Pidato CGI 2 (dalam bahasa Indonesia)
MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS
PENGGUNAAN BANTUAN ASING SECARA EFEKTIF
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS
Pre-CGI Meeting di Jakarta, tanggal 12 Juni 2002
Saya diminta untuk memberikan sepatah dua kata dalam pertemuan hari ini. Untuk tujuan ini, staf Bank Dunia dan staf Bappenas telah membentuk tim gabungan yang menyusun pidato yang dimaksud. Pidato sudah selesai dibuat. Isinya bagus, bermanfaat dan memberikan pertanggungan jawab tentang upaya pemerintah Indonesia memaksimalkan efektivitas penggunaan bantuan luar negeri (yang bagi saya adalah utang). Pidato tersebut juga memberikan penjelasan yang seimbang tentang apa yang telah dicapai dan masalah-masalah yang timbul karena otonomi daerah dan desentralisasi. Pidato tersebut juga memperlihatkan pekerjaan orang-orang lapangan yang lebih mengetahui soal-soal teknis ketimbang saya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada tim yang telah menyusun pidato tersebut. Saya tidak akan membacakannya, tetapi membagikannya kepada hadirin sebagai lampiran dari pidato yang saya susun sendiri dan saya bacakan.
Saya masih terganggu dengan penggunaan istilah “aid” (bantuan) untuk penerimaan uang yang sebenarnya adalah utang. Dalam pidato saya di hadapan sidang CGI pada tanggal 8 November tahun 2001, saya menguraikan panjang lebar perbedaan antara “aid” dan “loan” dengan segala implikasinya dalam bidang pengukuran dan penilaian tentang efektivitasnya. Pidato tersebut juga berjudul “Effective Use of Foreign Aid”, yang persis sama dengan judul yang diberikan kepada saya untuk pidato pada sidang CGI tanggal 8 November 2001 yang lalu.
Karena itu, daripada saya mengulanginya lagi, izinkanlah saya berbicara tentang hal yang lebih mendasar karena dampaknya yang lebih besar, yaitu tentang korupsi.
Ada dua faktor yang mempengaruhi efektivitas penggunaan utang. Yang satu adalah keseluruhan organisasi yang melaksanakan penggunaan utang, lengkap dengan sistem, prosedur dan proses operasionalnya. Faktor kedua adalah motivasi, kompetensi dan integritas dari orang-orang yang menjalankan organisasi tersebut. Tidak banyak gunanya kita membangun struktur organisasi dan institusi lengkap dengan sistem, prosedur, perencanaan dan pengawasan kalau orang-orang yang menjalankannya dari pikiran sampai darah dagingnya adalah korup.
Seperti yang telah saya katakan dalam pidato saya pada tanggal 8 November 2001, korupsi di Indonesia tidak hanya terbatas pada mencuri dan menggelapkan uang. Keseluruhan mental, moral, akhlak dan jalan pikirannya sudah korup. Karena itu, pidato yang telah disiapkan oleh tim gabungan penyusun pidato kurang lengkap dan bahkan tidak relevan, karena tidak menyentuh bagaimana caranya mengurangi korupsi. Saya sendiri tidak berani menyatakan memusnahkan korupsi sama sekali, karena menurut saya mustahil. Tetapi kalau kita dapat mengurangi korupsi secara signifikan, sudah akan sangat banyak yang kita capai. Semua orang berbicara tentang pemberantasan korupsi, termasuk para koruptor sendiri, tetapi tidak pernah ada orang yang mengajukan solusi yang menyeluruh dan praktis dan menyentuh akar persmasalahannya, yang memberi motivasi atau memaksa orang untuk tidak melakukan korupsi.
Kalau kita memang mau jujur, konsep pengurangan korupsi tidaklah rumit. Kita mempunyai banyak contoh. Singapura sangat berhasil dalam pemberantasan korupsi dan China sudah mengalami banyak kemajuan. Dua negara ini menerapkan prinsip carrot and stick. Yang diartikan dengan carrot adalah gaji resmi yang tidak dapat diragukan cukup untuk hidup secara nyaman buat para pejabat tinggi yang mempunyai kuasa, agar kekuasaannya tidak dikomersialkan. Kalau gaji yang jelas cukup untuk hidup yang terhormat dan nyaman sudah diberikan, tetapi masih berani korup, yang bersangkutan harus dihukum yang seberat-beratnya, kalau perlu dihukum mati seperti di China. Namun ini tidak mungkin dilakukan, karena seluruh pegawai negeri Indonesia sangat besar jumlahnya, sekitar 4 juta orang, sehingga pemerintah tidak cukup mempunyai uang untuk menaikkan gajinya sampai pada tingkat yang saya maksudkan.
Andainyapun pemerintah mempunyai cukup dana untuk meningkatkannya, juga tidak rasional, karena selama 57 tahun sejak berdirinya Republik Indonesia, pemerintah tidak pernah melakukan penelitian apakah jumlah pegawai negeri yang demikian banyaknya memang sudah rasional dan optimal ? Maka pemberlakuan carrot and stick hanya masuk akal dilakukan kalau dibarengi dengan reformasi birokrasi secara besar-besaran.
