Daya Tahan Ekonomi dan Harga Minyak
Penjelasan pemerintah dan ulasan-ulasan yang dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah secara spektakuler membuat kita semua menjadi bingung. Dalam kebingungan ini banyak yang bertanya apakah kita mempunyai daya tahan ekonomi kalau harga minyak akhirnya mendekati atau mencapai US$ 100 per barel ? Mengapa masyarakat bingung ? Karena keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pemerintah mencla-mencle.
Kita masih ingat Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa kalau harga minyak mentah di New York mencapai US$ 60 per barel, Pemerintah harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 115 triliun untuk subsidi yang tidak dimilikinya. Maka harga BBM harus dinaikkan sampai ekivalen dengan harga minyak mentah di pasar internasional. Kalau itu dicapai, tidak akan ada subsidi lagi, karena pemerintah akan menaikkan dan menurunkan harga BBM yang tingginya senantiasa sama dengan ekivalen harga minyak mentah yang terbentuk di New York.
Maka sebagai titik awal harga BBM dinaikkan dengan 126 %, supaya sama dengan ekivalen harga minyak mentah di New York yang ketika itu US$ 60 per barel. Harga bensin premium dinaikkan dari Rp. 2.700 per liter menjadi Rp. 4.500 per liter. Harga Rp. 4.500 per liter memang sama dengan ekivalen harga minyak mentah sekitar US$ 60 per barel. Perhitungannya sebagai berikut.
Biaya untuk penyedotan minyak dari perut bumi ke permukaan bumi Rp. X per liter. Biaya pengilangan Rp. Y per liter dan biaya transportasi ke pompa-pompa bensin rata-rata Rp. Z per liter. Jumlah dari ketiga-tiganya adalah US$ 10 per barel atau kalau kita ambil kurs US$ 1 = Rp. 10.000, keseluruhan biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan Rp. 630 per liter.
Kalau harga bensin premium Rp. 4.500 per liter kita jadikan dolar per barel untuk minyak mentah, hitungannya adalah: harga bensin premium per barelnya sama dengan Rp. 4.500 x 159 = Rp. 715.500. Tiga biaya tersebut yang membuat minyak mentah menjadi bensin Rp. 630 per liter atau dikalikan 159 menjadi Rp. 100.170 per barel. Jadi harga minyak mentah per barel = Rp. 715.500 – Rp. 100.175 = Rp. 615.325. Dengan kurs US$ 1 = Rp. 10.000, ini sama dengan US$ 61,5 per barel. Lebih tinggi sedikit dari harga minyak mentah yang berlaku ketika itu. Katakanlah praktis sudah sama.
Sesuai dengan pernyataan Wapres Jusuf Kalla, sejak itu mestinya harga bensin premium naik turun sesuai dengan fluktuasi harga minyak mentah di New York.
Tetapi apa yang terjadi ? Ketika harga minyak mentah turun menjadi US$ 54 per barel Wapres Jusuf Kalla ditanya oleh wartawan, apakah harga BBM dengan sendirinya akan turun, dijawab “tidak”.
Setelah itu, harga minyak mentah di New York meningkat sampai di atas US $ 60 per barel, Wapres langsung memberi pernyataan bahwa harga minyak mentah boleh melejit sampai US 100 per barel, Pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM.
Setelah itu ada pernyataan di media massa oleh perwakilan IMF di Jakarta bahwa karena Pemerintah menaikkan harga BBM sampai 126 %, Pemerintah sedang cash rich, kaya uang tunai.
Tanggal 19 September 2007, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu memberikan pernyataan yang dikutip Kompas berbunyi : “…kenaikan harga minyak hingga 81 dolar AS per barel tersebut berdampak positif bagi Indonesia. Nilai minyak yang diekspor lebih besar dibandingkan yang diimpor. Dampaknya ke anggaran pemerintah menjadi netral karena kelebihan penerimaan dari hasil ekspor itu dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan subsidi BBM”.
Pernah dikatakan (bagi yang rajin dapat mencari datanya di berbagai media massa) bahwa volume produksi lebih kecil dibandingkan dengan konsumsinya. Kekurangannya diimpor yang harus dibayar dengan dolar AS. Maka semakin tinggi harga minyak, semakin besar devisa yang dibutuhkan untuk mengimpor kekurangan minyak karena adanya konsumsi yang melebihi produksi.
