun demikian, bukan berarti target tersebut akan mudah dicapai. Bahkan masih banyak risiko target tersebut akan meleset lagi.

 

Ekonomi Global dan Ekonomi Amerika Serikat

Ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh ekonomi global yang saat ini masih terus melemah. Pertumbuhan ekonomi global melambat dari 2,63 persen (2015) menjadi 2,4 persen (perkiraan 2016). Sedangkan untuk euro area, sebutan kawasan negara-negara di Uni Eropa yang menggunakan mata uang euro, pertumbuhan ekonomi melambat dari 2,0 persen (2015) menjadi 1,6 persen (Q3 2016). Pertumbuhan ekonomi China juga melambat dari 6,9 persen (2015) menjadi sekitar 6,7 persen (Q3 2016). Di samping itu, banyak pihak memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan melambat lagi pada 2017 menjadi sekitar 6,1 persen.

 

Seirng dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) periode 2017-2021, ekonomi global menghadapi ketidakpastian. Dalam kampanyenya dengan slogan Make America Great Again, Trump berjanji akan membuat AS berjaya kembali melalui kebijakan proteksi industri dalam negeri, yang tentu saja akan berdampak pada terkontraksinya perdagangan internasional (dengan AS). Yang akan terkena dampak langsung atas kebijakan ini tentu saja China yang mempunyai surplus perdagangan terbesar dengan AS, yaitu senilai 366 miliar dolar AS, atau setara Rp 4.900 triliun, pada tahun 2015. Untuk mengurangi defisit ini, AS akan mengenakan tarif tambahan bagi produk-produk China. Kalau kebijakan proteksi ini benar terjadi, maka pertumbuhan ekonomi China akan turun drastis yang dapat memicu resesi global.

 

Namun demikian, tidak mudah bagi Trump untuk merealisasikan janjinya. Ekonomi AS saat ini sebenarnya dalam kondisi sangat baik, terutama kalau ditinjau dari sudut tenaga kerja. Tingkat pengangguran di AS per November 2016 hanya 4,6 persen, yang artinya mendekati full employment. Oleh karena itu, peningkatan ekonomi dan perluasan tenaga kerja secara tergesa-gesa berpotensi memicu inflasi dan suku bunga naik.

 

Sejalan dengan itu, ekonomi AS pada kuartal III 2016 secara mengejutkan juga menunjukkan peningkatan yang spektakuler dengan tingkat pertumbuhan 3,5 persen (secara tahunan). Tingkat inflasi tahunan sampai akhir November 2016 juga cukup tinggi, yaitu mencapai 1,7 persen, dan mendekati target inflasi the Fed (Federal Reserve, Bank Sentral AS) sebesar 2 persen. Oleh karena itu, secara perlahan-lahan the Fed akan menaikkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate, Fed Rate) untuk menjaga agar ekonomi AS tidak terperangkap ke dalam gelembung ekonomi lagi. Seiring dengan itu, pada 14 Desember 2016 the FED menaikkan batas atas suku bunga acuan dari 0,5 persen menjadi 0,75 persen, di mana suku bunga acuan ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara maju. Kenaikan suku bunga the Fed pada gilirannya akan membuat nilai tukar dolar AS terapresiasi terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah.

 

Berdasarkan penjelasan di atas, diperkirakan Fed funds rate berpeluang besar akan naik lagi pada tahun 2017. Kebijakan ini juga akan memaksa Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI, yang pada akhirnya akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta menekan kurs rupiah terhadap dolar AS.

 

Pada bulan Desember 2016 kurs rupiah sudah di atas Rp 13.300 per dolar AS. Pada 23 Desember 2016, kurs JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) tercatat Rp 13.470 per dolar AS.

 

Harga Komoditas: Batubara, Minyak Sawit, Karet

Batubara, minyak sawit dan karet merupakan komoditas non-migas yang cukup penting bagi ekonomi Indonesia. Total ekspor tiga jenis komoditas non-migas tersebut (HS code: 15, 27, 40) pada 2011 memberi kontribusi sekitar hampir 40 persen dari total ekspor Indonesia, dengan nilai ekspor 63,45 miliar dolar AS dari total ekspor Indonesia sebesar 162,02 miliar dolar AS. Anjloknya harga komoditas tersebut membuat nilai ekspor turun menjadi 40,65 miliar dolar AS pada tahun 2015 dengan kontribusi 30,84 persen dari total ekspor Indonesia. Anjloknya harga komoditas ini menjadi salah satu faktor pemicu utama melemahnya pertumbuhan ekonomi kita sejak 2012: anjloknya harga komoditas andalan ekspor tersebut membuat daya beli juga anjlok.

 

Untuk periode Januari – Oktober 2016, kontribusi ekspor komoditas tersebut masih turun menjadi 28,18 persen dengan nilai ekspor 30 miliar dolar AS (sepuluh bulan). Namun demikian, kita patut bergembira karena harga komoditas pada tahun 2016 menunjukkan ada kenaikan seperti dapat dilihat di gambar di bawah ini. Kenaikan harga komoditas ini juga memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi 2016 yang dapat bertahan di 5,04 persen (3 kuartal 2016).