Kita juga tidak pernah melakukan audit dalam bidang struktur organisasi, apakah struktur organisasi memang dirancang dan disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan setiap kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Apakah struktur organisasi lembaga-lembaga pemerintah disusun berdasarkan atas prinsip “structure follows strategy” ataukah sebaliknya, yaitu struktur organisasi disusun terlebih dahulu tanpa mempedulikan tujuan apa yang hendak dicapai. Cara ini sudah menjadi kebiasaan dan seolah-olah secara refleks orang langsung saja menggambar struktur organisasi. Cara yang sangat salah atau dalam ilmu manajemen dikenal dengan sebutan “structure follows strategy” jelas terlihat pada organisasi lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia. Lebih buruk lagi, kebijakan yang berlaku sekarang adalah bahwa struktur organisasi, sistem dan prosedur komunikasi dan kontrol semuanya uniform tanpa mempedulikan bahwa setiap lembaga pemerintah mempunyai tujuan yang berbeda. Seorang menteri mengibaratkan kalau struktur, sistem dan prosedur sebuah organisasi adalah baju dan yang membutuhkan adalah orang, dia mengatakan bahwa orang gemuk dan kurus, tinggi dan pendek semuanya diberi baju yang sama. Mana mungkin organisasi yang demikian dapat mencapai sasarannya?
Hal-hal seperti ini sama sekali tidak pernah disentuh sedikitpun dalam Letter of Intent dari IMF maupun dalam berbagai rekomendasi yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga internasional.
Akhir-akhir ini saya banyak diberitakan ingin mengakhiri hubungan kerja sama dengan IMF. Dalam forum yang baik ini, ingin saya jelaskan bahwa saya tidak ingin memutuskan hubungan dengan IMF di tengah jalan. Apalagi bersikap “go to hell with IMF” seperti yang diinsinuasikan oleh beberapa media massa. Yang saya inginkan adalah supaya kedua belah pihak menghormati kontrak kerja sama antara pemerintah Indonesia dan IMF yang menurut pengetahuan saya berakhir dalam bulan November 2002. Kalau kerja sama antara pemerintah Indonesia dan IMF diperpanjang sampai akhir tahun 2003, dapat dipastikan bahwa IMF akan memaksa pemerintah Indonesia untuk menjual semua bank-bank yang masih dilekati dengan obligasi pemerintah berikut obligasi yang masih ada di dalam bank-bank tersebut. Maka setiap kali bank dijual, obligasi yang adalah tagihan kepada pemerintah beralih ke tangan swasta. Tetapi sebaliknya, bank yang masih ada di dalam wilayah pemerintah, pemerintah harus melakukan penarikan obligasi terlebih dahulu sehingga hanya bank yang sudah bersih dari obligasi atau surat pernyataan utang oleh pemerintah, bank dijual kepada swasta.
Mengapa demikian ? Karena apa gunanya kita memikirkan bagaimana cara menggunakan utang dari negara-negara yang Tuan wakili kalau uang dihamburkan jumlahnya sebesar antara 25 kali sampai 175 kali lipat dari yang setiap tahunnya dimintakan kreditnya dari negara-negara CGI. Dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak akan mampu membayarnya tanpa mencetak uang secara besar-besaran atau menangguhkan pembayaran obligasi setiap kali obligasinya jatuh tempo untuk dibayar.
Seperti kita ketahui bersama, bank-bank yang demikian rusaknya sehingga semestinya ditutup tidak ditutup karena menutup bank membutuhkan uang banyak yang tidak dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Uang yang banyak ini dibutuhkan untuk membayar kembali uang milik masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank yang rusak berat itu dalam bentuk giro, tabungan dan depsotio. Uang tunai yang banyak juga dibutuhkan untuk membayar pesangon kepada para karyawan yang di-PHK. Maka bank-bank dipertahankan hidup dengan cara menginjeksi bank dengan obligasi pemerintah. Dengan demikian, modal ekuiti yang tadinya negatif serta merta menjadi positif. Jumlahnya dibuat sedemikian rupa sehingga kecukupan modal atau CAR dibuat serta merta menjadi 4 % (ketika itu) yang sekarang dinaikkan menjadi 8 %. Karena bank memegang obligasi pemerintah, bank menerima bunga obligasi yang serta merta membuat bank untung sedangkan tadinya merugi setiap bulannya.
Jelas bank dipertahankan hidup. Bank tidak dibuat menjadi kaya. Maksudnya adalah untuk membeli waktu, menunggu sambil bersamaan dengan membaiknya ekonomi, bank juga setapak demi setapak menjadi sehat. Apa yang diartikan sehat ? Sehat adalah kalau bank sudah mampu membuat laba neto atas kekuatannya sendiri, yaitu bank mampu menarik uang dari masyarakat dengan cost of money tertentu, dan meminjamkannya kepada dunia usaha dengan bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian akan diperoleh spread yang cukup, sehingga laba neto yang meningkatkan modal ekuiti sampai CAR-nya lebih dikurangi untuk mengembalikan obligasi pmerintah tanpa mengganggu CAR. Setelah bank bersih dari obligasi pemerintah, barulah bank dijual kepada swasta. Pikiran seperti ini dikemukakan oleh Mr. Stanley Fischer dan Mr. Hubert Neiss kepada Ibu Megawati jauh sebelum beliau menjadi Wakil Presiden. Yang mendampingi Ibu Megawati adalah Laksamana Sukardi dan saya sendiri. Jadi yang saya katakan ini bukan pendengaran dari orang lain, melainkan langsung saya dengar dari Stanley Fischer.
