Laksamana Sebagai Tersangka: Politisasi, Kebijakan, Kelalaian, Pembantu, Pemimpin atau Faktor X?
Dinyatakannya Laksamana Sukardi sebagai tersangka korupsi dalam penjualan Very Large Crude Carrier (VLCC) menarik perhatian yang lebih besar dan lebih intensif dibandingkan dengan kasus-kasus penyidikan korupsi lainnya.
Kecuali dari media massa, perhatian yang lebih besar juga datang dari masyarakat luas. Banyak faktor yang membuat masalah ini menjadi pembicaraan yang ramai di mana-mana dan membuatnya istimewa.
Dua faktor sangat menonjol. Laksamana menyebutkan bahwa mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan mantan Menteri Keuangan Boediono perlu dimintai keterangannya, karena Laksamana menyatakan bahwa penjualan VLCC dibicarakan, dan karena itu diketahui oleh Megawati sebagai Presiden RI maupun Boediono sebagai Menteri Keuangan ketika itu.
Faktor lain yang membuat masalah ini gegap gempita yalah dikerahkannya massa Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), di mana Laksamana Sukardi salah seorang pimpinan kolektifnya yang sangat penting. Ada yang tanya kepada saya yang mempolitisasi penyidikan masalah penjualan VLCC itu Laksamana yang mengerahkan massa partainya ataukah Kejaksaan Agung? Walaupun partai politik yang baru dan berusia muda belia, partai ini menarik perhatian sangat banyak orang karena gedungnya yang demikian besar, demikian mewah, demikian mentereng dan terletak di jalan protokol kelas satu yang harganya super mahal. Maka partai pecahan dari partai rakyat sandal jepit ini muncul dengan pencerminan kekayaan yang sangat besar. Pimpinan dari partai politik yang seperti ini tentu mengundang banyak perhatian.
Sejak awal kasus penjualam VLCC sudah mengundang tanda tanya. Yang mulai Serikat Kerja Pertamina yang melayangkan surat kepada DPR tentang kemungkinan adanya manipulasi dalam penjualan VLCC. Itulah sebabnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) langsung saja membentuk Panitia yang khusus membahas masalah ini. Mengapa? Laksamana sebagai Komisaris Pertamina ex officio ketika Pertamina masih berstatus Perum ikut menyetujui dibelinya dua buah VLCC. Walaupun ketika itu Laksamana bukan Komisaris Utama, tetapi sangat penting kedudukannya dibandingkan dengan Komisaris lainnya karena dia menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) yang mempunyai wewenang sangat besar atas kebijakan Pertamina sebagai BUMN dalam memecat dan mengangkat Direksinya. Namun dalam waktu singkat, yaitu ketika Pertamina atas kekuatan Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas berubah statusnya menjadi Persero dengan Laksamana sebagai Komisaris Utama, beliau serta merta merombak susunan Dewan Komisaris dan Dewan Direksi. Bersamaan dengan itu, dua buah VLCC dijual. Laksamana sebagai Komisaris ikut memutuskan membeli, dan dalam waktu singkat Laksamana sebagai Komisaris Utama memutuskan menjualnya.
Perilaku atau kebijakan yang berubah begitu cepat dari satu orang yang sama – walaupun dalam status hukum yang berbeda, baik Pertaminanya yang dari Perum menjadi Persero dan Laksamana yang dari Komisaris biasa menjadi Komisaris Utama – tentu mengundang tanda tanya.
Namun dalam waktu singkat Laksamana mampu memberikan penjelasannya, yaitu karena mendadak Pertamina dihadapkan pada kekurangan likuiditas. Dengan menjualnya, likuiditas Pertamina tertolong. Berapa besar likuiditas ini sehingga menjadi penyebab pengambilan keputusan yang zig-zag tentang hal yang demikian pentingnya? Jelas tidak terlalu besar. Harga dua buah kapal itu sendiri cukup besar, US$ 130 juta. Tetapi apakah besar untuk Pertamina? Yang dibayarkan baru down payment (DP) sebesar 20 % atau US$ 26 juta. Jadi dengan menjualnya lagi, hanya US$ 26 juta yang diperoleh kembali oleh Pertamina.