Kalau harga komoditas 2017 dapat bertahan di tingkat harga saat ini, maka surplus neraca perdagangan non-migas dapat dipertahankan, tekanan terhadap kurs rupiah berkurang, dan memberi kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kalau harga komoditas 2017 kembali melemah dibandingkan tahun 2016 maka pertumbuhan ekonomi 2017 serta kurs rupiah dapat tertekan lagi.

 

Kesimpulan

Pertumbuhan ekonomi global 2017 diperkirakan masih melemah, ekonomi AS 2017 berpotensi overheated yang akan membuat inflasi dan tingkat suku bunga naik, dan harga komoditas andalan ekspor Indonesia kemungkinan besar sulit untuk naik lebih tinggi lagi. Dengan demikian, asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 yang ditetapkan 5,1 persen nampaknya tidak mudah terealisasi, dengan kecenderungan akan lebih rendah dari target. Saya tidak terkejut kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 hanya mencapai 4,8 persen, atau bahkan di bawahnya. Nilai tukar rupiah juga cenderung melemah, mudah-mudahan intervensi Bank Indonesia dapat membuat rupiah bertahan tidak lebih rendah dari Rp 14.000 per dolar AS.

 

APBN dan Pertumbuhan Ekonomi 2017 (Bagian 1)


APBN dan Pertumbuhan Ekonomi 2017 (Bagian 1)

oleh Anthony Budiawan

Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pendapatan negara ditetapkan Rp 1.750,3 triliun dan belanja negara ditetapkan Rp 2.080,5 triliun, sehingga terjadi defisit Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

Di dalam penyusunan APBN 2017 pemerintah mengasumsikan:
1. Pertumbuhan ekonomi 2017: 5,1persen,
2. Kurs rupiah: Rp 13.300 per dolar AS,
3. Inflasi: 4 persen,
4. Harga minyak mentah: 45 dolar AS per barel.

Target APBN 2017 tersebut di atas terlihat terlalu optimis.

Sumber pendapatan negara yang berasal dari pendapatan pajak dalam negeri (artinya tidak termasuk pajak perdagangan: bea masuk dan bea keluar) pada tahun 2017 ini ditetapkan Rp 1.464,8 triliun. Kalau dibandingkan dengan APBN-Perubahan 2016 yang sebesar Rp 1.355,2 triliun, maka pendapatan pajak 2017 ini hanya naik 8,1 persen. Tetapi kalau dibandingkan dengan realisasi pendapatan pajak 2016 yang diperkirakan sebesar Rp 1.100 triliun maka kenaikannya sangat tinggi sekali, yaitu sekitar 33,2 persen. Lihat tabel 1.

Tabel 1: Target Pendapatan Pajak Dalam Negeri 2017 versus 2016

Realisasi pendapatan pajak pada bulan November 2016 sebesar Rp 93,8 triliun, dan realisasi pendapatan pajak sampai akhir November 2016 tercatat sebesar Rp 965 triliun. Kalau pendapatan pajak bulan Desember sekitar 1,5 kali lipat dari November maka total realisasi pendapatan pajak 2016 diperkirakan sekitar Rp 1.100 triliun, atau sekitar 81,2 persen dari target APBN-Perubahan 2016 sebesar Rp 1.355,2 triliun. Perkiraan realisasi pendapatan pajak inipun sudah termasuk uang tebusan dari Tax Amnesty (TA) sekitar Rp 100 triliun. Tanpa TA, maka realisasi pendapatan pajak 2016 diperkirakan sekitar Rp 1,000 triliun saja, bahkan lebih rendah dari realisasi 2015 yang mencapai Rp 1.055 triliun. Lihat tabel 2.

Tabel 2: Perkiraan Realisasi Pendapatan Pajak Dalam Negeri 2016

Oleh karena itu, kalau dibandingkan dengan realisasi pendapatan pajak 2016, maka berarti target pendapatan pajak 2017 naik 33,2 persen, yaitu dari Rp 1.100 triliun menjadi Rp 1.464,8 triliun. Pertanyaannya, apakah kenaikan yang spektakuler ini masih dapat direalisasikan? Atau akan bernasib sama dengan APBN dua tahun terakhir ini yang harus dipangkas habis-habisan?

Mari kita berandai-andai secara realistis. Kalau realisasi pendapatan pajak 2017 ternyata naik hanya 10 persen saja (inipun masih penuh tanda tanya apakah mampu) menjadi Rp 1.210 triliun, maka akan terjadi shortfall penerimaan pajak sekitar Rp 255 triliun (Rp 1.464,8 triliun – Rp 1.210 triliun), atau sekitar 1,85 persen dari PDB. Artinya, total defisit anggaran berpotensi naik dari 2,41 persen menjadi 4,25 persen dari PDB, yang mana melewati batas 3 persen yang dibolehkan oleh Undang-undang. Oleh karena itu, akan terjadi lagi pemotongan belanja negara paling sedikit Rp 200 triliun. Dampaknya tentu saja pertumbuhan ekonomi akan tertekan.