Tetapi apa yang terjadi dengan penjualan BCA ? BCA dijual dengan obligasi pemerintah yang masih melekat di dalamnya sebesar Rp. 60 trilyun. Bank sudah bisa membuat laba sebesar Rp. 3,1 trilyun. Bank dijual dengan harga Rp. 10 trilyun, tetapi pembelinya mendapatkan obligasi pemerintah senilai Rp. 60 trilyun atau enam kali lipat. Selama pemerintah belum mampu membayar obligasi pemerintah, pemerintah harus membayar bunga yang besarnya melebihi Rp. 10 trilyun setiap tahunnya. Jadi pemerintah mendapatkan Rp. 10 trilyun, tetapi setelah 12 bulan pemerintah harus membayar lebih dari Rp. 10 trilyun untuk bunganya obligasi yang dimiliki oleh BCA yang sudah menjadi milik swasta, dan bank masih memiliki obligasi pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun yang enam kali lipat dari jumlah uang yang diterima oleh pemerintah sebagai hasil penjualan BCA. Sebelum dijual CAR BCA sudah 34,2 %. Kalau diturunkan sampai 8 %, BCA dapat mengembalikan obligasi senilai Rp. 4,8 trilyun. Toh tidak dilakukan.
Dalam hal cara menjual, IMF juga ingkar janji. Yang saya sepakati dengan Mr. Anoop Singh adalah melalui tender terbuka yang transparan. Penawaran dilakukan secara sangat terbuka. Pemerintah menentukan harga minimum yang dirahasiakan dan disimpan pada notaris yang ditentukan bersama. Kalau semua penawaran yang masuk dan dibuka pada tanggal yang telah ditentukan serta disaksikan oleh banyak orang tidak ada yang sama atau melebihi harga minimum, penjualan ditangguhkan sampai waktu yang lebih baik. Ini diingkari. Penjualan dilakukan dengan kusak kusuk yang dinamakan penjualan kepada strategic partner. Mr. Hubert Neiss sendiri yang atas nama Deutsche Bank melakukan lobi untuk memenangkan konsorsium Farralon yang akhirnya memang berhasil.
Jelas bahwa pola penjualan seperti ini bukan yang dimaksud oleh IMF ketika masih di bawah manajemen Stanley Fischer – Hubert Neiss dan Anoop Singh. Sekarang, ketika manajemen untuk Indonesia diganti oleh Ann Krueger – Horiguchi – Daniel Citrin, dengan contoh BCA, semua bank rekap harus dijual seperti pola penjualan BCA.
Obligasi pemerintah yang melekat pada bank-bank rekap seluruhnya sebesar Rp. 430 trilyun. Semuanya mempunyai tanggal jatuhnya masing-masing. Selama menunggu pembayaran obligasi pemerintah sampai tanggal jatuh temponya, pemerintah harus membayar bunga. Jumlah kewajiban pembayaran bunganya adalah Rp. 600 trilyun, sehingga kalau obligasi pemerintah dibayar tepat waktu pada tanggal jatuh temponya (Rp. 430 trilyun) ditambah dengan bunganya sebelum obligasi dibayar (Rp. 600 trilyun), jumlahnya adalah Rp. 1.030 trilyun. Tetapi kalau pada tanggal jatuh temponya pemerintah tidak mampu membayar karena tidak mempunyai uang tunai sehingga harus mengundurkan pembayarannya, dengan sendirinya kewajiban beban bunga bertambah. Kewajiban membayar seluruhnya membengkak menjadi berapa tergantung pada berapa banyak bond yang sudah jatuh tempo dan untuk berapa lama harus ditangguhkan pembayarannya. Kalau semua obligasi ditangguhkan untuk satu termin saja, kewajiban pembayaran pemerintah membengkak menjadi Rp. 7000 trilyun. Dengan nilai tukar hari ini yang sekitar Rp. 8500 per US Dollar, kewajiban pemerintah membayar obligasi ditambah bunga adalah antara US $ 121 milyar sampai US $ 824 milyar. Tetapi kalau penangguhan pembayaran lebih panjang dari satu termin, jumlah kewajiban menjadi the sky is the limit. Yang membuat perhitungan ini adalah BPPN seperti yang dipublikasikan dalam bulletin berjudul “Analisa Ekonomi” terbitan bulan April 2002.
Pagi tadi saya menerima surat yang tidak ada nama dan alamat pengirimnya. Ada surat pengantarnya yang menyebut dirinya “Dari kami yang peduli akan nasib rakyat.” Dikatakan bahwa bulletin ini dilarang diedarkan di luar lingkungan BPPN. Isinya adalah bulletin BPPN bulan Mei 2002 dengan judul “Skenario Pembayaran Pokok dan Bunga dari Obligasi Pemerintah (Update). Dalam surat pengantrnya dikatakan bahwa “Pada kajian ini skenario terburuk dapat mencapai Rp. 14.000 trilyun, akibat indeksasi pokok hutang dari Surat Hutang terhadap inflasi.”
Angka-angka ini sendiri membuat kita terkejut, tetapi lebih-lebih lagi terkejutnya kita kalau kita menanyakan apakah jumlah-jumlah ini benar-benar harus dibayar oleh pemerintah, ternyata jawabannya adalah ya. Bahkan sudah ada contohnya yaitu penjualan BCA yang sudah dilaksanakan. Bank Niga harus dijual secepatnya dengan pola yang sama tanpa membersihkan terlebih dahulu obligasi pemerintah yang ada di sana sebesar Rp. 9 trilyun. Dalam rancangan Letter of Intent terakhir tercantum bank-bank yang harus dijual dengan pola yang sama, yaitu Bank Danamon, Bank Lippo, Bank Mandiri dan seterusnya. Semuanya mempunyai obligasi pemerintah dalam jumlah yang besar.
