Demokrasi yang Crazy – Perbincangan Antara Djadjang dan Mamad
Setiap kali media massa gaduh tentang suatu hal, Djadjang dan Mamad selalu terlibat dalam perbincangan yang seru, karena keduanya sama tinggi IQ-nya, namun berbeda dalam pengalaman hidupnya. Mereka bersahabat sangat karib sampai dengan SMU. Setelah itu Djadjang belajar di universitas dan menjadi guru besar dalam ilmu politik. Mamad menjadi pekerja sosial di tengah-tengah rakyat jelata. Namun dengan bekalnya dari SMU, dia rajin membaca dan mengamati kehidupan politik yang nyata. Dia sering nongkrong di panggung publik DPR. Tidak demikian dengan Prof. Djadjang. Dia hanya membaca buku dan mengkuliahkan yang dibacanya.
Sejak tahun 2002 media massa kita gegap gempita dengan pemberitaan dan opini serta analisis tentang rebutan menjadi Presiden RI, Gubernur, Walikota dan Bupati. Selanjutnya akan dibahas tentang pemilihan langsung Presiden saja, tetapi esensinya adalah pemilihan langsung yang membuat banyak elit Indonesia menjadi aneh perilakunya.
M : Djang, sejak Megawati lengser sebagai Presiden, Presiden dipilih secara langsung melalui pemilu yang sangat terbuka dan demokratis. Ini perubahan yang sangat mendasar. Bagaimana menurut pendapatmu, Djang? Baik atau buruk?
Dj : Bagus sekali Mad, kita harus bersyukur bahwa sejak reformasi, sebuah lembaga yang sangat paham tentang kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis bersedia mendampingi bangsa kita. Lembaga itu namanya National Democratic Institute (NDI). Merekalah yang mendampingi para anggota inti dari MPR kita yang berkali-kali melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Ketika para calon Presiden sedang melakukan kampanye, mereka juga dipanggil oleh mantan Presiden Jimmy Carter yang membuka Carter Center di Hotel Mulya. Para calon presiden itu diberi petunjuk-petunjuk oleh Jimmy Carter.
M : Lho, yang keberatan dan marah-marah terhadap perubahan UUD 1945 begitu banyak kok kamu malahan menganggap ikut campur tangannya NDI dalam kehidupan politik kita harus disyukuri?
Dj : Mereka yang keberatan dan marah-marah itu kan tidak mengerti persoalan. Kita itu mau demokrasi atau tidak? Kalau mau demokrasi ya harus belajar dan nurut sama yang paling mengerti dan paling berpengalaman, yaitu Amerika Serikat (AS).
M : Bukankah embahnya demokrasi itu para filosof Yunani seperti Socrates dan Plato? Dan yang sekarang demokrasinya seimbang kan Eropa, yang merupakan kelanjutan sangat dekat dengan pikiran-pikiran awal yang lahir di Yunani kuno?
Dj : Engkau sendiri menyebutnya Yunani “kuno”. Karena itu sangat-sangat kuno, sudah ketinggalan zaman. Demokrasi yang modern ya AS. Di sana Presidennya kan dipilih secara langsung? Maka kita sekarang mengikutinya. Teman-temanku yang terpelajar, terutama yang lulus dari Oyoyo University dengan tokohnya Prof. Pil Little semuanya memuji dan banyak yang hidup dari sistem demokrasi kita yang menjadi contoh buat dunia. Ada yang mendapat nafkah sebagai konsultan memenangkan pemilu, ada yang nafkahnya dari survey, ada yang dari berhitung cepat.
M : Berhitung cepat bisa memberi nafkah?
Dj : Ya, begitu pencoblosan atau pemungutan suara selesai kan langsung saja ada pentolan-pentolan ahli politik yang melakukan apa yang mereka sebut quick count. Mereka langsung tahu siapa yang menang dengan akurasi tinggi. Pada awalnya didampingi oleh guru besarnya Prof. Pil Little yang dari Oyoyo University itu. Itu honornya kan tinggi?