Potensi kegagalan APBN 2017 beserta asumsinya sudah terbayang di depan mata. Semoga pemerintah mempunyai plan B untuk mengantisipasi shortfall penerimaan pajak dan menyelamatkan APBN 2017.

AUTOMATIC EXCHANGE OF INFORMATION (AEoI) – THE END OF TAX EVASION ? (KEY NOTE)


KEY NOTE

AUTOMATIC EXCHANGE OF INFORMATION (AEoI)

THE END OF TAX EVASION ?

Seminar Nasional pada Kwik Kian Gie School of Business

15 September 2016

Oleh Kwik Kian Gie

Telah lama beredar berita, bahwa negara-negara OECD mengambil prakarsa untuk menggalang kerja sama dengan sebanyak mungkin negara di dunia, dalam bidang keterbukaan data keuangan dari orang maupun badan hukum, yang mempunyai harta di negara manapun juga. Artinya, setiap pemerintah dari negara manapun, bisa melihat kekayaan dari setiap warga negaranya, di manapun dia berada, melalui bank account dan/atau sumber-sumber lain.

Entah bagaimana prosesnya, berita tersebut menjelma menjadi keyakinan bagi sangat banyak orang, termasuk pemerintah Indonesia, bahwa memang benar demikian adanya. Pemerintah Indonesia menggunakan “kenyataan” ini sebagai peringatan, bahwa sebaiknya menggunakan Tax Amnesty (TA), karena kalau tidak, di tahun 2017 dan 2018 toh akan ketahuan semua harta gelap yang disimpan di manapun, karena akan berlakunya Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI).

Kecuali dikatakan secara lisan oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan dan entah oleh siapa lagi, akan berlakunya AEOI dalam tahun 2017 atau 2018 untuk Indonesia, juga dicantumkan dalam iklan yang dimuat oleh pemerintah di hampir semua media. Butir dari iklan itu berbunyi :

“Data Kekayaan di Dalam & Luar Negeri akan Terbuka mulai tahun 2017”.

Kalimat tersebut secara implisit berarti bahwa Indonesia sudah pasti ikut serta dalam AEOI secara efektif mulai tahun 2017 dengan semua negara di dunia secara multilateral, atau secara bilateral dengan setiap negara di dunia. Dalam hal bilateral, dapat kita bayangkan betapa banyaknya perjanjian yang harus disepakati dan diratifikasi oleh DPR RI.

Yang saya pahami tidak semudah itu. Tidak mudahnya disebabkan karena persyaratan dan aturan dalam menyusun data yang dipertukarkan sangat rumit. Sepanjang pengetahuan saya, pemerintah Indonesia belum pernah memberikan keterangan yang mendetil tentang Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters (AEOI) kepada rakyatnya, sehingga kita belum mengetahui apakah butir dalam iklan tersebut tadi memang akan terwujud ?

Maka saya mempunyai keraguan yang besar apakah Indonesia mampu memenuhi semua persyaratan unutk ikut serta dalam AEOI dalam tahun 2017 atau 2018. Keraguan saya lebih besar lagi, setelah saya membaca buku setebal sekitar 310 halaman yang diterbitkan oleh OECD, berjudul “”Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters”.

Keraguan saya semakin besar lagi, kalau saya merenung, apakah para Akuntan Publik, maupun para Akuntan Internal kita mampu melakukan due diligence yang dituntut oleh apa yang dinamakan Common Reporting Standard.

Forum ini bukan tempatnya untuk membahas isi dari Common Reporting Standard. Isinya sangat teknis, rumit, tidak untuk orang awam, dan akan makan waktu lama untuk membahasnya secara mendalam.

Maka dalam key note ini, saya akan menggambarkan sejarah dan duduk perkaranya AEOI dengan Common Reporting Stanard-nya dewasa ini. Kampus ini masuk dalam mailing list oleh OECD, sehingga kami akan selalu up to date dengan perkembangan pelaksanaan AEOI.

Yang akan saya kemukakan didasarkan atas studi dari dokumen-dokumen otentik tentang AEOI yang diterbitkan oleh OECD, beserta semua organisasi dan lembaga yang mereka bentuk untuk tujuan AEOI tersebut.

SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA SECARA KRONOLOGIS

Pikiran awal datang dari Menteri Keuangan Jerman, Schäuble di tahun 2014. Dipimpin oleh 5 negara, yaitu Jerman, Inggris, Perancis, Italia dan Spanyol, 51 negara menandatangani pernyataan yang oleh Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schäuble disebut sebagai “tonggak (milestone) sejarah dalam memerangi penggelapan pajak, yaitu ditandatanganinya komitmen oleh 51 negara tentang pertukaran informasi secara otomatis.” Selanjutnya dikatakan, bahwa “Kesepakatan akan mengakhiri kerahasiaan bank yang telah berlangsung selama puluhan tahun,” Harian Bild dari Jerman menulis bahwa “Schäuble mengemukakan pikirannya kepada rakyat, yang akan membuat orang kaya bertekuk lutut.”

