ERA REFORMASI YANG MENYAJIKAN SANDIWARA NASIONAL
Percakapan antara Djadjang dan Mamad
Oleh Kwik Kian Gie
Setiap era di bawah Presiden tertentu mempunyai nama. Selama Bung Karno dinamakan Orde Lama, selama pak Harto disebut Orde Baru, selama Gus Dur tidak jelas. Selama Megawati disebut era Gotong Rotong sesuai dengan nama kabinetnya yang disebut Kabinet Gotong Royong. Setelah itu, yang berarti selama Presiden SBY memerintah disebut Era Reformasi.
Ciri khas era reformasi yalah bebas dan gaduhnya media massa jor-joran dengan artikel, ulasan, sindiran, makian dan apa saja yang menarik, yang wah dan yang sensasional. Setiap kali kita membaca menonton media massa, cetak maupun elektronik, yang diberitakan hanya 5 hal, yaitu :
- Korupsi,
- Pemilu dalam segala jenjang yang miskin gagasan penyelenggaraan negara, tetapi lenggak-lenggoknya para calon,
- Capres-mencapres,
- Perkelahian
- Iklan dari orang-orang yang memuji dirinya sendiri
Djadjang (Dj) dan Mamad (M) berbincang sebagai berikut.
M : Djang, sejak jatuhnya pak Harto kita mempunyai 6 presiden dan yang keenam SBY, yang memerintah dua periode sampai sekarang. Lambat tapi pasti demokratisasi kita berjalan sangat konsisten. Semakin lama semakin bebas. Kita saksikan semuanya berkembang dengan menakjubkan. Mall dan apartemen, mobil dari yang terkecil sampai yang termahal, kota-kota satelit modern yang dinamakan “city A”, “city B” dan seterusnya. Sekolah-sekolah “bertaraf internasional” dengan gedung-gedung sangat mewah, rumah sakit dengan peralatan mahal dan modern, dan masih banyak gedung-gedung lain yang hebat-hebat dan terlampau banyak untuk disebutkan.
Dj : Ya Mad, supaya lengkap keragamannya ditambah dengan semua warteg ramai, manusia gerobak bekerja keras, kaum gembel tidur di emperan dengan wajah bahagia dan banyak anak. Kreativitas bermunculan. jocky three in one membawa anak, terkadang boneka, supaya dihitung dua orang oleh polisi. Lalu lintas yang semerawut dilancarkan oleh pak Ogah, bukan oleh polisi. Lantas pada tingkatan yang sangat tinggi ada capres yang ingin membereskan semua masalah Indonesia dengan senyum, dengan lenggak-lenggok di TV sudah bagaikan Presiden, ada yang meniru gaya Bung Karno, ada yang bersenjatakan gitar, ada yang blesekan, sliweran, srimpetan, dan ada yang jadi bintang iklan jamu.
M : Kamu jangan sinis begitu.
Dj : Bukan mau sinis, tetapi supaya obyektif dan gambarannya lengkap. Indonesia itu bukan hanya mengenal pluralisme dalam arti multi etnis, multi kultural, multi religi, tetapi juga multi gaya, multi tingkat kemiskinan dan kekayaan. Pokoknya sangat kaya, apapun serba multi.
Dengan mengemukakan yang serba multi ini saya juga mau usul supaya pembicaraan kita fokus tentang satu dua masalah saja. Yang lain-lainya kita diskusikan dalam kesempatan mendatang.
M : OK, mari sekarang kita bicara tentang struktur politik terlebih dahulu, yaitu reformasi sistem ketata negaraan, dan itupun kita pilih yang paling mendasar, yaitu hakikat demokrasi yang semuanya harus ditentukan oleh one man one vote.
Dj : Struktur ketata-negaraan atas dasar UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali, yang dijuluki dengan nama “UUD 2002” mengakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kacau balau. Yang kita alami sehari-hari bukan demokrasi, tetapi anarki dan chaos.
M : Coba gambarkan yang padat, anarki dan chaos-nya terletak di mana ?