M : Aku sih tambah bingung saja, Djang. Yang aku perhatikan bukan teknik-teknik seperti itu. Yang aku bingung dan sampai terbengong-bengong menyaksikannya ialah begitu banyaknya tokoh terkenal ingin rebutan jadi Presiden. Mengapa mereka begitu kepingin menjadi Presiden? Lantas yang lebih membuat saya tidak habis pikir ialah bagaimana mungkin orang Indonesia yang sifat hakikatnya begitu rendah hati dan cenderung “pemalu” itu mendadak sontak bisa berkeliling seluruh Indonesia. Di mana-mana mengerahkan massa yang harus mendengarkan dirinya menyombongkan diri dengan pidato yang intinya : “Wahai rakyatku, aku ini orang hebat. Pilihlah aku menjadi Presidenmu”.
Dj : Mad, di dunia ini tidak ada yang gratis. Kalau mau sesuatu harus bekerja keras dan kreatif. Semuanya harus dijual dengan teknik marketing. Bukan hanya menjual pisang goreng saja yang membutuhkannya, tetapi juga menjual ide, gagasan, kehebatan dirinya sendiri. Bagaimana rakyat mengetahui bahwa dirinya hebat kalau dia tidak mengatakannya? Siapa yang mau memuji-mujinya kalau bukan dirinya sendiri? Diri sendiri saja tidak cukup. Harus ada Tim Sukses yang terdiri dari para ahli yang pandai dan tinggi pendidikannya.
M : Lagi-lagi teknik. Itunya aku ngerti, tapi justru menjadi bingung. Semuanya itu kan makan biaya sangat besar? Membiayai Tim Sukses, berkeliling ke seluruh Indonesia dengan rombongan besar. Membiayai pencetakan poster. Konon jumlahnya sampai ratusan milyar rupiah yang tidak mungkin dimilikinya kalau kita melihat latar belakang pekerjaannya.
Dj : Ya utang. Seorang calon Presiden yang menjanjikan akan menang kan didekati banyak orang. Banyak orang kaya biasanya mendekat supaya kalau nantinya terpilih dia sudah akrab dengan sang Presiden. Orang-orang kaya yang mendekat itu sangat mau memberi utang yang dibutuhkan guna pembiayaan kampanyenya.
M : Pengusaha itu orang dagang. Dia mengeluarkan uang sampai ratusan milyar untuk memenangkan satu calon Presiden. Kalau dia menang dan menjadi Presiden, dia harus membayarnya kembali.
Dj : Memang, di AS kan juga begitu? Kalau calon Presiden jagoannya menang, penyandang dana akan mendapat berbagai bisnis dan bahkan duduk dalam pemerintahan. Apa salahnya? Indonesia cepat belajar. Beberapa Menteri sangat penting kan asalnya pedagang?
M : Baik, lha Presidennya membayarnya pakai apa?
Dj : Mad, engkau ini bagaimana? Presiden kan sangat berkuasa? Dia tidak perlu membayar uang tunai seperti kamu kalau berutang dari warungmu tempat kamu makan. Ketika si pengusaha besar itu bersedia membiayainya, sudah ada perjanjian terlebih dahulu bahwa kalau menang akan diangkat menjadi Menteri yang “basah”, supaya dia sendiri yang akan mencari bisnis dengan untung besar. Bukan hanya terbayar kembali, untungnya berlipat-lipat ganda. Proyek-proyek besar jatuh ke tangannya semua. Bahkan bisa juga bahwa agennya sang penyandang dana duduk dalam kabinet dengan kekuasaan penuh dalam bidang ekonomi.
M : Itu namanya bukan korupsi Djang?
Dj : Bisa menjurus ke situ, tapi kan harus dibuktikan? Buktinya mana?