Kesepakatan telah ditandatangani di kantor Menteri Schäuble oleh 123 negara yang telah bergabung dalam Global Forum dalam rangka memerangi penggelapan pajak (tax evasion) dan kecurangan pajak (tax fraud). Pada kesempatan itu, ketidak hadiran Swiss menarik perhatrian banyak orang.

FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA)

Amerika Serikat telah lebih dahulu mempunyai aturan tentang keterbukaan data dan informasi keuangan untuk warga negaranya, di mana saja mereka menyimpan hartanya. Landasannya adalah undang-undang yang berjudul  FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA), yang berarti Undang-Undang tentang Kepatuhan (keterbukaan) account di luar AS.

PRAKARSA AEOI

Karena sangat prihatin dengan penggelapan pajak yang terjadi secara global melalui penyimpanan di berbagai negara lain (offshore tax evasion), maka dalam bulan September tahun 2013, para pemimpin negara-negara G20 mengumumkan inisiatif untuk memberlakukan apa yang mereka sebut “Global Standard for  Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters”, yang disingkat dengan AEOI. Maksudnya yalah untuk menggalang kesepakatan dalam menciptakan aturan-aturannya, guna pertukaran data keuangan secara otomatis. Yang dipertukarkan adalah harta yang disimpan di bank-bank di negara-negara peserta AEOI.

Di samping AEOI juga ada kesepakatan yang dinamakan “Standard for Exchange of Information on Request (EOIR). Negara-negara yang bersepakat dalam bentuk EOIR memperoleh informasi atas permintaan. Dikatakan bahwa EOIR merupakan complement (kelengkapan) dari AEOI.

Kewajiban bank-bank dari negara-negara peserta AEOI terdiri dari tiga langkah, yaitu :

  • Pengumpulan data (Collection). Bank-bank harus melakukan penelitian/audit mendalam (due diligence) tentang nasabahnya, dengan maksud memperoleh data yang relevan dari account-nya yang harus dilaporkan.
  • Pelaporan (Reporting) – Setiap lembaga keuangan harus melaporkan informasi yang bersangkutan kepada aparat pajak dari negaranya sendiri.
  • Pertukaran (Exchange) – Setiap aparat perpajakan harus melakukan pertukaran informasi dengan partner AEOI.

Negara-negara peserta AEOI mengirimkan dan menerima informasi setiap tahun tanpa melakukan permintaan. Maka disebut pertukaran datanya secara otomatis.

PERAN OECD

Pada tahun 2014 OECD diberi tugas oleh G20 untuk memberikan pengarahan teknis. Maka OECD menerbitkan Common Reporting Standard (CRS), yang menentukn aturan-aturan guna pengumpulan data dan pelaporannya.

CRS disertai dengan penjelasan-penjelasan yang sangat lengkap dan rinci.

GLOBAL FORUM ON TRANSPARANCY AND EXCHANGE OF INFORMATION FOR TAX PURPOSES

Ini adalah badan yang ditugasi untuk me-monitor pelaksanaan AEOI secara global, melakukan pemeriksaan dan melaporkan yang tidak patuh kepada G20.

STANDARD FOR AUTOMATIC EXCHANGE OF FINANCIAL ACCOUNT INFORMATION IN TAX MATTERS

Informasi yang dipertukarkan antar negara-negara peserta AEOI harus seragam, supaya mudah dimengerti oleh negara-negara peserta. Ketika membaca laporan yang bersisi informasi dan data keuangan, istilah-istilah serta formatnya harus mempunyai arti yang sama. Maka  diciptakanlah standar, yang berisi ketentuan-ketentuan dan contoh-contoh yang sangat teknis dan mendetil tentang bagaimana data dan informasi dari setiap nasabah bank harus disusun.

Dalam bidang AEOI, standar ini bernama Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters.

Negara-negara yang telah menyatakan komitmennya ikut serta dalam AEOI akan memberlakukannya secara aktif paling awal di tahun 2017. Sebagian negara lain menyatakan komitmen ikut serta dalam tahun 2018. Oleh karena itu, pada saat ini belum semua negara telah mempunyai standar tersebut. Yang sudah mulai dan sedang bekerja menyusun standar tersebut sekitar 50 negara.

NEGARA-NEGARA BERKEMBANG

Global Forum mengenali dan memahami bahwa negara-negara berkembang menghadapi kendala yang serius dalam kemampuan (capacity) untuk mewujudkan Standar yang dimaksud. Oleh karena itu, negara-negara maju tidak mengharapkan bahwa negara-negara berkembang akan mampu ikut serta dalam AEOI di tahun 2017 dan 2018.

