'

Kategori

Follow Us!

Nasionalisme Kontemporer Di Amerika Serikat (Artikel3)

Liputan utama majalah The Economist tanggal 8 Desember 2007 dengan judul “The End of Cheap Food” memberitakan bahwa Pemerintah AS memberi subsidi luar biasa besarnya kepada petani jagung yang dijadikan bahan bakar. Tidak peduli bahwa yield energi dari jagung rendah, dan tidak peduli bahwa karena itu jagung sebagai bahan pangan kekurangan di dunia. Satu kali mengisi tangki mobil jenis SUV penuh sama dengan memenuhi kebutuhan jagung satu orang selama satu tahun. 30 juta ton jagung yang sudah dijadikan ethanol sama dengan penurunan stok jagung dunia dengan separuh.

Menurut The Economist Food Price Index, sejak tahun 2005 harga riil makanan meningkat dengan 75%. Naiknya harga ini akan memicu investasi, tetapi dalam kondisi yang diistilahkan “agflation”, harga makanan masih akan tetap mahal.

Kenaikan harga makanan yang tajam ini karena kebijakan subsidi oleh pemerintah AS yang membabi buta (reckless) untuk produksi ethanol berdasarkan jagung.

Ternyata pemerintah AS memberikan subsidi yang menurut majalah Economist reckless. Bagaimana sikap para sarjana ekonomi kelompok Berkeley Mafia yang begitu anti subsidi untuk para petani dan nelayannya?

Walaupun harga makanan ditentukan oleh permintaan dan penawaran, keseimbangan antara yang baik dan yang jahat tetap banyak tergantung pada kebijakan pemerintah. Kalau para politisi tidak melakukan apa-apa, atau melakukan hal-hal yang salah, dunia akan mengalami kesengsaraan yang lebih hebat, terutama mereka yang tinggal di perdesaan.

Ini yang ditulis oleh majalah The Economist.

Menurut Berkeley Mafia : The best government is the least government. Mereka juga sering guyonan dengan maksud serius yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Menurut majalah The Economist, peran politik para politisi sangat penting dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Para ekonom Berkeley Mafia beranggapan dan bangga bahwa mereka selalu berhasil mensterilkan kebijakan-kebijakannya dari ideologi politik. Mereka tidak mau disebut “politisi” walaupun dalam arti “negarawan penyelenggara negara”. Mereka bangga disebut “tukang” atau “teknokrat”. Dan yang sangat aneh, Bapak SBY-JK bangga mempunyai menteri-menteri ekonomi yang sama sekali tidak mempunyai afiliasi politik, karena sikapnya yang anti politik dalam kebijakan ekonomi itu dipuji oleh IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Padahal SBY-JK berasal dari dan menjadi pimpinan nasional karena kekuatan politik.

The Economist menulis bahwa hanya intervensi pemerintah yang dapat meniadakan ancaman dalam bidang keamanan pasokan makanan, kemiskinan di perdesaan, dan pengelolaan lingkungan.

Ini berlawanan dengan pikiran menteri-menteri ekonomi yang mempunyai paham bahwa segala sesuatu harus ditentukan oleh mekanisme pasar. Buat mereka praktis tidak ada barang dan jasa publik di Indonesia. Semuanya harus merupakan barang dagangan yang pengadaannya tergantung dari para pengusaha yang mau atau tidak maunya berinvestasi didasarkan atas pertimbangan untung rugi. Tengok kebijakannya dalam pembangunan jalan raya bebas hambatan, telekomunikasi, infrastruktur, air minum, litsrik, pelabuhan dan masih banyak lagi.

Bagian terbesar dari subsidi dan rintangan perdagangan oleh pemerintah AS telah merupakan biaya yang raksasa skalanya. Trilyunan dollar yang dipakai untuk mendukung para petani di negara-negara kaya menjurus pada pajak yang meningkat, kualitas makanan yang jelek, monokultur dalam pertanian yang intensif, kelebihan produksi dengan harga dunia yang menghancurkan kehidupan para petani miskin di emerging markets.

Ternyata mereka memberikan subsidi gila-gilaan? Menteri-menteri kita merasa bahwa bensin milik rakyat tidak boleh dijual kepada rakyat dengan harga yang lebih rendah dari yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange. Perbedaannya disebut subsidi yang diharamkan. Di negara-negara kaya subsidi diberikan secara reckless.

Tiga perempat dari orang miskin di dunia hidup di perdesaan. Harga makanan internasional yang ditekan serendah mungkin dengan subsidi bertrilyun dollar selama berpuluh-puluh tahun mempunyai dampak yang sangat merusak. Bagian dari pengeluaran publik di negara-negara berkembang yang dialokasikan pada sektor pertanian turun 50% sejak tahun 1980. Sudah lama investasi dalam irigasi hampir tidak ada. Negara-negara miskin yang biasanya mengekspor makanan sekarang harus mengimpornya.

Inilah gambaran yang diberikan oleh The Economist.

Jadi buat negara-negara kaya yang kuat, liberalisasi harus dipaksakan kepada negara-negara target yang harus membuka pintunya lebar-lebar tanpa hambatan. Di negaranya sendiri pemerintahnya boleh mensubsidi dan memproteksi sesukanya.

Kelihatannya sikap para pemimpin Indonesia sebaliknya, yaitu rakyatnya boleh sengsara, asalkan mereka bisa menepuk dada di fora internasional bahwa dirinya paham dan mengerti globalisasi, paham dan menghayati mekanisme pasar dan liberalisme.