Tadi telah saya kemukakan bahwa bank yang sebenarnya harus dilikuidasi tidak dilakukan karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk membayar kepada para deposan, penabung dan giran serta membayar pesangon kepada para karyawannya. Berapa jumlahnya ? Mungkin ratusan trilyun rupiah. Tetapi sekarang pemerintah dianggap harus membayar antara Rp. 1000 trilyun sampai Rp. 7000 trilyun atau lebih, dan pemerintah dianggap mempunyai uang ?
Bagaimana pemerintah Indonesia akan mampu membayar kembali utangnya kepada CGI kalau harus membayar utang obligasi rekap yang nilainya sedemikian tingginya ? Itulah sebabnya saya berjuang habis-habisan untuk menggagalkan penjualan BCA, tetapi saya kalah. Saya telah berkelahi lagi habis-habisan untuk menggagalkan penjualan Bank Niaga yang ditunda, tetapi belum jelas apakah akan berhasil menyelamatkan kewajiban pemerintah membayar obligasinya. Dengan maksud untuk menggagalkan penjualan semua bank dengan pola yang sama sekali tidak masuk akal inilah perjanjian kerja sama dengan IMF harus diakhiri. Pengakhiran ini tidak dalam bentuk drastis harus diputus sekarang juga, tetapi dengan cara yang sangat bersahabat dan sopan, yaitu menghormati kontrak yang ditandatangani oleh Mr. Michael Camdessus dan President Soeharto pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam kontrak tersebut, kerja sama adalah untuk jangka waktu 3 tahun. Setelah itu diperpanjang yang menurut pengetahuan saya berakhir dalam bulan November 2002. Namun saya dikejutkan dengan berita bahwa kerja sama dengan IMF adalah sampai akhir tahun 2003. Ketika saya ingin mempelajari kontrak yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto dan Michael Camdessus, saya tidak berhasil mendapatkannya. Saya tidak tahu apakah saya yang membuat kesalahan dalam pengetahuan saya bahwa kontrak kerja sama berakhir di bulan November 2002 , sehingga kontrak kerja sama memang secara absah dan legak diperpanjang sampai akhir tahun 2003.
Apakah dengan sikap saya ini berarti bahwa bank-bank tidak akan dijual untuk selama-lamanya ? Sama sekali tidak. Bank-bank harus dijual kalau sudah sehat. Yang diartikan dengan bank yang sehat adalah bank yang sudah bisa hidup dengan menguntungkan atas kekuatannya sendiri, tidak karena setiap bulannya memperoleh uang tunai dari pemerintah sebagai sumbangan. Ini berarti pula bahwa bank hanya dijual kepada swasta setelah bank bersih dari obligasi pemerintah. Berbagai pikiran inovatif dan kreatif harus kita kembangkan. Upaya-upaya ini telah dilakukan oleh para akhli keuangan independen di kantor Bappenas dua hari yang lalu dan telah menghasilkan berbagai skenario pemecahannya. Saya hanya berharap agar berbagai kemungkinan pemecahan masalah perbankan ini dapat diterima.
Ada yang menanyakan kepada saya apakah kalau kerja sama dengan IMF putus, Indonesia tidak diisolasi oleh seluruh dunia, terutama oleh negara-negara CGI dan lembaga internasional lainnya, sehingga utang yang sementara masih dibutuhkan akan berhenti sama sekali ? Tergantung pada Tuan-Tuan. Dalam kesempatan yang baik ini saya menghimbau Tuan-Tuan supaya tidak melakukannya. Kerja sama dengan IMF memang sejak awal dirancang hanya sampai November 2002 saja. Mengapa kalau saya ingin menghormatinya dianggap bermusuhan sehingga semua lembaga internasional harus solider dan semuanya memboikot Indonesia ?
Apakah kalau kerja sama dengan IMF diakhiri dalam bulan November 2002, proses pemulihan ekonomi bisa berlanjut ? Jelas bisa. Proses pemulihan ekonomi telah terjadi di tahun 1999 ketika ekonomi mulai tumbuh walaupun dengan 0.8 %. Krisis hanya satu titik saja, dan setelah itu, tahun 1998 adalah resesi. Setelah itu, ada satu lower turning point yang diikuti dengan tahapan pemulihan. Seperti saya katakan, di tahun 1999 pertumbuhan sudah positif dengan 0,9 %, tahun 2000 meningkat menjadi 4,9 %, tahun 2001 persentase pertumbuhannya menurun menjadi 3,32 %, tetapi masih tumbuh. Dperkirakan bahwa tahun 2002 PDB akan tumbuh dengan 4 % dan tahun 2003 akan juga 4 %. Kalau ini semuanya akan menjadi kenyataan PDB tahun 2003 sudah Rp. 15 trilyun lebih besar dari tahun 1997.