Terus ada lagi pernyataan yang mengatakan bahwa walaupun konsumsi dalam negeri lebih besar dari produksi, pemerintah tidak mengalami penurunan devisa, karena minyak mentah yang bagus kualitasnya diekspor dengan harga mahal. Hasil penjualan ekspornya dalam valuta asing dipakai untuk mengimpor minyak mentah dengan kualitas lebih rendah yang lebih murah, sehingga pemerintah kelebihan devisa.
Namun ada angka statistik resmi dari tahun tertentu yang pernah saya pelajari ketika saya berfungsi sebagai Komisaris Pertamina ex officio, bahwa keseluruhan perolehan valuta asing dari ekspor lebih kecil dari jumlah valuta asing yang dibutuhkan untuk mengimpor, sehingga walaupun minyak mentah Indonesia yang berkualitas tinggi diekspor untuk mengimpor yang berkualitas rendah, saldonya masih defisit devisa.
Duduk persoalan minyak dengan perhitungan angka-angkanya memang sangat ruwet. Tetapi keruwetan yang dibuat sendiri. Hal yang mudah dijadikan sulit karena ingin terkesan sebagai orang pandai. Akhirnya terjerat dalam pernyataan-poernyataannya sendiri.
Mari kita telusuri dengan menyederhanakan analisis tanpa kehilangan esensinya.
Tadi telah saya kemukakan cara Pemerintah menghitung harga pokok bensin premium. Harga minyak mentah yang milik bangsa Indonesia dan dikonsumsi oleh bangsa Indonesia yang pemiliknya, pemiliknya ini harus membayar dengan harga yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX). Jadi komponen minyak mentahnya dihargai dengan harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar di New York. Cara menentukan harga pokok seperti ini disebut kalkulasi harga pokok standar yang normatif.
Kalau harga jualnya lebih rendah dari harga pokok yang ditentukan dengan cara kalkulasi seperti ini, Pemerintah merasa rugi, merasa memberikan subsidi. Setelah itu, Pemerintah lantas berhalusinasi bahwa kerugian ini sama dengan uang tunai betulan yang dikeluarkan. Sebenarnya uang tunai yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menyediakan bensin premium kepada rakyatnya tidak sebesar ini. Jadi berbicara tentang uang tunai yang dikeluarkan (tidak berbicara tentang konsep kalkulasi harga pokok standar yang normatif), perhitungannya lain sama sekali. Mari kita telusuri cara menentukan harga pokok bensin premium yang semata-mata didasarkan atas uang tunai yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk pengadaannya.
Berapakah uang tunai yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mengadakan bensin premium per liternya ? Saya ulangi lagi. Biaya untuk menyedot minyak mentah dari perut bumi ke permukaan bumi (lifting) sebesar Rp. X. Biaya pengilangan atau pemrosesan dari minyak mentah sampai menjadi bensin premium sebesar Rp. Y. Biaya transportasi rata-rata ke semua pompa-pompa bensin sebesar Rp. Y. Rp. X + Rp. Y + Rp. Z = Rp. 630 kalau US$ 1 dianggap sama dengan Rp. 10.000. Apa ini benar ? Bagaimana kok bisa demikian kecilnya uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah ?
Coba tanyakan kepada siapa saja yang ahli. Apa benar bahwa ketiga biaya tersebut, yaitu lifting, pengilangan dan transportasi sebesar US$ 10 per barel ? Saya jamin benar. (Coba tanyakan pak Purnomo Yusgiantoro). 1 barel = 159 liter. Kita mengambil kurs US$ 1 = Rp. 10.000. Jadi ketiga biaya tersebut adalah Rp. 10.000 dibagi 159 = Rp. 630. Hanya jumlah ini yang dikeluarkan untuk mengadakan 1 liter bensin premium. Maka ketika dijual dengan harga sebelum kenaikan yang terakhir yang Rp. 2.700 per liter, setiap liter bensin premium Pemerintah kelebihan uang Rp. 2.700 – Rp. 630 = Rp. 2.070. Setelah dinaikkan menjadi Rp. 4.500/liter, kelebihan uang yang diterima Pemerintah untuk setiap bensin premium sebesar Rp. 4.500 – Rp. 630 = Rp. 3.870.
Kiranya sekarang jelas mengapa Pemerintah mengatakan bahwa daya tahan ekonomi masih baik walaupun harga minyak mencapai US$ 100 per barelnya. Jangankan US$ 100, berapapun tingginya, kalau kita bicara tentang uang tunai yang harus dikeluarkan, Pemerintah tidak bergeming.