Bagaimana trend mendatang dari globalisasi dan nasionalisme?

Financial Times tanggal 3 Desember 2007 mengutip kampanye Hillary Clinton yang butir-butirnya sebagai berikut.

Teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi. Hillary setuju dengan ekonom terkenal Paul Samuelson yang mengatakan dan menulis bahwa keunggulan komparatif seperti yang sampai sekarang dipahami dan diyakini tidak berlaku lagi dalam abad ke 21.
Kalau terpilih sebagai Presiden, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya di tahun 1993 adalah suaminya sendiri.
Dia menyatakan keprihatinannya dan sikap siaga terhadap pembelian perusahaan-perusahaan Amerika oleh pemerintah asing melalui BUMN-nya, termasuk China. Fenomena ini merupakan ancaman bagi kedaulatan ekonomi AS.
Di dalam negeri, Hillary akan menangani ketimpangan yang menurutnya luar biasa besarnya, karena sudah mencapai “the highest level” yang pernah dialami AS sejak tahun 1929. Dalam kurun waktu tersebut seluruh pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh 10% rakyat yang berpendapatan tinggi, sedangkan pendapatan yang 90% lainnya menurun terus.
Bandingkan sikap Hillary dengan pendirian dan sikap serta kebijakan konkret dari menteri-menteri ekonomi kita.

ROBERT J. SAMUELSON

Majalah Newsweek terbitan 31 Desember – 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J. Samuelson yang berjudul “Goodbye to Global Free Trade”. Dia mengawali tulisannya dengan semacam teka-teki. Dia bertanya, apa yang sama dari yang berikut ini : (a) Vladimir Putin; (b) mata uang China; (c) Perjanjian perdagangan US-Peru; (d) Hugo Chavez. Jawabnya : Mereka semuanya merefleksikan mercantilisme.

Butir-butir dari tulisannya sebagai berikut.

Walaupun perekonomian negara-negara di dunia saling interdependen, mereka sekaligus juga berkembang ke arah nasionalistik. Mereka memberlakukan kebijakan yang menguntungkan dirinya sendiri atas biaya bangsa-bangsa lain.
25% dari pasokan gas Eropa datang dari Russia. Vladimir Putin sudah mulai berbicara tentang pembentukan Kartel Gas. Eropa mulai khawatir bahwa gas akan dijadikan alat penekan oleh Putin. Chavez lebih terang-terangan dan kasar. Chavez menjual minyaknya kepada Cuba dan negara-negara Amerika Latin lainnya dengan harga lebih murah karena dianggap sebagai sahabat.
(KKG : Indonesia menjual minyak milik rakyat kepada rakyatnya sendiri dengan harga yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange.)
Samuelson mengutip ilmuwan ilmu politik dari Harvard University, Jeffrey Frieden yang menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah the Great Depression (1929). Faktor kedua adalah perang dingin. Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Kedua-duanya menunjang kebijakan perdagangan bebas. Sekarang kedua faktor tersebut tidak relevan lagi.
Ekonomi dunia yang sedang dalam kondisi booming ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dapat membungkam negara-negara Barat dengan pembelian besar-besaran. Negara-negara Barat tidak terlampau nyaring suaranya melawan China, karena disodori oleh China dengan order-order raksasa. Belum lama ini China memesan 160 pesawat Airbus senilai US$ 15 milyar.
Di Amerika Serikat, pola perdagangan global dewasa ini disikapi dengan permusuhan (hostility) yang meningkat.

Demikian Robert Samuelson, kolumnis tetap majalah Newsweek.

Alangkah bedanya dengan menteri-menteri Berkeley Mafia kita yang mengemis supaya investor asing, tanpa peduli apakah mereka BUMN atau tidak, membeli apa saja di Indonesia, termasuk yang vital seperti Indosat, Telkom, infrastruktur, pembangkit listrik, air bersih, menggali mineral dengan kontrak yang tidak transparan.

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

3 responses to "Nasionalisme Kontemporer Di Amerika Serikat (Artikel3)"

  1. Mengkritisi sedari awal | Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu Oktober 19th, 2014 05:36 am Balas

    […] Menteri-menteri Berkeley Mafia kita mengemis supaya investor asing, tanpa peduli apakah mereka BUMN atau tidak, membeli apa saja di Indonesia, termasuk yang vital seperti Indosat, Telkom, infrastruktur, pembangkit listrik, air bersih, menggali mineral dengan kontrak yang tidak transparan tulis Kwik Kian Gie pada http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/nasionalisme-kontemporer-di-amerika-serikat-artikel3/ […]

  2. Tidak taat ucapan | Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu Oktober 27th, 2014 09:59 am Balas

    […] Menteri-menteri Berkeley Mafia kita mengemis supaya investor asing, tanpa peduli apakah mereka BUMN atau tidak, membeli apa saja di Indonesia, termasuk yang vital seperti Indosat, Telkom, infrastruktur, pembangkit listrik, air bersih, menggali mineral dengan kontrak yang tidak transparan tulis Kwik Kian Gie pada http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/nasionalisme-kontemporer-di-amerika-serikat-artikel3/ […]

  3. Akhirnya BBM naik | Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu November 18th, 2014 10:34 am Balas

    […] Kwik Kian Gie menuliskan pada http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/nasionalisme-kontemporer-di-amerika-serikat-artikel3/ tentang menteri-menteri Berkeley Mafia mengemis supaya investor asing, tanpa peduli apakah mereka […]

Leave a Reply