Tentang pertanyaan apakah IMF masih dibutuhkan oleh Indonesia, ditinjau dari sudut uangnya tidak, karena tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisa milik Bank Indonesia habis. Nyatanya jumlah cadangan devisa Bank Indonesia stabil terus. Program-programnya yang tertuang dalam Letter of Intent juga tidak ada dampaknya. Mengapa ? Karena IMF hanya melihat pada apa yang harus dilakukan oleh pemerintah tanpa peduli apakah ada dampak positifnya ? Saya sendiri mengalami bahwa IMF mengharuskan saya untuk melakukan audit investigatif pada BULOG, Pertamina, PLN dan Dana Reboisasi. Hasilnya harus diumumkan kepada publik. Ketika saya tanyakan apa manfaatnya, dijawab supaya kalau ada penyimpangan dapat ditangkap oleh masyarakat dan berjalanlah kontrol sosial. Dan supaya kalau ada penyimpangan ditangkap oleh Polisi dan Jaksa Agung untuk ditindak lanjuti dengan penyidikan, sehingga berjalanlah law enforcement. Semuanya telah saya lakukan, bersama-sama dengan IMF buku-buku hasil audit investigatif yang mahal dibagikan kepada pers. Tetapi tidak ada satu katapun yang dimuat di media massa. Polisi dan Jaksa Agung juga tidak membacanya. Toh IMF tidak mempersoalkan dan semuanya diangap sudah dilakukan, terus berlanjut dengan LOI berikutnya. Contoh ini dapat diperbanyak dengan yang lain-lain. Penyusunan LOI terkesan hanyalah kegiatan cut and paste dengan Micorsoft Word yang data awalnya model yang uniform. Kalau diingatkan bahwa terjadi konspirasi dalam rencana penjualan Bank Niaga yang saya ceriterakan secara mendetil, ceritera saya sama sekali tidak dihiraukan. Yang terpenting Bank Niaga dijual tepat waktu dengan harga berapa saja, walaupun masih ada obligasi sebesar hampir Rp. 9 trilyun di dalamnya.
Ada hal yang sangat aneh dengan para ekonom. Ketika di pertengahan tahun 2000 ada menteri memberitahukan bahwa pertumbuhan di tahun 2000 mungkin akan mencapai 4,8 % dia dikritik habis oleh para ekonom tersebut, bahwa pertumbuhan itu tidak ada artinya, karena didorong oleh konsumsi. Tetapi ketika Alan Greenspan mengatakan bahwa ekonomi AS sudah dalam tahap pemulihan yang didasarkan atas kenaikan konsumsi, para ekonoom yang sama serta merta mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sudah dalam tahap pulih dan sudah pada jalur yang benar, sedangkan statistik menunjukkan bahwa pembentukan modal tetap masih belum ada, bahkan negatif. Mengapa mereka begitu drastis berganti haluan ? Juga perlu dipertanyakan mengapa kalau ekonomi sudah dalam tahap pemulihan yang saya setujui, dan sudah berjalan pada jalur yang benar yang juga saya setujui, IMF masih dibutuhkan ?
Sebagai penutup saya ingin merangkumnya sebagai berikut :
• Argumentasi teknis yang disusun oleh tim gabungan World Bank dan Bappenas kami lampirkan untuk dibaca sendiri.
• Tentang efektivitas penggunaan utang dan hibah, pendapat saya masih sama dengan yang saya kemukakan pada forum CGI pada tanggal 8 November 2001.
• Faktor manusianya sendiri rusak berat. Kalau tidak ada perhatian dan konsep yang realistis dan komprehensif tentang perbaikan manusia supaya tidak korup, sia-sialah segala macam reformasi yang dibuat oleh siapapun juga termasuk World Bank, Asian Development Bank dan entah lembaga internasional apa lagi.
• Saya menguraikan apa gunanya memberikan utang kepada Indonesia sebesar US $ 4 milyar setahunnya yang memang masih dibutuhkan, kalau pemerintah Indonesia dipaksa oleh IMF untuk membayar obligasi berikut bunganya antara Rp. 1000 trilyun sampai Rp. 7.000 trilyun atau lebih
• Saya mohon agar IMF dan pemerintah Indonesia menghormati kontrak kerja sama yang berakhir dalam bulan November 2002. Alasan masih dibutuhkan tidak masuk akal, karena siapapun mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sudah pada jalur yang benar dan sudah memasuki tahap pemulihan. Sebaliknya, kalau IMF tetap pada pendirian tentang pola penjualan bank-bank rekap, perhitungan tadi menunjukkan bahwa Indonesia dijuruskan pada malapetaka yang tidak dapat dibayangkan apa akibatnya, termasuk tidak tertutup kemungkinan timbulnya revolusi sosial, yaitu ketika obligasi rekap bank sudah dijuali kepada masyarakat luas, dan ratusan ribu orang yang memegang obligasi ini tidak dapat memperoleh uangnya kembali, karena pemerintah tidak mempunyai uangnya.
• Sangat sulit dipahami bahwa selama 32 tahuh pemerintahan Soeharto pemerintah tidak pernah berutang dari bangsanya sendiri. Kekurangan anggaran selalu didanai oleh utang luar negeri. Alasannya (seperti yang pernah saya dengar) adalah untuk menghindari rebutan tabungan rakyat antara pemerintah dan sektor swasta supaya tidak terjadi situasi crowding out. Tetapi justru sekarang tabungan publik ini menjadi lebih kecil, para ekonom yang sama berpendapat baik-baik saja bahwa pemerintah berutang dalam negeri dalam jumlah yang ribuan trilyun rupiah.
Saya mungkin bodoh dan salah, tetapi saya yakin bahwa saya telah melakukan tugas saya berbicara terus terang dan memberikan early warning.
Terima kasih.
MOHAMAD YAHYA Desember 4th, 2014 12:38 pm
Yth. Pak Kwik.
Ref. : 1. Pre-CGI Meeting di Jakarta, 12 Juni 2002. Penggunaan Bantuan Asing Secara Efektiv.