Maka Global Forum diberi tugas untuk membantu negara-negara berkembang dalam mewujudkan dan meningkatkan kemampuannya membentuk Standar yang dimaksud. Belum ada kepastian sama sekali kapan Indonesia akan mampu mewujudkan standar beserta semua persyaratan, agar bisa ikut serta dalam AEOI.

AEOI GROUP

Global Forum membentuk AEOI Group di tahun 2013, yang anggotanya terdiri dari 60 negara. AEOI group akan menyusun Roadmap buat negara-negara berkembang supaya bisa ikut dalam AEOI. Dalam menyusun Roadmap ini, AEOI Group melakukan konsultasi yang intensif dengan negara-negara berkembang, Bank Dunia, organisasi-organisasi internasional dan civil society guna mengenali biayanya, manfaat dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Mereka juga membentuk lembaga-lembaga terkait, beserta membuat pilot projects. Jadi sama sekali tidak jelas berapa lama segala sesuatunya ini makan waktu, dan kapan negara-negara berkembang menjadi peserta AEOI.

UNI EROPA (EU) dan AEOI

Negara-negara EU sudah memberlakukan AEOI di antara mereka. EU dan Lichtenstein juga sudah memberlakukan AEOI yang akan efektif di tahun 2017.

SINGAPORE

Singapore merupakan negara yang sangat penting dan relevan buat Indonesia, karena banyaknya hubungan ekonomi dan keuangan antara Indonesia dan Singapore. Maka kita perlu mengetahui sampai seberapa jauh Indonesia bisa bekerja sama dengan Singapore dalam bidang AEOI.

Singapore telah mendapat persetujuan dari parlemennya untuk meng-amandemen undang-undangnya, agar memungkinkan Singapore ikut serta dalam AEOI atas dasar CRS. (Bussiness Time, 10 Mei 2016).

Namun dalam pernyataannya di Washington, Menteri Keuangan Singapura, Tharman Shanmugaratman mengatakan bahwa Singapura hanya akan memberlakukan AEOI secara bilateral dengan negara-negara yang memenuhi persyaratannya, yaitu :

  1. Negara yang bersangkutan harus merupakan level playing field dengan Singapore untuk meminimalkan arbitrase.
  2. Singapore hanya akan melakukan kerja sama dengan negara yang mempunyai rule of law yang kuat, dan bisa menjamin confidentiality dari informasi yang dipertukarkan.
  3. Harus ada timbal balik (Reciprocity) tentang informasi yang dipertukarkan.

JUMLAH NEGARA PESERTA

Sampai sekarang 100 negara telah menyatakan komitmennya ikut dalam AEOI. Namun komitmen ikut sertanya suatu negara dalam AEOI tidak berarti bahwa negara yang bersangkutan dipastikan akan benar-benar mewujudkan keikut sertaannya.

Keikut sertaan sebuah negara dalam AEOI membutuhkan perjanjian yang harus diratifikasi oleh parlemennya. Keikut sertaan ini bisa bersifat multilateral, seperti Swiss yang telah menandatangani komtmen dengan EU sebagai satu kesatuan, yang terdiri dari banyak negara, termasuk Gibraltar dan Australia.

Dalam dua bulan pertama tahun 2016, dengan Guernsey, Isle of Man, Iceland, Japan, Jersey, Canada, Norway dan Korea Selatan, Swiss telah menandatangani pernyataan (communique)  atas dasar Convention on Administrative Assistance as well as a Multilateral Competent Authority Agreement and has started hearings on it. Jadi belum efektif.

PERSYARATAN UNTUK NEGARA-NEGARA YANG INGIN BERSEPAKAT DENGAN SWISS

Dalam rapat rutin pada bulan Oktober 2014, Swiss Federal Council mengemukakan beberapa pertanyaan sebagai berikut.

  • Sampai di mana ada jaminan tentang akses pasar dalam jangka panjang ?
  • Apakah kalau ada kerelaan untuk membuka data, akan dikenakan pajak (surcharge) sebesar misalnya 60 % ?
  • Apakah Standar (dari OECD), yang menjadi persyaratan AEOI bisa ditolak oleh salah satu peserta, misalnya Mexico ?

Dikatakan dalam salah satu publikasi Global Forum, bahwa hanya waktu yang akan membuktikan apakah Swiss akan ikut serta dalam AEOI, karena pemerintah Swiss masih mengajukan beberapa pertanyaan yang krusial. Jadi Global Forum, yang merupakan forum penting dari OECD memahami kegalauan Swiss.

Memang dapat diharapkan bahwa Swiss akan melaksanakan AEOI dengan negara-negara EU, dan EU sudah bersepakat dengan Andora, Monaco dan San Marino untuk melaksanakannya di tahun 2017. Namun Swiss masih membutuhkan banyak waktu untuk persiapan yang matang, karena para nasabah bank-bank di Swiss mulai mengajukan berbagai macam pertanyaan.

