Ilusi Seputar Penaikan BI Rate
Ditulis Oleh: Anthony Budiawan
Rektor – Kwik Kian Gie School of Business
Neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2012 mengalami defisit berkepanjangan, dan masih berlanjut hingga 2013. Defisit tersebut merupakan yang terburuk sejak tahun 1961. Di samping itu, neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit yang bahkan jauh lebih serius dari defisit neraca perdagangan. Defisit transaksi berjalan ini sudah berlangsung selama 8 kwartal berturut-turut, yaitu sejak kwartal IV 2011 hingga kwartal III 2013. Secara “kebetulan” kurs rupiah terhadap dolar AS juga mengalami tekanan hebat, dan terdepresiasi hingga 24,26 persen selama satu tahun terakhir ini, terhitung 7 Desember 2012 hingga 6 Desember 2013. Puncak akselerasi depresiasi terjadi pada pertengahan tahun kedua sebesar 21,96 % (5 Juni 2013 – 6 Desember 2013). Untuk pertengahan tahun pertama (7 desember 2012 – 5 Juni 2013) rupiah hanya terdepresiasi 1,89 persen. Lihat tabel di bawah ini.
Depresiasi rupiah yang luar biasa ini memicu Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya, yang juga dikenal dengan BI rate, sebanyak lima kali dalam kurun waktu lima bulan, sejak 13 Juni 2013 hingga 12 November 2013. BI rate pada periode tersebut naik 1,75 persen, dari 5,75 persen menjadi 7,50 persen.
Menurut Bank Indonesia, penaikan BI rate (yang bertubi-tubi) ini diharapkan dapat mengurangi defisit transaksi berjalan (dan defisit neraca perdagangan), yang pada akhirnya juga diharapkan dapat mengangkat kurs rupiah agar tidak merosot lebih jauh. Di sisi lain, Departemen Keuangan (dan Menko Ekonomi) juga sudah bekerja keras untuk meningkatkan kinerja neraca perdagangan melalui berbagai kebijakan fiskal, antara lain menaikkan tarif barang mewah, mewajibkan penggunaan biosolar (yang berasal dari kelapa sawit) hingga 10 persen, dan lainnya, dan lainnya.
Sekilas, kebijakan moneter (dan fiskal) tersebut membuahkan hasil. Neraca perdagangan Oktober 2013 mencatat surplus sebesar Rp 42,4 juta dolar AS. Kebijakan moneter yang ditempuh dengan penuh risiko, dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi stabilitas kurs rupiah dan pengurangan defisit transaksi berjalan, dinilai mulai menunjukkan hasil sesuai harapan. Kurs rupiah pun menguat ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan surplus neraca perdagangan Oktober 2013 tersebut.
Akan tetapi, fakta selanjutnya sangat mengecewakan. Penguatan kurs rupiah hanya bertahan selama dua hari saja. Setelah itu, kurs rupiah merosot lagi, dan pada 5 Desmeber 2013 mencapai rekor terendah sepanjang tahun, bahkan terendah selama lima tahun terakhir ini. Lihat gambar di bawah ini.
Namun demikian, pemerintah masih berkilah bahwa pelemahan kurs rupiah tersebut hanya bersifat sementara. Apakah memang demikian? Kalau memang bersifat sementara, sampai kapan rupiah akan melemah, dan dengan kurs berapa? Kalau memang bersifat sementara, mengapa pemerintah masih menaikkan BI rate? Apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi saat ini? Apakah Bank Indonesia akan menaikkan BI rate lagi, bahkan dengan 0,50 persen sehingga menjadi 8,0 persen, sejalan dengan pendapat banyak pihak bahwa kenaikan BI rate selama ini belum cukup tinggi untuk menahan laju kemerosotan kurs rupiah?
Kebijakan Moneter: Salah Arah dan Salah Kaprah
Saya menilai, kebijakan moneter yang diambil Bank Indonesia sejauh ini dengan menaikkan BI rate merupakan kebijakan yang salah arah dan salah kaprah. Menaikkan BI rate bukan merupakan solusi untuk permasalahan ekonomi kita saat ini. Kebijakan tersebut bahkan akan memperburuk kondisi ekonomi kita, pertumbuhan melambat, dan bahkan dapat memicu krisis ekonomi apabila kebijakan suku bunga tinggi ini (kebijakan uang ketat) berlangsung berkepanjangan.
