'

Kategori

Follow Us!

DEMOKRASI 50 PERSEN PLUS SATU

Percakapan antara Djadjang dan Mamad

Djadjang (Dj) seorang yang menganggap pendidikan tidak terlampau penting. Namun seperti kebanyakan orang dia menuntut ilmu di perguruan tinggi. Yang dibaca bukannya buku-buku yang fokus pada studinya, tetapi tentang apa saja. Akhirnya dia merasa yang dipelajari di fakultasnya hanya teknik-teknik belaka seperti tukang, bukan menjadi intelektual. Maka setelah sekitar 10 tahun dia berhenti, tidak menyelesaikan studinya.

Mamad (Mam) sosok yang sangat berlainan. Dia belajar dengan fokus bak kaca mata kuda pada bidang mata pelajaran atau Fach yang dipilihnya. Hampir semua pendapatnya tidak ada yang berasal dari pikiran dan nalarnya sendiri. Semuanya dikutip dari pendapat orang lain. Kadang-kadang dia dijuluki sebagai Fach Idiot.

Djadjang dan Mamad sangat bersahabat. Mereka mebincangkan dan memperdebatkan apa saja. Berikut adalah perbincangannya tentang demokrasi Indonesia dewasa ini yang dipuja-puji oleh dunia Barat.

Mam : Djang, kita boleh bergembira bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah sangat demokratis. Dalam kampanye yang lalu kita saksikan betapa maraknya, peragaan kampanye sangat mahal. Orang sudah berani memprogandakan dirinya sebagai orang hebat yang perlu dipilih untuk memimpin bangsa ini, baik di bidang legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Dj : Memang betul Mad, tetapi apakah demokrasi seperti itu yang terbaik untuk bangsa kita ? Yang menggagas demokrai buat bangsa kita sebelum Indonesia merdeka mempunyai pikiran-pikiran yang berbeda.

Mam : Ya, tapi mereka kan kuno, ketinggalan zaman. Yang jauh-jauh hari mengerti tentang ini adalah pimpinan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mereka menolak memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Bung Hatta karena pikiran-pikirannya Bung Hatta dianggap kuno.

Dj : Yang kau bicarakan kan bidang ekonomi. Kita kembali saja pada fokus demokrasi politik.

Sejak awal Bung Karno dan para pendiri bangsa kita yang lainnya sudah mempertanyakan apakah demokrasi yang membolehkan 50 persen plus satu suara menentukan apa saja dapat dibenarkan ? Bedanya hanya dua persen suara saja. Masa suara 2 persen boleh menginjak yang 49 persen dari jumlah warga negara ?

Mam : Terus ukurannya apa, dan bagaimana caranya mengambil keputusan kalau pengambilan keputusan tidak didasarkan atas voting dengan yang lebih banyak yang menang ?

Dj : Rumusannya sudah jelas dibuat oleh para pendiri bangsa kita, yaitu yang intinya berbunyi : “Keputusan diambil melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Kalau tidak dapat dicapai permufakatan, sehingga ada resiko besar kekosongan yang mengakibatkan ketidak pastian, barulah dipungut suara. Jadi voting adalah last resort. Kalau terpaksa sekali baru dilakukan.

Mam : Wah, itu kan sama sekali tidak efisien. Untuk satu urusan saja dibutuhkan waktu berdiskusi dan berdebat yang bertele-tele.

Dj : Memang, tapi kan ada batasnya ? Kalau sudah membahayakan dilakukan voting. Jadi hanya kalau sudah terpaksa betul.

Mam : Ah, itu kan hanya teori. Dalam prakteknya tidak ada cara pengambilan keputusan seperti itu. Hanya ada dalam UUD 1945 yang memang perlu diamandemen.

Dj : Dalam praktek penyelanggaraan negara kita pernah ada Mad. Aku pernah menjadi anggota Badan Pekerja MPR sebagai Fraksi Minoritas. Aku mencoba ngotot. Ketika itu Fraksi Mayoritas memberi pelajaran kepadaku dengan beberapa kali langsung menggunakan hak suaranya untuk voting. Aku langsung berubah sikap sangat drastis. Aku kemukakan semua sikap dan pendapat Fraksi-ku. Lantas aku katakan terserah apa yang mau dilakukan oleh Fraksi Mayoritas. Kalau mau menangnya sendiri, silakan ambil semuanya. Sudah ada notulennya yang bisa diketahui oleh rakyat apa pikiran-pikiran yang baik dari Fraksi yang aku wakili. Kondisinya langsung berubah. Mereka banyak sekali menyetujui usulan Fraksiku. Jadi bukan textbook.

