'

Kategori

Follow Us!

INTERPELASI BLBI KASUS BDNI (Artikel 4)

Seperti BCA, masalah BLBI BDNI beserta keseluruhan rentetannya yang merugikan keuangan negara menjadi fokus penelitian atau penyidikan oleh Kejaksaan Agung.

Maka kasus BDNI saya sajikan dalam satu artikel tersendiri. Segala sesuatu yang tercantum dalam artikel ini berdasarkan angka-angka tahun 2002. Tidak jelas apakah setelah data dan angka yang tercantum dalam artikel ini ada pekembangan angka-angka yang baru.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI)

Utang mantan pemilik BDNI Syamsul Nursalim (SN) dalam bentuk BLBI sebesar Rp. 30,9 trilyun.

Bagaimana cara penyelesaian BLBI ini tidak begitu jelas bagi saya. Sebagai perbandingan, dalam hal BCA, utang BLBI kelompok Salim dibayar dengan 93% dari pemilikan BCA.

Nampaknya modal ekuiti BDNI sudah negatif, sehingga tidak ada nilainya sama sekali. Maka utang BLBI menjadi bagian dari keseluruhan utang SN yang harus dilunasi.

MODAL EKUITI BDNI SUDAH NEGATIF

BPPN menerbitkan buku berjudul “Shareholders settlement. An outline of its concepts and objectives”, tertanggal 3 Februari 2000

Di halaman 13 tercantum “Consolidated balance sheet of BDNI before and after adjustment based on Indonesian GAAP” dengan tanda bintang. Tanda bintangnya berarti ada catatan di bawah yang mengatakan “Source : ADDP Ernst and Young”. Kepanjangan ADDP adalah Accepted Due Diligence Process dan kepanjangan GAAP adalah General Accepted Accounting Principle.

Jumlah asset yang unadjusted Rp. 33,572 trilyun. Dengan sebutan “GAAP adjustment” asset ini dikurangi dengan Rp. 27,994 trilyun, sehingga menurut Ernst and Young assetnya tinggal Rp. 5,578 trilyun.

Jumlah kewajibannya (liabilities) yang tercantum sebesar Rp. 32,275 trilyun dikoreksi dengan tambahan Rp. 15,882 trilyun, sehingga kewajibannya yang benar menurut Ernst and Young sebesar Rp. 48,157 trilyun.

Dengan demikian, menurut Ernst and Young Modal Ekuitinya negatif sebesar Rp. 42,579 trilyun.

Rekapitulasinya sebagai berikut :
(dalam trilyun rupiah)

Aktiva sebelum dikoreksi oleh Ernst & Young atas dasar GAAP 33,572
Koreksi sesuai dengan GAAP (27,994)
Aktiva setelah dikoreksi 5,578
Kewajiban sebelum dikoreksi (32,275)
Koreksi sesuai dengan GAAP (15,882)
Kewajiban setelah dikoreksi sesuai GAAP (48,157)

Modal Ekuiti menjadi Negatif sebesar (42,579)

PENANGANAN BLBI

Karena Modal Ekuiti BDNI sudah lama negatif, maka BLBI tidak dapat dikonversi menjadi pemilikan seperti halnya dengan BCA.

Berbeda dengan BCA, status BDNI ialah Bank Beku Operasi (BBO). Karena itu tidak ada gunanya Pemerintah memilikinya melalui konversi BLBI ke dalam pemilikan saham-saham, karena BDNI sudah tidak akan beroperasi lagi.

Penyelesaiannya ialah menentukan utang SN seluruhnya kepada negara. Jumlah BLBI sepenuhnya diperhitungkan dengan keseluruhan kekayaan dan kewajiban BDNI, yang perinciannya sebagai berikut :

JUMLAH HUTANG SYAMSUL NURSALIM(SN)
(dalam trilyun rupiah)

Jumlah keseluruhan utang SN kepada Pemerintah sebesar Rp. 28,4 trilyun yang dirinci sebagai berikut :

BLBI (30,9)
Deposito dan Pinjaman (7,1)
Pinjaman kepada BI melalui Guarantee Scheme (4,7)
LC dll. (4,6)
Total Utang (47,3)

Jumlah aktiva BDNI yang dapat
digunakan untuk mengurangi utang
(dalam trilyun rupiah)

Kas 1,3
Pinjaman kepada Petambak Udang
(via PT Dipasena)
4,8
Aktiva Tetap dan Penyertaan 4,6
Pinjaman Pihak Ketiga dan
Aktiva Lainnya
8,2
Total Aktiva yang dapat di-offset 18,9
Jumlah Utang Neto (28,4)

PENYELESAIAN UTANG

Penyelesaian utang dilakukan dengan MSAA yang isinya sebagai berikut,

Dengan uang tunai sebesar Rp. 1,0 trilyun
Dengan Asset sebesar Rp. 27,4 trilyun

Asset tersebut terdiri dari perusahaan-perusahaan dengan nilai dalam juta US Dollar sebagai berikut.