Ilusi 1: Penaikan BI Rate untuk Memberantas Inflasi Akibat Kenaikan Biaya Produksi
Kebijakan uang ketat (dengan menaikkan BI rate) seharusnya hanya diberlakukan pada kondisi ekonomi yang sedang memanas (overheated), yang biasanya ditandai dengan kenaikan berbagai harga barang (= inflasi tinggi) karena dipicu oleh permintaan yang meningkat terus, dan kemudian diikuti oleh tingkat investasi yang berlebihan (over-investment), yang pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya over-supply, yang kemudian akan mengakibatkan harga barang jatuh (deflasi). Untuk itulah, sebelum terjadi over-investment dan over-supply, Bank Sentral diharapkan dapat mengantisipasinya dengan menaikkan tingkat suku bunga, artinya memberlakukan kebijakan uang ketat. Apabila tidak, maka gelembung ekonomi pada waktunya akan pecah dan memicu krisis ekonomi.
Kondisi ekonomi kita saat ini jauh dari memanas. Tingkat konsumsi sedang mengalami penurunan, dan tingkat investasi juga sedang turun. Inflasi kita bukan dipicu oleh peningkatan permintaan, tetapi lebih disebabkan oleh kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga produksi (=cost push inflation). Inflasi jenis ini hanya bersifat sekali saja (one-time inflation), yaitu pada periode kenaikan harga BBM (dan harga produksi). Selanjutnya, apabila kenaikan harga produksi sudah terserap di semua industri, maka tingkat harga barang akan normal kembali, tanpa harus memberlakukan kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga seperti yang sekarang ditempuh oleh Bank Indonesia.
Ilusi 2: Penaikan BI Rate untuk Menahan Defisit Neraca Transaksi Berjalan
Alur pikiran Bank Indonesia menaikkan BI rate sangat sederhana. Suku bunga yang tinggi diharapkan dapat menahancapital outflow dan menarik capital inflow. Dengan kata lain, kenaikan suku bunga diharapkan dapat meningkatkan surplus neraca transaksi modal dan finansial, yang pada akhirnya dapat meningkatkan surplus neraca transaksi berjalan. Alur pikiran seperti ini merupakan alur pikiran yang pragmatis tanpa dilandasi dasar-dasar teori ekonomi moneter yang benar. Faktanya, kenaikan BI rate sampai saat ini tidak berpengaruh pada neraca transaksi berjalan. Karena permasalahan utamanya terletak pada faktor eksternal, khususnya kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The FED, terkait tapering (pengurangan pembelian obligasi oleh The FED). Apabila The FED memberlakukantapering, maka capital outflow kelihatannya tidak dapat terbendung, sedangkan capital inflow tidak dapat diharapkan. Menurut saya, dampak tapering akan jauh lebih dahsyat dari perkiraan banyak orang. Saya tidak akan terkejut apabila kurs rupiah ditransaksikan pada kisaran Rp 13.000 – Rp 14.000 per dolar AS ketika tapering diberlakukan.
Ilusi 3: Penaikan BI Rate untuk Menahan Defisit Neraca Perdagangan
Banyak pejabat berpendapat bahwa kenaikan BI rate dapat mengangkat kinerja neraca perdagangan dari defisit menjadi surplus. Alasannya sebagai berikut: Kenaikan BI rate akan memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga permintaan terhadap barang impor akan berkurang. Oleh karena itu, pengurangan impor akan berdampak positif pada neraca perdagangan (sehingga dapat menghasilkan surplus). Ini merupakan teori ekonomi baru yang tidak ada dalam buku teks di manapun, tidak ada landasan teorinya, dan juga tidak didukung oleh realita. Sebagai contoh, China mencatat surplus neraca perdagangan secara terus-menerus seiring dengan pertumbuhan ekonominya yang sangat tinggi. Begitu juga Jepang. Begitu juga Jerman. Begitu juga Singapore. Negara-negara tersebut tidak perlu memperlambat pertumbuhan ekonominya (dengan menaikkan suku bunga) untuk memperoleh surplus neraca perdagangan. Pada dasarnya, neraca perdagangan tergantung dari struktur dan daya saing industri nasional di pasar domestik dan pasar internasional. Neraca perdagangan yang defisit merupakan indikasi bahwa industri nasional tidak kompetitif. Permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan pembangunan industri yang benar. Singapore, misalnya, mempunyai defisit neraca Migas, tetapi secara keseluruhan mengalami surplus neraca perdagangan karena industri lainnya jauh lebih kompetitif dari para pesaingnya. Begitu juga Jepang, dan banyak negara lainnya.