KRONOLOGI PERKEMBANGAN AEOI

Selama 20 tahun OECD merancang dan memperbarui standar untuk pertukaran jenis-jenis pendapatan, yang terdapat dalam OECD Model Tax Convention, dengan maksud agar informasi dapat diperoleh, dipertukarkan dan diproses secara cepat, efisien dan biaya yang pantas.

Dengan meluncurkan Common Reporting Standard (CRS) di tahun 2014 diharapkan, bahwa negara-negara akan menggunakan CRS, beserta format laporan terkait.

Sebelum CRS menjadi kenyataan, negara-negara tetap menggunakan OECD Standard Transmission Format (STF 2.2).

Maka formats yang digunaka dewasa ini adalah :

  • STF 2.2 digunakan untuk pertukaran data/informasi mulai April 2015
  • Bridge version 1.3 yang digunakan untuk pertukaran data/informasi per 1 April 2015.

AEOI : STATUS KOMITMENT (101 negara telah memberikan komitmen)

NEGARA-NEGARA YANG TELAH MEMBERIKAN KOMITMEN AKAN MELAKUKAN PERTUKARAN PERTAMA DI TAHUN 2017 ada 54, YAITU

Anguilla, Argentina, Barbados, Belgia, Bermuda, British Virgin Islands, Bulgaria, Cayman Islands, Colombia, Croatia, Curacao, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Faroe Islands, Finlandia, Perancis, Jerman, Gibraltar, Yunani, Greenland, Hongaria, Iceland, India, Irlandia, Isle of Man, Italia, Jersey, Korea, Latvia, Lichtenstein, Luxembourg, Malta, Mexico, Montreal, Nederland, Niue, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, San Marino, Sychelles, Republik Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Trindad dan Tobago, pulau-pulau Turki dan Caicos, Inggris.

NEGARA-NEGARA YANG TELAH MEMBERIKAN KOMITMEN AKAN MELAKUKAN PERTUKARAN INFORMASI DI TAHUN 2018 ADA 47, YAITU

Albania, Andora, Antigua dan Barbuda, Aruba, Australia, Bahama, Bahrain, Belize, Brasilia, Brunei Darussalam, Canada, Chile, China, Cook Islands. Costa Rica, Dominika, Ghana, Grenada, Hong Kong, Indonesia, Israel, Jepang, Kuwait, Lebanon, Marshall Islands, Macao, Malaysia, Mauritius, Monaco, Nauru, Selandia Baru, Panama, Qatar, Rusia, Saint Kitts dan Nevis, Samoa, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Arab Saudi, Singapore, Saint Maarten, Swiss, Turki, Uni Emirat Arab, Uruguay, Vanuatu.

BEBERAPA CONTOH MASALAH TEKNIS

Tadi telah saya katakan bahwa forum ini bukan tempatnya untuk membahas tentang persyaratan teknis yang dituntut oleh Common Reporting Standard. Sekedar sebagai gambaran saya kemukakan apa yang antara lain diminta, yaitu sebagai berikut.

Section I tentang General Reporting Requirements, yang terdiri dari 13 butir. Section II tentang General Due Diligence Requirements yang terdiri dari 5 butir. Section III tentang Due Diligence for Preexisting Individual Accounts, yang terdiri dari 13 butir. Section IV tentang Due Diligence for New Individual Accounts yang terdiri dari 42 butir. Section V tentang Due Diligence for Preexisting Entity Accounts yang terdiri dari 3 butir. Section VI tentang Due Diligence for New Entity Accounts yang terdiri dari 12 butir, dan lebih banyak lagi butir-butir tentang Due Diligence saja.

Section VIII memberikan Defined Terms, yang terdiri dari 111 butir.

Section IX tentang Effective Implementation, yang terdiri dari 5 butir, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dari sebutan butir-butirnya saja, kita sudah menjadi pusing tujuh keliling.

HAMBATAN DAN KESULITAN NON TEKNIS

Kerja sama antar bangsa yang diselenggarakan oleh pemerintah pada umumnya mengalami kesulitan dan berbagai hambatan. Kita cenderung berpikir bahwa dalam fenomena globalisasi yang sudah lama berlangsung, kerja sama antar pemerintahan di dunia adalah sebuah keniscayaan. Menurut pengamatan banyak orang, termasuk saya, tidak demikian kenyataannya.

Kita mengamati bahwa kerja sama ASEAN tidak mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. ASEAN hanya berarti secara relatif dalam bidang politik.

Hal serupa juga dialami oleh fenomena yang dinamakan globalisasi. Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi ini beberapa tahun yang lalu, mantan Perdana Menteri Belanda, yang juga guru besar pada Harvard University dalam bidang Globalisasi, Ruud Lubbers, mengatakan bahwa hambatan terhadap keinginan kerja sama yang jauh antar semua negara di dunia adalah tidak adanya satu Pemerintah buat seluruh dunia. Maka globalisasi lebih menonjol dalam bentuk terkaitnya seluruh dunia oleh revolusi teknologi ICT. Globalisasi yang demikian, sifatnya mengkaitkan seluruh manusia secara individual. Bukan mengkaitkan Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia.