Sangat sulit dicerna oleh akal sehat bahwa Menteri Keuangan tidak mau memberi talangan yang hanya US$ 26 juta kepada Pertamina yang begitu vitalnya. Apalagi ketika Boediono sebagai komisaris ikut menyetujui pembelian VLCC yang bersangkutan.
Mengapa seluruh Direksi dan Dewan Komisaris Pertamina secara aklamasi menyetujui membeli VLCC ketika Baihaki Hakim Direktur Utamanya? Karena adanya kenyataan yang meyakinkan pimpinan Pertamina bahwa dunia usaha tanker minyak dikuasai oleh semacam mafia yang sifatnya monopolistik dan jahat. Berkali-kali Pertamina dibuat pusing tujuh keliling karena kalau sedang sangat membutuhkan VLCC tarifnya dinaikkan seenaknya sendiri. Kecuali itu, di bawah pimpinan Baihaki Hakim yang mempunyai pengalaman 13 tahun lamanya sebagai Direktur Utama Caltex Indonesia telah membuat perhitungan keekonomian yang cermat bahwa ditinjau dari sudut untung rugi keuangan pun, membeli dua buah VLCC menguntungkan. Mengapa keuntungan-keuntungan yang begitu besarnya, baik yang sifatnya finansial maupun yang non finansial dengan mudahnya ditiadakan karena kurangnya likuiditas yang tidak seberapa untuk ukuran volume bisnis Pertamina?
Laksamana mengemukakan bahwa penjualan VLCC membawa keuntungan US$ 53 juta. Tetapi seandainya ditunggu sebentar, bukankah harganya akan melambung terus? Mengapa? Harga baja melonjak-lonjak berlipat-lipat ganda, sampai kalau kita ingin membuat pagar besi rumah kita saja harus membayar harga yang melonjak dua sampai tiga kali lipat. Mengapa? Karena China memborong baja seluruh dunia dengan harga berapa saja untuk membangun ekonominya. Masak Laksamana, Arifi Nawawi dan Alfred Rohimone tidak mampu mengantisipasi perkembangan ekonomi bisnis yang seperti ini? Mereka ini Dirut dan Direktur Keuangan perusahaan minyak yang termasuk raksasa! Dan yang lebih penting lagi, apakah Boediono yang begitu lama di pemerintahan dan yang pengetahuan ilmiahnya juga membawanya pada gelar guru besar mengorbankan kepentingan-kepentingan begitu besar gara-gara Pertamina kekurangan likuiditas? Atau begitu fundamentaliskah kepercayaannya pada liberalisme dan mekanisme pasar, sehingga bersikap persero ya persero, maka persetan dengan kesulitan likuiditasnya?
Mengapa tidak pernah terbetik pikiran alangkah untungnya Pertamina yang membeli dua buah VLCC ketika harganya masih begitu murah karena dampak penyedotan persediaan dunia oleh China belum terasa? Mestinya kan harus bersyukur, merasa beruntung dan VLCC itu dianggap berkah buat usaha jangka panjang. Kok dijadikan berkah jangka sangat pendek dengan memanfaatkan likuiditas yang tidak ada artinya buat likuiditas keuangan negara sebagai pemilik Pertamina?
Bayangkan adanya pengusaha yang membeli mesin sangat penting dan sangat canggih. Setelah dibeli harga mesin melonjak. Pengusaha tersebut lantas menjualnya karena memperoleh laba. Saya kira orang yang mengerti bisnis dan berakal sehat tidak ada yang bisa mengerti kebijakan seperti ini.