Penutup
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa penaikan BI rate bukan jawaban atas permasalahan ekonomi kita dewasa ini. Sebaliknya, penaikan BI rate merupakan sebuah kebijakan moneter yang salah arah dan salah kaprah, dan dapat menyebabkan ekonomi kita terpuruk, khususnya investasi akan turun dan pengangguran akan meningkat. Kurs rupiah akan tetap merosot ketika the FED memberlakukan tapering meskipun BI rate ada pada posisi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, stop berilusi dan stop penaikan BI rate.
— 000 —
daniel Januari 1st, 2014 09:03 am
saya sependapat untuk beberapa argumen yang Anda tuliskan, namun sepertinya ada data yang belum Anda ungkapkan dalam tulisan ini yang menurut saya sangat penting yaitu data defisit neraca perdagangan akibat impor minyak dan subsisdi BBM. IMHO ini salah satu penyebab utama ‘menderitanya’ rupiah di pasar mata uang regional (dibanding negara2 ASEAN lain pelemahan nilai Rupiah yang terbesar dibandingkan dengan saat menguat di 2009). btw pak Kwik Kian Gie salah satu ekonom yang menentang kenaikan BBM di 2012 ya? trus 2013 lalu sepertinya berkurang ‘suaranya’ … BBM naik juga tapi pengurangan subsidi tidak ‘terasa’ di APBN karena pelemahan kurs … tapi cocok sih BBM harusnya bukan naik di 2012 tapi di 2009 itu nggak perlu turun …
Anthony Budiawan Januari 1st, 2014 12:21 pm
Terima kasih atas komentar Anda. Perkenalkan, saya Anthony Budiawan yang menulis di Blog Kwik Kian Gie atas permintaan Beliau. Silahkan baca artikel saya lainnya di blog saya mengenai impor BBM, subsidi BBM dan neraca perdagangan: http://anthonybudiawan.blogspot.com/2013/04/kiatpemerintah-mengatasi-defisit.html.
Banyak negara yang harus impor BBM tetapi dapat mengalami surplus neraca perdagangan, misalnya Jepang, Korea Selatan, China, Singapore.
Salam.
daniel Januari 2nd, 2014 14:40 pm
terima kasih atas tanggapannya.
saya sependapat dengan Anda untuk 2 cara untuk mengatasi defisit perdagangan tapi bagaimana caranya sepertinya tidak ada pejabat publik yang betul2 tahu bagaimana (2012 presiden mengeluarkan inpres untuk target lifting minyak 2014 +1jt barel tapi apbn 2014 ‘hanya’ di 860 ribu barel … dan ini di-acc juga oleh DPR … )
tulisan Anda dibuat di bulan April 2013 … untuk realisasi di bawah kuota IMHO sudah sepantasnya terjadi salah satu kenaikan kuota yang amat besar di 2012 dari 40 jt kl di awal kesepakatan APBN 2012 lalu diubah menjadi +45 jt kl
untuk negara yang impor BBM dan neraca perdagangan masih surplus (menurut data saya Jepang tidak termasuk … CMIIW) bagaimana dengan infrastruktur di negara tersebut? (saya asumsikan Anthony Budiawan yang baik tentunya sudah pernah mengunjungi negara tersebut dan bisa lebih tahu dari saya kondisi riil di sana) dan setahu saya negara yang Anda sebut selain Jepang, BBM-nya tidak disubsidi … subsidi BBM yg ternyata hanya habis untuk kegiatan konsumtif (berhubung daya saing industri kita masih jelek …) membuat anggaran negara jelek … membuat kepercayaan terhadap mata uang jelek … menyebabkan capital outflow … menyebabkan mata uang semakin terpuruk dan lingkaran buruk ini berlajut … menyebabkan BI hanya punya pilihan menaikkan suku bunga untuk menahan laju capital outflow.
Anthony Budiawan Januari 2nd, 2014 15:29 pm
Pak Daniel,
Pertama, neraca perdagangan Jepang baru-baru ini saja mengalami defisit, sedangkan sejak tahun 1950-an sampai sekitar tahun 2012, neraca perdagangan Jepang selalu mengalami surlpus meskipun neraca Migasnya defisit terus.