Dj : Selama pemerintahan Soeharto yang dikatakan otoriter dan diktatorial itu kan ibaratnya rakyat Indonesia bagaikan per yang jumlahnya ratusan juta. Per-per ini ditekan dengan lempengan besi yang sangat berat, supaya tidak berkutik. Lantas besinya langsung diangkat. Per-pernya yang beratus juta itu lompat ke arah mana saja. Kebebasan baik saja, tetapi kan harus tetap terencana dan setapak demi setapak, lempengan-lempengan besinya diambil satu per satu; setiap kali diambil diperoleh ruang gerak yang sedikit lebih besar.
Demokrasi dengan pemilihan langsung sampai pada jenjang Bupati dan Camat membuat mereka merasa mempunyai legitimasi yang sama dengan atasannnya. Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati sama-sama dipilih oleh rakyat. Menteri-menteri tidak, diangkat oleh Presiden. Dalam hal hak moral yang didasarkan atas legitimasi, kedudukan Menteri paling bawah, hanya pembantunya Presiden.
Demokrasi kita juga diagungkan sebagai vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Yang disuarakan oleh A Hok suara Tuhan, karena dia dipilih langsung oleh rakyat yang berarti voc poluli, yang vox-nya sama dengan vox dei. Suaranya Gamawan Fauzi hanya suaranya sendiri, paling-paling suaranya SBY.
M : Di Amerika kan begitu Djang ?
Dj : Ya, tapi mereka kan negara federal ? Maka ada kota Detroit yang bisa bangkrut. Di AS Senat sangat berpengaruh, di sini yang Senat-nya tiruan AS disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memble, tidak dianggap oleh siapapun juga.
Di sini tingkat pendidikan, kematangan jiwa dan nilai-nilai kebudayaannya berbeda, tetapi mengambil sistem yang sepenuhnya sama dengan AS. Maka hasilnya adalah kekacauan dan perbadutan.
Para pendukungnya tidak mengerti demokrasi a la Amerika Serikat, sehingga massa yang kalah dalam pilkada berkelahi fisik dengan massa pendukung yang menang.
Orang Indonesia yang terkenal rendah hati, yang humble, mendadak menjadi orang yang tanpa malu menyombongkan diri, terang-terangan mengatakan kepada rakyat bahwa dirinyalah yang paling hebat memimpin bangsa ini. Untuk itu mereka mengeluarkan banyak biaya perjalanan rombongan tim sukses yang besar, mengetengahkan massa bayaran, membayar iklan media massa yang mahal. TV dibeli yang menyiarkan lagak, cara berjalan, manggut-manggutnya, mengusap anak-anak sudah bagaikan Presiden. Rakyat yang melihatnya menjadikannya seperti badut.
Kalau kalah hartanya habis, bahkan masih dililit hutang, membuat massa donaturnya marah dan berkelahi fisik. Kalau menang, uang dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan harus dikembalikan yang menciptakan potensi menggunakan kekuasaannya untuk berkorupsi.
Mereka yang menyodorkan dirinya sebagai calon pemimpin praktis tidak ada yang mempunyai program yang konkret, rinci dan dapat diterapkan dalam praktek. Semuanya hanya retorik yang mengemukakan apa yang harus dicapai, tetapi tidak dapat mengemukakan bagaimana caranya mencapai tujuan dan target yang dikehendaki atau didambakannya. Mereka hanya mengemukakan what to achieve yang bagus dan indah, tetapi tidak mampu menyusun program kerja tentang how to achieve.
Kita saksikan DPR yang tingkat kehadirannya sangat minimal, yang tidak pernah konsisten antara galaknya ketika mensinyalir adanya masalah dengan sikap akhirnya. Adanya indikasi kuat terlibatnya banyak dari anggota DPR dalam korupsi. Kesemuanya tidak terlepas dari jumlah partai politik yang terlampau banyak tanpa mempunyai platform, sehingga yang mengemuka adalah kekuasaan yang tidak dipakai untuk memajukan dan membela kepentingan rakyat yang memberikan kepadanya kedudukan yang terhormat dengan kekuasaan legislatif.
Pemilihan Presiden secara langsung ditentukan oleh rakyat yang mayoritasnya miskin dan kurang terdidik. Mereka menjadi obyek manipulasi oleh uang, sehingga tidak menghasilkan pemimpin yang memang mempunyai semua kwalitas untuk memimpin bangsanya.