Uni Eropa yang sudah sangat lama dirintis, dan jauh lebih sedikit negara-negara pesertanya, dibandingkan dengan AEOI-nya OECD, sampai saat ini masih menghadapi berbagai masalah besar yang rumit. Uni Eropa sangat ambivalen antara meniru AS menjadi United States of Europe dan menentukan bentuknya sendiri. Sangat banyak orang Eropa masih bingung apa hak dan kewajiban “Pemerintah” di Brussel dan “Parlemen” Eropa, kalau dihadapkan pada pemerintah masing-masing negara peserta ?

Bidang yang paling jauh mereka capai adalah mata uang tunggal Euro dan European Central Bank atau ECB. Dalam bidang inipun sampai sekarang menjadi masalah, yang merupakan salah satu sebab penting dari pat-pat gulipatnya Perdana Menteri Tsipras di Yunani, dan Brexit yang sangat aneh. Dalam waktu 3 hari setelah referendum Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa, sekitar 2,7 orang yang memilih Brexit menyatakan penyesalannya. Lebih aneh lagi adalah bahwa Perdana Menteri yang menggantikan David Cameron, yaitu Theresa May dari Partai Konservative yang pro Uni Eropa, seperti David Cameron.

Kalau demikian gambarannya dengan upaya regionalisasi saja, maka AEOI yang berambisi mencapai globalisasi dalam bidang yang demikian teknis dan rumitnya, rasanya masih jauh dari kenyataan. Yang dikemukakan oleh OECD bersifat keinginan, wish atau bahkan wishful thinking, yang disusun oleh para menteri yang naif.

Obyek dari AEOI, yaitu orang-orang kaya dan super kaya di dunia,  merupakan kekuatan sangat besar, yang jelas akan berhadapan menentang AEOI. Maka saya bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana pemerintah-pemerintah OECD dan G-20, akan berhadapan dengan orang-orang seperti Rockefeller, Rotchild, Geoge Soros dan para akrobat keuangan, yang memporak-porandakan Wall Street di tahun 2008 ?

Belum lama ini terbit buku yang sangat menggemparkan, yaitu yang ditulis oleh Thomas Pikkety, berjudul “Capital in the Twenty-First Century”, yang menyatakan bahwa Return on Capital lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Return on Capital termasuk laba, dividen, bunga, sewa, dan pendapatan lain-lain.

Akibatnya, Oxfam menyimpulkan bahwa jumlah kekayaan yang dimiliki oleh 1% dari semua manusia di dunia sama dengan kekayaan dari 99% dari jumlah manusia lainnya.

Dalam State of the Union Presiden Obama tahun 2014, dia mengatakan bahwa 1% orang-orang terkaya mempunyai kekayaan sebesar 40% dari kekayaan seluruh bangsa AS.

Last but not least, manusia mempunyai hakikat dan naluri privacy dalam hal-hal tertentu yang sama sekali legal, tetapi merasa sangat terganggu dan risi kalau diketahui orang lain. Besarnya kekayaan yang dimiliki seseorang termasuk domain privacy. Dalam masyarakat yang sudah beradab, hampir semua manusia merasa risi menanyakan berapa pendapatan anaknya yang sudah dewasa dan mempunyai pendapatan serta nafkahnya sendiri. Demikian juga sang anak juga merasa sangat terganggu privacy-nya , kalau orang tuanya menanyakan berapa pendapatannya, berapa yang dipakai untuk hidup, berapa sisanya, berapa yang disimpan di bank, berapa yang berupa perhaiasan dan logam mulia dan seterusnya. Hal-hal inilah yang justru harus dirinci dalam Common Reporting Standard, dan secara otomatis dipertukarkan oleh semua bank di dunia.

Yang saya khawatirkan, seandainya AEOI akan efektif, apakah tidak mungkin bahwa orang kembali menyimpan kekayaan ”di bawah” bantal secara modern, yaitu menyimpannya dalam bentuk emas, membangun gedung-gedung yang sangat kokoh dan aman untuk menyimpannya. Kalau hal yang demikian terjadi, bukankah  sistem perbankan dan sistem moneter di seluruh dunia ini akan runtuh ?

Banyak terima kasih.

 

PEMERINTAH BINGUNG, KONGLOMERAT MUNGKIN UNTUNG, RAKYAT BUNTUNG


Oleh Kwik Kian Gie

Masyarakat mendapat kesan bahwa Pemerintah kebingungan dalam mengambil kebijakan tentang harga bensin, terutama bensin premium. Faktor terpenting dari kebingungan adalah kenaikan harga bensin premium dari Rp. 6.500 per liter menjadi Rp. 8.500 dilakukan ketika harga minyak mentah di pasar internasional sekitar USD 80 per barrel, yang ekivalen dengan harga bensin sebesar Rp. 6.038 (80 : 159 x 12.000 + Rp. 755) per liter.