Kedua, “subsidi” BBM menurut saya hanya berpengaruh langsung pada (defisit) APBN, dan tidak berpengaruh signifikan pada permintaan (dan konsumsi) BBM, sehingga tidak berpengaruh signifikan pada impor BBM. Karena, pada hakekatnya, BBM merupakan komoditi yang bersifat price inelastis, artinya, harga tidak terlalu berpengaruh pada permintaan. Coba kita renungkan, apakah kenaikan harga BBM akan membuat kendaraan kita akan terparkir terus di garasi? Jadi, di sini harus ditarik garis perbedaan yang jelas dampak “subsidi” BBM terhadap defisit APBN atau defisit neraca perdagangan.
Ketiga, Pak kwik tidak pernah menentang kenaikan harga BBM seperti kebanyakan pendapat masyarakat luas. Tetapi, Beliau menentang istilah “subsidi” karena istilah ini dapat menyesatkan dan berbeda arti dari kata subsidi yang sebenarnya. Kata Subsidi mengandung arti pengeluaran dana tunai, seperti, misalnya, subsidi listrik, pemerintah memberikan dana tunai kepada PLN, atau subsidi kereta api, pemerintah memberikan dana tunai kepada KAI. Khusus untuk Migas, pemerintah sebenarnya membukukan surplus pada APBN.
Kami semua setuju saja harga BBM dinaikkan. Tetapi, bagaimana dengan rakyat kecil? Apakah sudah waktunya harga BBM di Indonesia sama tingginya dengan di luar negeri? Kemudian, mengkambinghitamkan harga BBM yang “murah” karena “disubsidi” atas keterpurukan nilai tukar rupiah, neraca perdagangan atau capital outflow, merupakan pikiran yang sangat naif.
Apabila berkenan, silahkan baca lebih lanjut:
http://anthonybudiawan.blogspot.com/2013/03/membedah-anggaranmigas-subsidi-tetapi.html
http://anthonybudiawan.blogspot.com/2013/04/harga-bbm-naik-tidak-membuatkonsumsi.html
http://anthonybudiawan.blogspot.com/2013/03/kreativitas-fiskal-danpembodohan.html
http://anthonybudiawan.blogspot.com/2013/03/kreativitas-fiskal-danpembodohan_20.html
http://anthonybudiawan.blogspot.com/2013/03/kreativitas-fiskal-danpembodohan_21.html
Salam.
daniel Januari 3rd, 2014 10:41 am
terima kasih atas tanggapannya dan pendapat Anthony Budiman yang baik menganggap pikiran saya naif … jika yang ditentang KKG (saya singkat nama beliau sesuai tulisan blog Anthony Budiman yang baik) adalah masalah istilah … saya tidak lanjut … jika pendapat saya naif bisa Anthony Budiman yang baik menuliskan analisa kenapa mata uang negara ini yg melemah paling banyak dibanding negara2 ASEAN yang lain jika alasan pelemahan mata uang adalah tapering … ? terima kasih sekali lagi atas kesediaan menanggapi pendapat saya
Anthony Budiawan Januari 3rd, 2014 12:06 pm
Bapak Daniel,
Tidak ada maksud negatif sewaktu menulis “pikiran naif”. Yang dimaksud dengan pikiran naif adalah, seolah-olah merosotnya nilai rupiah hanya ditentukan oleh satu faktor penentu yaitu harga BBM “bersubsidi”. Seharusnya, merosotnya nilai rupiah ditentukan banyak faktor. Sedangkan hubungan harga BBM dengan nilai rupiah tidak terlihat terkait sama sekali. Harga BBM “bersubsidi” sudah sejak lama diberlakukan di Indonesia, tetapi, nilai rupiah fluktuatif, kadang menguat dan kadang melemah. Ini menandakan tidak ada hubungan antara harga BBM dan nilai rupiah. Sejak awal tahun 2009 rupiah menguat secara signifikan karena ada dolar AS masuk, salah satu sebabnya karena akibat Quantitative Easing (QE) yang diberlakukan oleh The FED. Rupiah melemah tidak sendiri. Brazilian Real juga melemah secara signifikan.