Sekarang tentang kaitannya dengan Ibu Megawati sebagai Presiden. Widjanarko Puspoyo dan Rochmin Dahuri juga bawahannya Presiden Megawati ketika melakukan perbuatan yang dianggap korup oleh Majelis Hakim. Tapi Widjanarko dan Rochmin tidak pernah mengaitkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya dengan Presidennya. Memang tidak mungkin seorang Presiden mengetahui semua perbuatan pembantunya sampai sedetil-detilnya. Apalagi kalau perbuatannya koruptif, jelas perbuatannya itu ditutup-tutupi terhadap Presidennya. Maka apakah gerangan kartu trufnya Laksamana (“kartu truf” adalah istilahnya rekan Laksamana di PDP ketika memberikan keterangan kepada Rakyat Merdeka).
Punya atau tidak punya kartu truf, seorang menteri memang pembantu Presiden. Namun secara substansial dan filosofis logis, seorang menteri itu tergolong pemimpin bangsa yang harus mempunyai ukuran-ukuran etika dan hati nurani sendiri. Istilahnya memang “pembantu”, tetapi pembantu Presiden sangat berlainan dengan pembantu rumah tangga. Maka tidak bisa berlindung di belakang Presiden dengan mengatakan harus melakukan apapun kata Presiden secara membabi buta. Mengapa? Seorang menteri selalu bisa meletakkan jabatan sambil mengatakan “saya tidak mau masuk jurang bersamamu”, hal yang dilakukan oleh Bung Hatta ketika tidak lagi sejalan dengan Bung Karno. Laksamana bukan tipe yang membebek. Maka lagi-lagi muncul pertanyaan di benak banyak orang, kartu truf apakah gerangan yang dimilikinya? Apalagi ada pernyataan dari rekan-rekannya seperti Roy BB Janis bahwa Laksamana akan buka-bukaan. Apa semua gerangan yang mau dibuka?
Sekarang tentang kewenangan yang diberikan oleh Presiden Megawati kepada Meneg BUMN-nya dalam bentuk PP no. 41 tahun 2003, menurut pendapat saya sangat perlu diuji oleh Mahkamah Konstitusi, apakah isi dan bunyi PP no. 41, tetapi terutama spiritnya tidak bertentangan dengan Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sehingga dengan demikian juga melanggar Konstitusi kita?
Berkaitan dengan kekacauan hukum tersebut ada kejadian yang mungkin relevan tentang hal ini. Presiden Abdurrachman Wahid menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 96 tahun 1999 yang isinya memberi wewenang kepada Meneg BUMN yang mestinya wewenang Menteri Keuangan, sehingga Menkeu Bambang Sudibyo berkesulitan merekapitalisasi bank-bank BUMN. Dalam waktu lima hari setelah ditandatanganinya PP tersebut, dilema dan kontroversinya mencuat. Presiden Wahid (Gus Dur) marah-marah, mencabut PP no. 96 yang diganti dengan PP no. 98 dengan kewenangan Meneg BUMN yang tidak menyangkut keuangan negara. Lantas dalam restrukturisasi kabinetnya, Gus Dur membubarkan Kementerian BUMN. Tugas pokok dan fungsinya diberikan kepada seorang Direktur Jenderal Departemen Keuangan.
Gus Dur jatuh, diganti oleh Megawati. Kementerian BUMN dihidupkan kembali, Laksamana diangkat lagi menjadi Menterinya. Terbitlah PP no. 41 tahun 2003 yang oleh Laksamana ditafsirkan sebagai wewenangnya sepenuhnya yang legal, yang diberikan oleh Presiden untuk mengambil kebijakan yang menyangkut lebih untung atau lebih buntungnya keuangan negara. Dua presiden mempunyai persepsi yang berbeda. Bagaimana Mahkamah Konstitusi?
Dengan artikel ini sekaligus ingin saya kemukakan bahwa masalah korupsi bukanlah semata-mata masalah huruf-huruf yang tercantum dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan-peraturan, tetapi lebih-lebih lagi masalah logika, hati nurani, kepatutan, kewajaran, akal sehat, moral, akhlak, nilai dan entah apa lagi hal-hal baik yang diberikan oleh Tuhan Yang Esa.