'

Kategori

Follow Us!

KONTROVERSI TENTANG PILKADA

Oleh Kwik Kian Gie

Sejak Indonesia berdiri sampai tahun 2007 tidak ada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung oleh rakyat. Dalam era Reformasi terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 yang menentukan bahwa Kepala Daerah pada semua jenjang, yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat.

Di tahun 2011 Pemerintahan SBY mengajukan RUU yang mengembalikan Pilkada kepada DPRD. Secara implisit berarti bahwa setelah 5 tahun memerintah dengan sistem Pilkada langsung dirasakan bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan Pilkada oleh DPRD.

Yang sangat aneh, ketika RUU diterima oleh DPR tidak ada yang mempermasalahkan. Namun ketika fraksi-fraksi di DPR terkelompok ke dalam hanya dua koalisi saja, yaitu Koalisi Merah Putih yang menguasai sekitar 70% suara dan Koalisi Gotong Royong yang menguasai sisanya, meledaklah perdebatan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tentang pro dan kontra Pilkada melalui DPRD.

Dalam perdebatan yang demikian gemuruhnya tidak ada yang mengemukakan kenyataan ini. Yang dikemukakan oleh yang setuju maupun yang tidak setuju yalah aspek korupsinya.

Dalam pertimbangannya RUU menggunakan dua argumentasi, yaitu untuk “Memperkuat sifat integral dalam NKRI” dan “Sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.” Secara lisan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengemukakan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat telah mengakibatkan demikian meluas dan besarnya korupsi sampai pada para Kepala Daerah sendiri, sehingga 330 Kepala Daerah telah masuk penjara atau menjadi tersangka.

Yang pro Pilkada langsung mengatakan bahwa para anggota DPRD akan minta sogokan dari calon Kepala Daerah supaya dipilih. Yang pro Pilkada melalui DPRD mengatakan bahwa kenyataannya, para Kepala Daerah itu harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa terpilih. Seperti telah dikemukakan, pendirian pemerintah yang dinyatakan oleh Mendagri juga mengemukakan betapa hebatnya korupsi dalam Pilkada langsung.

Korupsi atau lengkapnya KKN tidak hanya terjadi pada Pilkada. KKN terjadi pada semua aspek kehidupan bangsa kita sejak lama, yang semakin lama semakin mendarah daging. Bahkan telah merasuk ke dalam otak yang oleh para filosof Yunani kuno disebut sudah terjadi corrupted mind pada elit bangsa kita.

Maka kalau aspek KKN yang dijadikan argumen, yang pro Pilkada langsung maupun yang pro Pilkada melalui DPRD sama-sama kuatnya atau sama-sama lemahnya. Marilah kita telaah hal ini tanpa menggunakan faktor KKN, karena kalau terus menggunakan faktor KKN sebagai argumentasi, kita disuguhi oleh tontonan para maling yang teriak maling.

Kita mulai dari pertimbangan yang tertuang dalam RUU. Yang pertama, yaitu Pilkada melalui DPRD memperkuat sifat integral dalam NKRI memang benar. Beberapa  daerah sangat menonjol kemajuannya dan kesejahteraan rakyatnya karena mempunyai Kepala Daerah yang memang sangat kompeten. Tetapi justru penonjolan kemampuan sangat sedikit daerah inilah yang membuat terjadinya kesenjangan yang besar antara daerah-daerah yang bagus dan daerah-daerah yang masih saja berantakan. Cepat atau lambat, hal yang demikian jelas akan memperlemah NKRI. Ketika saya menjabat sebagai Kepala Bappenas ada beberapa Kepala Daerah yang minta alokasi dana lebih besar. Saya menolaknya, karena segala sesuatunya telah dipertimbangkan dengan cermat. Beberapa Kepala Daerah langsung menjawab :”Pak, apakah kami perlu menyatakan diri ingin merdeka, memisahkan diri dari NKRI supaya bisa mendapatkan alokasi anggaran yang kami minta ?”

Pada waktu yang sama sangat banyak daerah yang minta agar Bappenas memberikan pendidikan dn pelatihan kepada para perencana daerah. Sampai sekarang yang terjadi yalah atau anggaran daerah dipakai buat yang bukan-bukan, atau banyak sisa anggaran. Ahok kelebihan anggaran yang mulai membagi-bagikan uang kepada para kepala daerah sekitarnya.