Malaysia juga memberi “subsidi” harga BBM tetapi nilai mata uangnya tidak melemah. Lihat berita di: http://paultan.org/2013/09/02/ron-95-diesel-go-rm2-10/
China dengan memberlakukan sistem nilai tukar tetap sebenarnya secara tidak langsung juga memberi “subsidi” kepada seluruh produknya, tidak saja BBM, karena nilai mata uangnya jauh di bawah nilai sesungguhnya (undervalued).
Semoga berkenan.
daniel Januari 3rd, 2014 10:57 am
oh iya untuk data perdagangan Jepang yang menurut Anthony Budiman yang baik surplus Jepang samapi sekitar 2012 … menurut data saya surplus Jepang sudah berubah menjadi defisit mulai 2011 … sepertinya bersamaan mulainya Arab spring yang membuat harga minyak mulai melonjak di bawah 2008 saya belum mencek data … tapi klo Anthony Budiman yang baik bisa berbagi setelah hancur akibat PD 2 bagaimana kondisi ekonomi di Jepang dan apakah saat itu BBM yg mereka pakai dijual ‘murah’ dibanding harga pasar dan apakah itu yang membuat industri mereka bisa bangkit dan melesat di tahun 1980-an … terima kasih atas tanggapannya … dan untuk asumsi harga BBM murah karena rakyat kecil … bagaimana dengan China … yang CMIIW setahu saya jual BBM sesuai harga pasar untuk rakyatnya
daniel Januari 3rd, 2014 13:35 pm
terima kasih atas tanggapannya … untuk korelasi rupiah dan harga BBM ini ‘kesimpulan naif’ yang saya tarik di awal 2012 saat pemerintah berencana menaikkan harga dan ternyata batal … saat itu analisa saya dengan kemungkinan tapering yg ‘pasti akan’ dilakukan oleh AS maka defisit anggaran yg terjadi akibat ‘subsidi’ BBM akan lebih memperparah kondisi rupiah (saya rekomendasi short untuk rupiah dan emas dan buy untuk dollar) … prediksi saya saat itu maksimal di level 11 rbu-an jika menilik kondisi saat krisis likuiditas di 2008 dan prediksi bahwa BI akan menaikkan rate untuk mengantisipasi tapering dan di saat yg sama the Fed masih akan menjaga suku bunganya di level yg rendah … namun ternyata di 2013 melewati 12rb … mungkin yg patut saya perjelas pendapat saya ‘subsidi’ BBM bukan yg satu faktor penentu … tapi salah satu faktor penentu dan menyebabkan lingkaran perlemahan rupiah yg sudah hampir melewati nilai saat krisis likuiditas 2008 saat itu rupiah melemah ke leve 12rb-an … jika asumsi sederhana uang stimulus yg masuk ke Indonesia yg membuat penguatan rupiah yg kemudian menyebabkan pelemahan saat ini karena tapering (tapering bukan menghilangkan stimulus tapi hanya mengurangi kan … ?) maka sepatutnya pelemahan rupiah tidak melewati 12rb … terima kasih atas kesediaan Anthony Budiman yang baik (saya memilih menyebut nama Anda bukan dengan panggilan pak setelah membaca materi kuliah umum ibu Sri Mulyani) berdiskusi dengan saya … oh iya untuk China dengan membiarkan mata uangnya ‘lemah’ sedangkan bahan bakarnya impor itu membuat harga impornya menjadi lebih tinggi dari seharusnya? tapi karena pembangunan infrastruktur yg baik dan terintegrasi maka daya saing industrinya bisa tetap bagus? dan kemudian mata uang yg ‘lemah’ itu membantu harga jual produknya di luar negeri? … CMIIW
Anthony Budiawan Januari 5th, 2014 15:23 pm
Pak Daniel, terima kasih banyak atas komentar Bapak terhadap artikel di Kwikkiangie.com.
edywison Februari 13th, 2014 15:28 pm
Karena bukan ahlinya ekonomi.. maaf kalau apa yang saya kemukakan salah.
1. Inti masalah anjloknya rupiah bukan pada bi rate.
2. Impor lebih besar dari ekspor tidak dapt dibendung dengan naikkan bi rate.
3. Pemerintah justru seharusnya menurunkan bi rate dengan harapan menaikkan investasi dan lapangan kerja.
Saya tidak mengerti teori ekonomi, tapi secara logika kita impor blackberry, samsung, iphone karena indonesia tidak mampu produksi barang berkualitas dan bersaing. Kita impor sapi bukan karena sapi luar negeri lebih enak, karena produksi kita tidak mampu mencukupi.