Baca Selengkapnya …

APAKAH KABINET KERJA MELAKUKAN TIGA PELANGGARAN DALAM MENAIKKAN HARGA BENSIN PREMIUM ?


Oleh Kwik Kian Gie

 

Ketika Pemerintahan SBY menaikkan bensin premium dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.500 per liter, kenaikan didasarkan atas asumsi atau data bahwa harga minyak mentah di pasar internasional yang ditetapkan oleh NYMEX sebesar USD 105 per barrel.

DPR juga menetapkan bahwa apabila harga minyak meningkat dengan 15% atau lebih, atau menjadi USD 120,75 per barrel atau lebih, Pemerintah boleh menaikkan harga bensin premium lagi tanpa persetujuan DPR. Kesepakatan ini dikenal dengan sebutan “Pasal 7 ayat 6A”.

Apakah kesepakatan tersebut masih berlaku ? Kalau masih berlaku berarti Pemerintah melakukan pelanggaran, karena harga minyak mentah di pasar internasional tidak naik menjadi USD 120,75 atau lebih, tetapi bahkan menurun cukup drastis.

Baca Selengkapnya …

WHAT NEXT SETELAH PEMERINTAH MENAIKKAN HARGA BENSIN PREMIUM DAN SOLAR ?


Oleh Kwik Kian Gie

 

Kenaikan harga dan liberalisme

Kenaikan harga bensin premium dan solar telah menjadi kenyataan, yaitu dengan Rp. 2.000 per liter. Apa yang selanjutnya harus dilakukan ? Namun sebelum itu marilah kita bahas tentang landasan yang dipakai untuk menaikkan dengan Rp. 2.000 per liter.

Baca Selengkapnya …

PILKADA OLEH DPRD MERAMPOK HAK RAKYAT


Percakapan antara Djadjang dan Mamad
Oleh Kwik Kian Gie

Sejak era reformasi perkembangan kehidupan tata negara kita mengalami perubahan-perubahan yang cepat dan drastis. Dua sahabat Djadjang (Dj) dan Mamad (M) yang sering mempunyai pendapat yang berbeda berdiskusi tentang hal ini sebagai berikut.

M : Djang, sejak kita meninggalkan UUD 1945 yang asli, perkembangan ke arah demokrasi yang sejati mengalami percepatan luar biasa. Walaupun UUD hasil amandenem yang dinamakan UUD 2002 tetap mengatakan bahwa pemilihan pemimpin negara pada semua jenjang dilakukan secara demokratis, tidak dikatakan “secara langsung”, nyatanya gubernur, walikota dan bupati dipilih secara langsung. Tidak ada demokrasi yang sehebat seperti ini.
Ini adalah demokrasi yang tulen, yang sejati, yang vox populi vox dei. Eh…. baru dipraktekkan sekitar 9 tahun dikembalikan lagi pada Pilkada melalui DPRD. Yang mengembalikan ini kan merampok hak rakyat ?

Baca Selengkapnya …

KONTROVERSI TENTANG PILKADA


Oleh Kwik Kian Gie

Sejak Indonesia berdiri sampai tahun 2007 tidak ada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung oleh rakyat. Dalam era Reformasi terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 yang menentukan bahwa Kepala Daerah pada semua jenjang, yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat.

Baca Selengkapnya …

MENCARI HARGA BBM YANG PANTAS UNTUK RAKYAT INDONESIA


Seminar sehari tanggal 24 September 2014
di Kwik Kian Gie School of Business

Key Note Speech oleh Kwik Kian Gie

Untuk dapat menentukan berapa harga BBM yang pantas untuk rakyat Indonesia kita perlu sepaham dahulu bahwa yang diartikan dengan BBM yang akan kita bicarakan adalah bensin premium, karena hanya bensin premium saja yang dijadikan obyek perdebatan. Selanjutnya kita perlu sepaham juga tentang apa yang diartikan dengan “harga pokok”, dan apakah harga pokok sama dengan pengeluaran uang tunai ? Kalau yang diartikan dengan harga pokok bensin premium adalah uang tunai yang harus dikeluarkan untuk mengadakan bensin premium, apakah benar pemerintah memberikan subsidi yang juga dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan sehingga APBN jebol ?

Baca Selengkapnya …

BENSIN PREMIUM MASIH MENDATANGKAN KELEBIHAN UANG TUNAI


Oleh Kwik Kian Gie

 

Jenis energi banyak, yaitu BBM, BBN, LPG 3 kg., LGV, Batu Bara dsb.

Yang sangat heboh sedang diperdebatkan adalah apakah harga bensin premium dinaikkan atau tidak ? Tulisan ini hanya memaparkan perhitungan bahwa dengan data dan asumsi yang terdapat dalam Nota Keuangan tahun 2015 tenyata Bensin Premium masih mendatangkan kelebihan uang tunai sebesar Rp. 107 trilyun.

Baca Selengkapnya …