M : Lagi-lagi teknik. Sekarang malahan debat kusir dan debat pokrol-pokrolan. Presiden sebelum menjadi Presiden sudah berjanji kepada pemberi utang akan membiarkannya merebut bisnis besar-besaran dengan kekuasaan yang melekat pada Pemerintahan. Buat saya, belum apa-apa, sistem NDI yang kamu puji itu sudah melekatkan korupsi yang terstruktur. Buat saya itu namanya korupsi melekat atau korkat.
Dj : Itu tidak bisa dihindarkan. Di AS juga begitu, bahkan melibatkan pengusaha dari Indonesia. Ingat tidak skandal pendanaan Bill Clinton yang mengakibatkan seorang pengusaha Indonesia dihukum?
M : Djang, kenapa ya, kebanyakan guru besar dan ilmuwan Indonesia kalau sudah tidak bisa berargumentasi tentang substansinya lantas mengatakan di sini begitu, di sana begitu. Sering saya tanya dan tanya terus ingin mengetahui akar permasalahannya sesuatu hal. Ketika dia mentok terus bilang di UI begitu, di Gajah Mada begitu, di IPB begitu. Yang ingin saya ketahui “mengapa begitu”, bukan “di mana saja yang begitu”. Tapi sudahlah, masalah ini kita tutup sampai di sini. Sekarang soal lain lagi, yaitu tolong ceriterakan bagaimana Bung Karno dan pak Harto menjadi Presiden.
Dj : Itu kan zaman dulu. Belum banyak orang pandai yang bersekolah di Oyoyo University dengan Prof. Pil Little sebagai dedengkotnya.
M : Yang kutanyakan prosesnya bagaimana? Bukankah karena Bung Karno tanpa ingin mau menjadi Presiden berjuang mati-matian tanpa sedikitpun memikirkan dirinya sendiri? Bung Karno dengan semua pemimpin seangkatannya berjuang memerdekakan bangsa kita yang sudah lama dijajah Belanda. Mereka itu para lulusan universitas di Belanda dan di Hindia Belanda. Waktu itu lulusan perguruan tinggi sangat langka, sehingga kalau mereka mau menjadi ambtenaar (pegawai negeri), gajinya sangat tinggi, bisa hidup sangat makmur. Tetapi mereka membuang semua kesempatan ini. Mereka memilih keluar masuk penjara. Karena perbuatannya yang nyata ini dan luar biasa ini, rakyat menganggap dengan sendirinya Presidennya ya mesti Bung Karno. Tidak ada pemilihan. Begitu juga yang terjadi di India dengan Mahatma Gandhi dan Jahawarlal Nehru, dengan Ho Chi Minh, dengan Sun Yat Sen, Chiang Kai Shek dan Mao Tze Tung, dengan Lee Kuan Yew dan masih sangat banyak lagi.
Dj : Dengan pak Harto bagaimana?
M : Pak Harto dengan rekan-rekannya, terutama Jenderal Nasution sebagai seniornya bekerja keras memulihkan ketertiban. Karena perbuatan kepemimpinannya yang nyata inilah rakyat menganggap dengan sendirinya yang menjadi Presiden setelah Bung Karno Jenderal Nasution. Beliau menolak. Karena itu barulah pak Harto diminta, dan beliaupun menolak karena merasa tidak siap menjadi Presiden. Setelah diminta oleh rakyat (MPR) di tahun 1968 barulah menerima jabatan yang diterimanya sebagai tanggung jawab yang maha besar. Jadi, tidak menyombongkan dan membesar-besarkan diri terlebih dahulu dengan maksud supaya tanpa track record yang besar menjadi Presiden. Tidak begitu! Bekerja keras mempertaruhkan segala-galanya. Mana mungkin berpikir yang lain kecuali memulihkan ketertiban? Karena track record yang nyata dan besar inilah rakyat menganggap dengan sendirinya pak Harto yang menjadi Presiden setelah pak Nas menolak.
Jadi Nasution, Soeharto, seperti halnya dengan Bung Karno bekerja keras dahulu, dikenal oleh rakyat sebagai pemimpin sejati, dan baru diminta oleh rakyat. Diminta, tidak dipilih dengan membeli suaranya dalam berbagai bentuk!