2. Pidato CGI 3 di Bali 21 Januari 2003: Improving Governance.
Pertama saya menyampaikan terimakasih Pak Kwik telah meluangkan waktu menuliskan pengalaman-pengalaman dibidang perekonomian, khusus kaitannya dengan utang yang dibuat oleh pemerintah. Dan keterangan Pak Kwik ini, merupakan paparan saksi hidup karena keterlibatannya secara langsung. Harapan saya, bagi mereka-mereka yang aktiv dalam mencermati pola-tingkah pemerintah; maka melalui rubrik inilah semoga mau aktiv, baik pro ataupun kontra pemerintah.Termasuk yang pro ataupun kontra Bapak Kwik Kian Gie. Jangan dipendam/disimpan. Utarakan! Sampaikan ! Masyarakat, terutama kawula muda yang sudah memasuki abad e-learning, agar tahu mana yang baik, mana yang busuk dan mana yang menipu. Ber-rahasia, itu cikal-bakal menipu. Terlebih jika pejabat, maka itu sama dengan “munafiqh”. Tulisan anda semua ditunggu, karena dengan kelebihan bahasa masing-masing dan beda wawasan masing-masing akan membuka cakrawala rakyat yang banyak, yang mau baca. Hitung-hitung termasuk “turut mencerdaskan bangsa” dari para penipu yang berkedok resmi pemerintah !
Dari Tulisan Pak Kwik :“
Ada dua faktor yang yang mempengaruhi efektivitas penggunaan utang.
Yang satu adalah keseluruhan organisasi yang melaksanakan utang, lengkap dengan sistem , prosedur dan proses operasionalnya.
Faktor kedua adalah motivasi, kompetensi dan integritas dari orang-orang yang menjalankan organisasi tersebut. Tidak banyak gunanya kita membangun struktur organisasi dan institusi lengkap dengan sistem, prosedur, perencanaan dan pengawasan kalau orang-orang yang menjalankannya dari pikiran sampai darah dagingnya adalah koruptor”.
Seperti yang telah saya katakan dalam pidato saya pada tanggal 8 Nopember 2001, korupsi di Indonesia tidak hanya terbatas pada mencuri dan menggelapkan uang. Keseluruhan mental, moral, akhlak dan jalan pikirannya sudah korup. Karena itu yang telah disiapkan oleh Tim gabungan penyusun pidato kurang lengkap dan bahkan tidak relevan, karena tidak menyentuh bagaimana caranya mengurangi korupsi. Saya sendiri tidak berani menyatakan memusnahkan korupsi sama sekali, karena menurut saya mustahil. Tetapi kalau kita dapat mengurangi korupsi secara signifikan, sudah akan sangat banyak yang kita capai. Semua orang berbicara tentang pemberantasan korupsi, termasuk para koruptor sendiri, tetapi tidak ada orang yang mengajukan solusi yang menyeluruh dan praktis dan menyentuh akar permasalahannya, yang memberi motivasi atau memaksa orang untuk tidak melakukan korupsi.
Yah, begitulah . . . . ., mengenaskan dan memprihatinkan. Terlebih lagi para Koruptor dan calon Koruptor juga ikut banyak berperan-serta menyuarakan ide-idenya, agar terpilh sebagai orang yang bersih dan mendapat jabatan yang baik. Nah disini kisah Aladdin-nya, sesudah dia menjabat . . . . . lupalah dia akan ide-ide nya sendiri. Dan lebih celaka lagi, rakyat Indonesia juga melupakan janji serta komitmen-komitmen sebelumnya dari pejabat korup ini . Seorang mantan pejuang 45, alm.Hariyo Kecik(- maaf bila salah) kecewa dengan keadaan sesudah 1945 dan menelorkan istilah bahwa: “ Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pendek ingatan”.
Seseorang yang menempati jabatan tertentu,-lama dan tinggi. – sarat dengan gangguan untuk melakukan “korupsi”, apapun alasan dan situasinya. Tetapi yang amat disayangkan, adalah rakyat yang banyak itu mengapa gampang lupa atau hilang ingatannya. Jika-pun tidak berani memperingatkan, atau tidak berani menagih; tetapi mengapa tidak kapok-kapoknya untuk ditipu terus oleh para pemimpin yang baru. Itu gunanya ada “pemilihan-umum” mau langsung ataupun tidak-langsung mereka mempunyai Hak untuk menjatuhkan pilihannya, bahkan berhak untuk tidak memilih sama sekali alias golput. Kembali kepada Hak, yang harus dimengerti benar-benar oleh rakyat. Ini yang menurut Bung Hatta.-jauh sebelum merdeka, bilamana rakyat tidak selalu dikenalkan,-disadarkan atas Hak dan Kedaulatannya; maka bila Indonesia merdeka dalam suasana yang demikian, belumlah berarti Rakyat itu tadi merdeka. Selainnya sebagian kecil saja yang menikmati kemerdekaan tadi, yaitu para cerdik-pandai(-menipu) . . . . . . . . dan para ningrat, karena dari sini-lah banyak berada para cerdik-pandai tadi.
Untuk kolega-kolega yang masih enggan menulis di rubrik KKG ini, saya himbau, buang jauh-jauh rasa suka dan tidak suka kepada Pak Kwik, ataupun kepada rezim yang manapun. Tulisan perihal CGI ini dibuat dalam kapasitas Pak Kwik Kian Gie ini dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS. Istimewanya lagi bukan disampaikan dalam acara intern, artinya bukan laporan kepada Presiden atau DPR R.I. Tulisan atau Pidato beliau ini disampaikan kepada para pejabat Keuangan-Internasional , yang “erat-sekali dengan keterpurukan “ kita selama ini. Jangan harap Indonesia mampu keluar dari kemelut “Ular-Kadut” ini, manakala pemimpinnya tidak mampu mengurai jaring laba-laba yang dibuat oleh para Ular-Kadut tadi, baik yang internal maupun external.