Tidak demikian dengan UUD 1945. Presiden dipilih oleh MPR yang kurang lebihnya memang sudah terpilih sebagai elit bangsa yang cukup mempunyai pengetahuan, pengalaman dan kebijakan (wisdom) dalam memilih Presiden yang paling kapabel dan paling cocok untuk memimpin bangsa ini, terutama karena sebagian dari anggota MPR adalah wakil daerah dan fungsional yang diseleksi dengan matang.
M : Lantas, solusinya bagaimana ?
Dj : Dekrit kembali pada UUD 1945. Jadi Presiden yang terpilih di tahun 2014 harus mendekritkan diberlakukannya lagi UUD 1945 dalam bentuk aslinya.
Kita kan pernah mengalami UUD 1950 yang liberal, yang mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet setiap 6 bulan sekali. Bung Karno marah dan dalam bulan Juli tahun 1959 mendekritkan kembali ke UUD 1945. Ini perlu diulangi dengan cara:
- DPR dan DPD dibubarkan.
-
Untuk pertama kalinya DPR dan MPR dibentuk oleh Kongres Nasional yang diselenggarakan oleh Presiden tahun 2014.
-
Kongres Nasional diselenggarakan oleh Presiden 2014 dari para anak bangsa yang diseleksi dengan ketat bahwa mereka mempunyai semua kwalifikasi untuk mewakili dan membela kepentingan masyarakatnya masing-masing.
- Jumlah partai politik diperkecil sampai menjadi paling banyak 5 partai
-
Penghapusan semua Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945 seperti UU Otonomi Daerah.
-
Penyempurnaan UUD 1945. Presiden segera membentuk Komisi Penyempurnaan Konstitusi.
-
Para anggotanya ditentukan atas dasar integritas, pengetahuan dan pengalaman serta kwalitasnya sebagai manusia yang mempunyai visi jangka panjang dan manusia yang bijaksana. Mereka diseleksi dari orang-orang yang memahami kebudayaan dan nilai-nilai bangsa yang menjadi dasar dan landasan bentuk demokrasi yang paling cocok buat bangsa Indonesia. Bukan demokrasi yang direkayasa oleh National Democratic Institute bersama-sama dengan para kroni Indonesianya yang terdiri dari quasi elit bangsa.
M : Wah, kita kehilangan waktu selama era Reformasi ? Gini lho Djang, demokrasi itu mahal dan belajar berdemokrasi harus dengan jatuh bangun, dengan trial and error. Jangan sedikit-sedikit lantas diganti lagi.
Dj : Era reformasi sudah berlangsung sekitar 14 tahun kalau kita mulai dari Gus Dur. Coba dengarkan dan perhatikan pembicaraan di kalangan manapun, kapan saja dan di mana saja, rasa galau, takut, jengkel, marah selalu mencuat. Kalau kita amati apa yang terjadi di seluruh Indonesia, ratusan seminar dan diskusi diselenggarakan untuk “menyelamatkan” bangsa. Dalam pembicaraan yang sifatnya lebih pribadi dalam lingkungan yang lebih kecil seperti pesta ulang tahun, resepsi pernikahan, arisan dan boleh dikatakan apa saja, perasaan yang sama selalu mencuat sambil bertanya apa yang akan terjadi ? Kalau ditanya lebih spesifik apa yang dikahawtirkan, semakin lama semakin banyak orang yang mulai khawatir bahwa kerusuhan sosial dengan kekerasan bisa terjadi kalau rakyat yang mengalami pemiskinan tidak mampu lagi menahan penderitaannya.
M : Hakikat dari UUD 1945 dalam aspek keterwakilannya rakyat bagaimana ?
Dj : Kekuasaan tertinggi ada di tangan tiga kelompok, yaitu DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Masing-masing mempunyai 1/3 hak suara. Dengan demikian yang dipilih hanya 1/3 dari kekuasaan tertinggi, yaitu DPR. Lainnya dipilih orang-orang yang dianggap bijaksana dan kapabel dari Golongan Fungsional dan Daerah.
Demokrasi tetap penting. Maka harus diberlakukan lagi, tetapi sangat terencana dan perlahan-lahan.
Cara mengambil keputusan yang sangat cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia dan sudah pernah dipraktekkan lama dibuang, yaitu cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Sedikit-sedikit di-vote. 50% + 1 boleh menginjak yang 49%. Para founding fathers kita mengatakan janganlah terjerumus pada tirani minoritas dan dikatur mayoritas.