Dj : Mad, kamu memang tidak mengerti sistem yang dirancang secara ilmiah dan cermat, yang dibuatnya dengan menggunakan semua ilmu pengetahuan yang relevan secara multidisipliner. Banyak bakat terpendam yang tidak mungkin diketahui oleh rakyat banyak. Yang kau kemukakan itu tadi perkecualian semua. Itupun di zaman dulu yang sekarang sudah menjadi sejarah.
M : Sebagai anak jalanan aku ngerti, Djang. Tapi coba amati benar-benar. Kecuali beberapa Capres dan pasangannya Cawapres tertentu saja, apa yang dikatakan dan dilakukan dalam kampanye? Yang dilakukan selama kampanye tiada lain kecuali membangun citra.
Dj : Kau melebih-lebihkan. Capres dan cawapres itu punya konsep. Masak Tim Sukses yang banyak Doktor dan bahkan Profesor itu tidak bisa bikin konsep?
M : Ada, tapi mereka hanya mengemukakan apa yang ingin dicapai, tidak mampu menjabarkan dalam kebijakan dan tindakan operasional tentang bagaimana caranya mencapai semua hal yang bagus-bagus itu. Semua orang ingin yang bagus-bagus, tapi tidak akan terwujud kalau tidak mengerti bagaimana cara mencapainya. Terus ada yang lucu sekali. Ketika menjabat, Presiden mempunyai Kementerian yang sudah menjabarkan konsep tentang menjalankan pemerintahan dan pembangunan. Tapi yang dikampanyekan lain sama sekali, karena disusun oleh ahli-ahli sewaan.
Dj : Tidak aneh, karena Presiden sebagai Presiden lain dari Presiden sebagai Calon Presiden, walaupun orangnya sama. Sebagai Presiden dia menuruti produk Bappenas, apalagi sudah diadopsi oleh DPR sehingga menjadi undang-undang. Sebagai Capres dia harus mengemukakan ide-ide baru dengan Menteri-Menteri baru yang sudah ada dalam benaknya.
M : Kau sudah menjadi pokrol lagi. Presiden itu mempunyai hak prerogatif untuk mengganti setiap Menterinya setiap saat. Mengapa harus terpaku pada Menteri sekarang?
Dj : Karena berutang budi. Kan tadi kita berdiskusi tentang utang untuk membiayai kampanye yang begitu mahalnya? Dari menteri yang berjasa menjadikannya Presiden, dia tidak bisa main pecat begitu saja. Kan sudah ada konsensus dan komitmen sebelumnya?
M : Kecuali beberapa Capres tertentu, keinginannya menjadi Presiden begitu besarnya bagaikan orang yang keranjingan. Sebenarnya apa sih yang diinginkan?
Dj : Jelas ingin membela dan memakmurkan rakyatnya secara adil dan berdaulat.
M : Apa iya, Djang? Begitu muliakah mereka? Dalam kenyataannya kok banyak yang hanya mengekor saja pada Washington Consensus dan mengikuti apa maunya lembaga-lembaga internasional dan negara-negara adikuasa?
Dj : Ya itu lain, itu kan taktik?
M : Ah taktik-taktik. Nanti bertaktik terus sampai negaranya jebol sama sekali. Maka sistem pemilu langsung a la AS dalam menentukan pimpinan negara bangsa dalam semua jenjang yang dirancang oleh NDI harus kita hapus dan diganti dengan yang sudah lama sekali kita kenal. Yaitu mencari pemimpin terbaik melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Dengan sendirinya haruslah oleh orang-orang yang arif bijaksana, atau oleh de wijze mannen van het volk. Di Eropa, pemilu Presiden memang ada. Tetapi kebanyakan Presidennya hanya simbol. Yang berkuasa adalah Perdana Menteri, dan Perdana Menteri tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Perdana Menteri dalam sistem parlementer dipilih oleh parlemen yang dianggap terdiri dari orang-orang yang menguasai masalah dan bijaksana.