Orang sekelas pak Kwik ini, belum tentu hadir 1 ataupun 5 tahun sekali dibumi Nusantara. Maka kita-kitalah yang harus melanjutkan perjuangannya, dan menjabarkan theory dan temuan-temuannya yang benar agar lebih mudah dicerna oleh rakyat yang banyak. Gunakanlah kesempatan emas ini, kitapun telah difasilitasi oleh Pak Kwik dengan forum KKG ini. Saya sendiri akan berupaya aktiv menulis, tetapi ingat . . . . . . . . . . . . , tanganku hanya dua dan kemampuankupun “limited”! Anda bantu dengan temuan dan analisa anda sendiri. Orang bijak mengatakan, “bahwa bumi ini kita pinjam dari generasi mendatang, maka kembalikanlah kepada generasi mendatang minimal sama, dengan sewaktu kita menggunakannya”. (pepatah kuno Mexico). Adakah para Rezim selama ini sudah mengarah kesitu ??
Minyak-bumi yang mau habis, apa yang ditinggalkan/diwariskan ?? Tambang Pasir-besi yang dikawasan selatan Jogyakarta sudah habis diborongkan ke Jepang. Mineral Nikel di Pomalaa,- Aluminium, – Timah (Ketr.:ini lucu, dijual ke Singapura dengan status sebagai pasir urug-pantai. Disana, yang memang sudah tahu sama tahu, pasir ini diproses dan diambil Timahnya. Ini bahong apa ASU ???) . Gas Alam di Bontang dan Arun; sampai kapan rakyat masih bisa menikmati setelah diobrak-obrak untuk menggantikan minyak-tanah? Saat ini saja sudah mulai terasa kelangkaan dan naik harga. Konon . . .. …… , yang dikontrakkan ke RRC lebih murah harganya daripada jika PLN beli untuk pembangkitnya. Batubara yang di Kalimantan; telah ditangani dengan segala macam kerakusan. (Tidak beda jauh kan, antara Kerakyatan dan Kerakusan, cuma keseleo lidah; maaf – maaf! Identik seandai Naskah Proklamasi ada pembaca-nya yang keseleo lidah ………, yaitu…. Kami bangsa Indonesia. dengan ini “menanyakan” kemerdekaannya . . . . . . .) Masih ada lagi di Ombilin, Sumatera !! Ini bukan Batubara biasa, melainkan COKES, seperti batubara tetapi tidak mengandung Ter/Aspal. Amat diminati untuk peleburan besi dan baja tuang. Tapi lupakan saja, sudah almarhum, alias milik orang lain, non R.I. Tembaga yang di Tembagapura, Papua Barat !! Identik dengan kasus timah tadi. Tembagapura, dahulu sewaktu masih ditongkrongi Belanda namanya Erstberg alias Gunung/Bukit-biji. Sesudah Bung Karno dijatuhkan, maka mengalirlah modal dan investor asing ke Indonesia, khususnya setelah 1967. Sesudah membaca tulisan saya ini, semoga para peminat Form KKG bisa lebih enak mengikuti pidato pak Kwik di Forum CGI. Pak Kwik dengan jabatan resminya, menyampaikan kepada para Ular-Kadut Internasional. Saya pribadi, dengan Hak sebagai warganegara, menyampaikannya atas dasar kepedihan kepada para Ular-Kadut Nasional. Apakah mereka tidak baca penyampaian-penyampaian saya ? Wallahualam, karena BATU mana bisa baca surat, Selain surat-surat resmi, juga saya menerbitkan Bulletin 2-mingguan, ”INDONESIA”-tak kenal maka tak sayang. Tidak baca juga ?? Maka benar-benar batu, BATU-KEPLEGH !! Karena saya pernah dipanggil untuk itu, tetapi tidak berlanjut .
Mengenai Tembagapura atau Erstberg itu, yang saya ikuti dari majalah-majalah ilmu-pengetahuan di Jerman(-West) adalah sebagai berikut. Awalnya, tambang itu didaftarkan sebagai tambang Tembaga, karena pada awalnya tambang ini yang dominant adalah kadar tembaga-nya. Tahun 1973, sudah mulai kelihatan hasil lain-lainnya. Sebagaimana kita (-harus) tahu, bahwa logam-logam Tembaga-Perak dan Emas keberadaannya hampir saling terkait. Hanya saja, bilamana Tembaga yang menyolok sekali, oleh dunia pertambangan internasional akan dibakukan sebagai Tambang Tembaga. Begitu pula bila emas atau Perak-nya yang dominant, maka akan dibakukan sebagai Tambang Emas atau Tambang Perak. Dari awal, Tembagapura yang dikelola oleh P.T Freeport dikenal sebagai Tambang Tembaga. Saya tidak bisa memastikan, apakah Freeport tidak tahu jika emasnya lebih daripada cukup. Mengingat kemampuan satelit dan kemampuan deteksinya mungkin mereka sudah tahu, tetapi sengaja diam saja. Hasil pada tahun 1973, Emas dan Peraknya sudah amat sangat lumayan. Pasir mineral ini oleh Freeport, dikirimkan ke Jepang untuk dilebur disana. Hasil utamanya berupa batangan Tembaga (=Cooper Ingote) ditampung oleh perusahaan Jerman di Hamburg, namanya Deutsche Kuepferwerke. Ditambah hasil Emas dan Perak sekian Ton-sekian Ton yang dibagi antara PT Freeport dan smelter yang di Jepang tadi. Dimajalah itu, tertulis bagian Negara Indonesia 9,3%,-P.T Freeport 67,3%, Rio Tinto Group 13%. Selain itu perorangan Indonesia sebesar 2,5% yang tidak disebut namanya. Sepertinya ini adalah “Golden-share” alias saham yang datang dari langit. Semacam komisi-lah !