50,0% dari GT Petrochem 344.100.000
55,3% dari Filamindo Sakti 87.000.000
56,5% dari Sentra Sentetika 52.700.000
78,0% dari Gajah Tunggal 176.300.000
39,8% dari Meshindo Alloy 14.800.000
39,8% dari Langgeng Baja Pratama 5.300.000
99,9% dari Dipasena 1.802.400.000
Jumlah 2.482.600.000

Dihitung dengan kurs Rp. 11.075 per US $ =
Rp. 27,495 trilyun

Nilai tambak udang PT Dipasena sebesar US$ 1.802.400.000 sangat kontroversial. Nilai ini ditentukan oleh Credit Suisse First Boston.

Seperti yang saya tulis di Kompas tanggal 5 Oktober tahun 2000, ada penilaian oleh Price Waterhouse Coopers yang menyatakan nilai PT Dipasena NOL. Sebabnya karena kondisinya ketika itu tambak udang kosong dan beracun.

SKL (Release and Discharge)

Dalam tulisan saya tersebut juga disebutkan bahwa “di atas kop surat BPPN tanggal 25 Mei 1999 Pemerintah Indonesia memberikan Release and Discharge atas pelanggaran BMPK.” Dokumen R&D ini ditandatangani oleh Kepala BPPN Farid Harjanto. Ini agak aneh, karena SKL diterbitkan sebelum Inpres no. 8 tahun 2002 yang diterbitkan oleh Presiden Megawati. Atas dasar Inpres ini Kepala BPPN menerbitkan SKL sekali lagi untuk Syamsul Nursalim.

SENGKETA DALAM PEMBAYARAN TUNAI SEBESAR Rp. 1 TRILYUN

SN merasa telah membayar tunai yang disyaratkan sebesar Rp. 1 trilyun dengan perincian sebagai berikut.

Pembayaran untuk OHS
(US$ 154.950,13)
Rp. 1.262.843.559,50
Pembayaran untuk Nauta Dutilh
(US$ 212.015,87)
Rp. 1.727.929.340,50
Pembayaran notaris dan pengacara
(cadangan)
Rp. 500.000.000,00
Dana shareholder yang barada di
BDNI (BBO) berupa deposito,
tabungan dan Giro
Rp. 598.858.731.426,43
Total Rp. 602.349.504.326,43
Penyelesaian sisa settlement BDNI
(final)
Rp. 500.000.000.000,00
Kelebihan dana shareholder Rp. 102.349.504.326,43

Dalam suratnya kepada BPPN tanggal 12 Juni 2000, SN menyatakan telah kelebihan membayar Rp. 172.963.477.615,23 sebagai hasil perincian yang tercantum dalam suratnya tersebut. Surat bersama ini saya lampirkan.

PENDIRIAN BPPN

Pada tanggal 16 Mei 2000 dengan judul “Kronologi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) BDNI”, di halaman 4 dengan judul :
“Masalah Terkini” tercantum sebagai berikut.

1. Pembayaran tunai Rp. 1 trilyun belum diselesaikan
2. SN belum menyerahkan saham GT, GTPI, dan DCD kepada TSI
3. Saham-saham holdback asset belum diserahkan ke escrow
4. Prekondisi lain yang belum dipenuhi : 

Legal opini yang belum sempurna
Ketidaklengkapan debtors consent and acknowledgement
Mispresentasi hutang petambak
Ketidakterbukaan manajemen dalam penyediaan dana

MISPRESENTASI UTANG PETAMBAK UDANG

Data di bawah ini adalah rangkuman dari tulisan KKG di Kompas tanggal 14 Oktober 2000 dengan judul “Petani Udang Dipasena. Tidak Tahu Utang Menumpuk”.

Ada dua hal penting dalam tulisan tersebut, yaitu :

1. Komponen terbesar dari pembayaran oleh SN adalah PT Dipasena
2. Dalam rangka PT Dipasena, BPPN menganggap ada “mispresentasi” hutang petambak.

Masalah dengan petambak udang dapat dirangkum sebegai berikut :

Petambak udang bekerja dalam bentuk Pola Inti Rakyat (PIR) sebagai plasma. Tetapi para petambak sama sekali tidak bebas, karena diikat dengan pemberian kredit kepadanya oleh BDNI yang milik SN.
Kredit diberikan dalam US$ yang nilai rupiahnya berfluktuasi.
Petambak tidak diberi pengertian yang jelas, sehingga terjadi demonstrasi berkali-kali dengan kericuhan sampai ada yang tewas.
Harga beli dari petambak ditentukan sepihak oleh Dipasena, yaitu US$ 4,50 per kg., sedangkan ongkos produksinya US$ 7,5
Kerugian ini tidak diberitahukan kepada petambak, tetapi dibukukan oleh Dipasena sebagai utang petambak kepada BDNI
Supaya petambak tenang, walaupun sistem PIR, kepada mereka diberikan gaji sebesar Rp. 650.000 yang (mungkin) diperhitungkan dengan harga belinya.
Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

One response to "INTERPELASI BLBI KASUS BDNI (Artikel 4)"

  1. Rusman Agustus 3rd, 2012 13:39 pm Balas

    salam; bagaimana tanggapan/analisis P.Kwik terhadap utang petani sawit plasma PT Sumarco Makmun Indah di Desa Dalil Kec.Bakam Kab.Bangka Prov.Bangka Belitung yang juga berkaitan dengan BDNI,tq

Leave a Reply to Rusman