Jadi ketika menaikkan harga BBM tempo hari, Pemerintah menggunakan metode kalkulasi harga pokok standar yang normatif. Sekarang ketika harga minyak mentah demikian tingginya, Pemerintah melakukan lompatan pikiran, menggunakan metode kalkulasi harga pokok atas dasar uang tunai yang harus dikeluarkan atau yang disebut pure cash basis.
Mengapa Pemerintah mbolak mbalik seenak udelnya seperti ini ? Mengapa tidak ? Lidah kan tidak bertulang ? Pokoknya rakyat selalu tenang.
Jadi berbicara tentang daya tahan ekonomi, tahan kalau kalkulasinya pure cash basis. Tetapi jebol kalau harga pokoknya ditentukan dengan metode kalkulasi harga pokok standar yang normatif.
Kenyataannya bagaimana ? Ya tahan, karena yang standar dan normatif itu komponen uang tunai yang harus dikeluarkan untuk bensin premium hanya Rp. 630 per liter. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500/liter.
Kesemuanya yang saya kemukakan tadi konsep-konsep yang disederhanakan. Marilah kita lebih realistis sedikit.
Karena data yang konkret dan akurat tidak ada, saya mengambil angka-angka yang secuil dinyatakan oleh si A, dan secuil lagi dikemukakan oleh si B dan seterusnya. Itupun tidak lengkap. Maka kita hanya bisa memperoleh simulasi dasarnya sebagai berikut.
Lifting minyak mentah sebesar 1 juta barel per hari. Bagian Pemerintah Indonesia 60 %, bagian kontraktor swasta 40 %. Jadi Pemerintah punya minyak mentah 600.000 barel setiap harinya. Konsumsi rakyatnya 900.000 barel. Maka setiap harinya tekor 300.000 barel. Ini harus diimpor betulan dengan harga US$ 100 per barel. Maka harus keluar uang (300.000 x US$ 100) x Rp. 10.000 = Rp. 300.000.000.000 per hari.
Buat yang milik Indonesia sebanyak 600 barel, kalau semuanya dijadikan bensin premium, setiap harinya kelebihan uang sebesar (600.000 x 159) x Rp. 3.870 = Rp. 369.198.000.000 per hari.
Kita lihat, keluar uang Rp. 300 miliar per hari. Mendapatkan uang tunai Rp. 369.000.000.000 per hari. Jadi masih surplus Rp. 69.000.000.000 per hari atau Rp. 24,84 triliun.
Jadi dengan harga minyak mentah US$ 100/barel ekonomi Indonesia punya daya tahan.
Tetapi kesemua angka dan perhitungan di atas didasarkan atas angka-angka yang sepotong-sepotong dan belum tentu akurat. Juga tidak diperhitungkan adanya berbagai jenis BBM. Tidak diperhitungkan adanya produk-produk sampingan yang punya harga.
Tetapi kerangka dasar berpikirnya menurut saya benar, dan kerangka dasar berpikir yang seperti inilah yang menjelaskan mengapa Pemerintah mencla mencle. Kalau sedang menguntungkan dirinya menerapkan metode kalkulasi harga pokok standar yang normatif, metode ini yang digembar-gemborkan.
Kalau situasi dan kondisi berubah sehingga menguntungkan menggunakan metode kalkulasi yang murni didasarkan atas keluar masuknya uang tunai atau cash basis, metode ini yang digembar-gemborkan. Semuanya mudah dilakukan, karena lidah memang tidak bertulang, dan kertas yang ditulis tidak bisa protes.
Namun bagian terbesar rakyat Indonesia miskin dan sangat miskin. Mereka tidak berpendidikan, kekurangan gizi dan tidak sehat, seperempat atau setengah sakit. Mereka hanya bisa menerima nasib menerawang ke langit sambil menunggu nasib, sampai kematian pun diterima dalam kondisi tidak berdaya seperti ini. Mereka inilah yang setiap kali disengsarakan. Yang terakhir ketika harga BBM dinaikkan dengan 126 %. Hari-hari berikutnya akan disengsarakan oleh harga-harga kebutuhan pokoknya yang akan meningkat, karena dampak kenaikan harga BBM yang datangnya dari luar Indonesia, mengingat bahwa kadar impor dari semua kebutuhan rakyat Indonesia sangat besar.