Akhir pemerintahan HM Soeharto, kontrak Freeport ini (-30 tahun !!) sudah tinggal 10 tahun saja. Tetapi dengan mendadak dan sim-salabim, kontrak ini diperpanjang lagi selama 40(-empat puluh tahun !). Pada tahun 2004, dari evaluasi dan deteksi satelit, tambang ini diperkirakan memiliki cadangan 46 juta ons Emas. Hasil produksi pada 2006 adalah 610.800 ton Tembaga; 58.474.392 gram Emas; dan 174.458.971 gram Perak. Apa yang diterima oleh saudara-saudara kita di Papua ??? Hidup mereka jauh daripada layak !!
Semua ini adalah contoh yang exakt, tidak ada konotasi politik selain sebenar-benar kenyataan. Dan ini semua menggambarkan, bahwa penelusuran segala masalah akan menjadi gamblang manakala kita tidak meninggalkan sejarah/khronologi-nya. Termasuk jika mau memberantas “korupsi” Bongkar sejarahnya dari awal, kuasai dengan baik prosedure yang berlaku disitu. Saya jamin, penjara akan penuh sampai ke halaman-terasnya !
Kembali ke pidato Pak Kwik didalam CGI, yang dengan lantang membuka kedok para “Ular-Kadut” Internasional + Nasional tadi. Ikuti dengan baik-baik dan tenang, maka jelaslah mengapa perekonomian Negara kita itu jadi seperti ini. Saya kutipkan penyampaian Pak Kwik dalam Pidato CGI-4 yang disampaikan pada Pre-CGI Meeting di Jakarta, tanggal 10 Desembar 2003. (hal 2/15 dan 3/15)
Utang luar negeri yang terus menerus diberikan kepada Indonesia ternyata mengakibatkan semakin tergantungnya Indonesia pada negara-negara kreditur dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Salah satu bentuk ketergantungan ini adalah semakin hancur-leburnya keuangan pemerintah Indonesia.
Mengapa ?
Karena ketergantungan itu bertambah parah dengan dimintanya IMF membantu Indonesia dalam menghadapi krisis kepercayaan di tahun 1997. Tidak dikira sebelumnya bahwa IMF akan memaksakan kehendaknya yang demikian tidak masuk akal dan tidak fair-nya.
Apa yang saya artikan? Sangat banyak . kalau harus saya kemukakan, semuanya akan makan waktu seluruh hari. Maka saya akan mengemukakan beberapa saja.
Pertama, yang paling menyolok adalah cakupan campur-tangannya. Staf kami membuat ikhtisar dan semua Memorandum of Economic and Financial Policies atau MEPP (yang juga terkenal dengan sebutan Letter of Intent) dalam bentuk setiap tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sampai LoI tanggal 11 Juni 2002, cakupannya adalah 1243 tindakan dalam bidang-bidang perbankan, utang, desentralisasi, lingkungan. Fiscal, perdagangan luar negeri, deregulasi dan perbankan, pinjaman dan pemulihan asset, kebijakan moneter dan bank Sentral, privatisasi BUMN, jarring pengaman sosial dan lain-lain. Saya bertanya-tanya apakah IMF yang lembaga moneter itu dibenarkan mencampuri hamper semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang adalah Negara yang merdeka dan berdaulat ?
Jelas tidak dapat dibenarkan. Tetapi memang demikianlah kenyataannya, keuangan Negara-negara seperti Indonesia sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh negara-negara pemberi utang dan lembaga-lembaga keuangan internasional bagaikan satu kartel. Dalam buku yang ditulis John Pilger dan juga ada film dokumenternya yang berjudul “The New Rulers of the World”, antara lain dikatakan:
(terjemahan:
“Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup dibelahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari Sembilan puluh Negara masuk ke dalam program penyesuaian struktur sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah “nation building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organisation (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detil dari kebijakan pemerintah di Negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa Negara-negara termiskin membatar $100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, dimana elit yang lebih sedikit dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia.”)
Dalam hal Indonesia, keuangan Negara sudah bangkrut di tahun 1967, paling tidak demikianlah yang digambarkan oleh para tehnokrat ekonoom Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk memegang tampuk pimpinan dalam bidang perekonomian. Maka dalam buku John Pilger tersebut antara lain juga dikemukakan sebagai berikut:
(terjemahannya:
“Dalam bulan November 1967, menyuusl tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyears, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
Memilukan dan menyesakkan bagi manusia Indonesia yang masih sehat dan waras lahir-batin. Bagaimana untuk bisa keluar dari kemelut ini ??? Anda semua punya tanggung-jawab dan kepentingan yang sama. Berdiskusilah di forum KKG ini.
Semoga panjang umur untuk Pak Kwik, sehat dan selalu dapat menyampaikan temuan-temuannya untuk kita semuanya. Salam, Mohamad Yahya 04.12.2014.