Mam : Itu kan kuno. Apa sih manfaatnya buang-buang waktu berdebat lama sebelum mengambil keputusan ? Bukannya lebih cepat lebih baik ?

Dj : Di parlemen Inggris dulu pernah terjadi Fraksi mayoritas langsung saja meninggalkan ruang sidang ngobrol dan minum kopi, menghisap cerutu begitu Fraksi minoritas mengemukakan pendapatnya. Mereka hanya masuk untuk voting menolak usulan Fraksi minoritas tanpa mendengarkan sedikitpun tentang apa yang dikemukakan olehnya. Itu contoh paling gamblang dari apa yang oleh Bung Karno dinamakan Diktatur Mayoritas.

Mam : OK, tapi sebaliknya bagaimana ? Kalau Fraksi minoritas merasa bahwa apapun yang dikemukakan olehnya ditanggapi secara sungguh-sungguh oleh Fraksi mayoritas dengan membuang banyak waktu dan tenaga, Fraksi minoritas akan sengaja mengganggunya dengan pengeyelen (pengototan). Bukankah itu juga ditolak oleh Bung Karno yang disebutnya Tirani Minoritas ?

Dj : Betul. Kali ini kamu tidak text book thinking. Kalau Bung Karno sampai mempunyai istilah untuk sikap dan praktek yang demikin, dia bersama rekan-rekannya juga sudah mengetahui cara mengatasinya. Dalam waktu singkat Fraksi Mayoritas mengetahui bahwa lawannya hanya bermaksud buruk. Maka lantas dipakai sajalah voting. Kalau ini terjadi beberapa kali saja, Fraksi Minoritas akan segera sadar dan tidak menggunakannya lagi.

Mam : Kamu boleh berteori macam-macam Djang. Tetapi sekarang kamu sudah tidak relevan. Buktinya, MK saja menggunakan prinsip 50 persen plus satu dalam mengadili gugatan dua pasangan capres yang kalah. Hitungannya yalah bahwa gugatan baru dikabulkan kalau pelanggaran yang bisa dibuktikan melibatkan 13 juta suara. Nalarnya yalah pasangan yang menang memperoleh 62% suara. Supaya menjadi 49%, suara tidak sah yang diperolehnya harus turun hanya menjadi 49% saja, dan ini sama dengan penurunan 13 juta suara. Jadi MK menggunakan prinsip 51 persen plus satu yang menang.

Dj : Memang, MK kan mengikuti prinsip ini setelah adanya apa yang dinamakan reformasi dan setelah UUD 1945 diamandemen empat kali ?

Mam : Apakah partai-partai yang dikalahkan oleh kecurangan dan kekacauan manajemen oleh KPU tidak bisa menggunakan senjata yang sama, yaitu mengatakan kepada yang menang : Kalau anda curang dan serakah kekuasaan seperti itu, ambillah semuanya. Perintahlah sendiri negara bangsa ini. Kami tidak akan mengirimkan wakil-wakil ke DPR !

Dj : Sangat bisa kalau mau. Tetapi yang kita saksikan kan jelas sekali mereka tidak punya pendirian dan keyakinan apapun juga kecuali uang dan kekuasaan ? Yang tadinya begitu galak, setelah dikalahkan oleh MK, langsung saja sibuk mendekat ke yang menang mengemis-ngemis kedudukan.

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

2 responses to "DEMOKRASI 50 PERSEN PLUS SATU"

  1. Ryo Maret 8th, 2012 11:27 am Balas

    Intinya adalah harta dan tahta, serta wanita :kabur::::….

  2. syarifuddin simanjuntak April 24th, 2012 15:24 pm Balas

    Itulah realita para penguasa n politikus/wakil rakyat. Mereka sudah merendahkan dirinya seperti gunung sampah. Bahkan pelacur/lonte jalanan lebih terhormat dan lebih punya harga diri.

Leave a Reply