Argumentasi lainnya yang tertuang dalam RUU yalah “sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.” Apa benar argumentasi ini ? Tidak mutlak, karena nyatanya – seperti yang telah disebutkan tadi – memang ada beberapa Kepala Daerah yang sangat kompeten. Bagian terbesar dari daerah-daerah tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, kita saksikan sendiri di berbagai televisi betapa banyak dan memalukannya tingkah lakunya Kepala Daerah dalam KKN maupun dalam bidang demoralisasi.

Kita ambil satu contoh yang menonjol adanya kesenjangan sangat besar antara penolakan terhadap Pilkada melalui DPRD dan prestasi dari Kepala Daerah yang paling keras menolak, yaitu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jokowi- Ahok. Dalam Suara Pembaruan tanggal 17 September 2014 halaman A 23 diberitakan bahwa “hingga pertengahan kedua September 2014 penyerapan APBD hanya 30 %. Diperkirakan penyerapan anggaran untuk pembangunan infra struktur sangat minim, yaitu hanya 0,01 % dari total nilai APBD DKI 2014 sebesar Rp. 72,9 trilyun. “ Selanjutnya dikatakan “Bahkan bila dilihat dari nilai penyerapan anggaran yang baru mencapai 30% atau sebesar Rp. 21,87 trilyun, penyerapan anggaran untuk pembangunan hanya 0,04%. Sedangkan sisanya 29,96% merupakan penyerapan anggaran dari gaji pegawai, alat tulis kantor (ATK) dan TALI (telpon, air, listrik, dan internet).
Jadi yang menolak luar biasa dahsyatnya, yaitu Jokowi-Ahok hanya mampu membangun infra struktur sebesar 0,01% dari anggaran yang disediakan, dan hanya 0,04% dari anggaran pembangunan yang disediakan.

Dalam bidang pembangunan MRT, Gubernur yang lama Fauzi Bowo yang memulai dengan pemberitaan sangat besar. Tetapi dihentikan oleh Gubernur Jokowi dengan alasan terlampau mahal. Setelah 3 bulan dilanjutkan lagi dengan Gubernur Jokowi memegang gambar lokasi awal pembangunan MRT di bunderan HI, seolah-olah dia yang memulai. Todal biaya sama sekali tidak kurang, bahkan mungkin ketambahan bunga utang untuk 3 bulan lamanya.

Tentang legitimasi juga sangat aneh dengan pemilihan pemimpin penyelenggara dari berbagai jenjang secara langsung oleh rakyat. Bupati, Walikota, Gubernur, Anggota DPR, anggota DPRD dan Presiden sama semua legitimasinya, sama semua penyandang voc populi vox dei, sama semua menyuarakan suara Tuhan, tetapi pendapatnya dan kepentingannya bisa sangat berseberangan luar biasa.

Hak rakyat yang dirampas

Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana ? Jumlah rakyat yang ikut Pilpres adalah 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk Prabowo. Jokwi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62 juta suara bukannya nothing.

Dalam poster kampanye gambar yang dijadikan template yalah Bung Karno, Megawati dan Jokowi. Pikiran Bung Karno tentang Demokrasi sangat jelas, yaitu Demokrasi Perwakilan, dan itupun ditambah dengan asas pengambilan keputusan yang tidak didasarkan atas pemungutan suara melulu. Dia menggunakan istilah diktatur mayoritas dan tirani minoritas untuk mempertegas pendiriannya. Dia juga selalu mengemukakan apakah 50% plus satu itu Demokrasi ? Apakah 50% plus satu itu boleh dikatakan sama dengan “Rakyat” ?

Jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya termasuk yang tertinggi di dunia. Apakah penggunaan hak politiknya yang berbondong-bondong itu karena sangat sadar politik ataukah datang untuk menerima uang dari para calon legislatif maupun eksekutif yang dipilih secara langsung ?

Kalau 5 tahun yang lalu uang yang harus dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR rata-rata sekitar Rp. 300 juta, di tahun 2014 sudah menjadi Rp. 3 milyar.

Demokrasi, walaupun sistem perwakilan membutuhkan rakyat yang sudah cukup pendidikan dan pengetahuannya. Marilah kita sangat jujur terhadap diri sendiri. Apakah bagian terbesar dari rakyat Indonesia sudah cukup pendidikannya ? Para calon presiden sendiri mengemukakan betapa tertinggalnya bagian terbesar dari rakyat kita dalam bidang pendidikan yang dijadikan fokus dari platformnya. Berbicara soal pilkada langsung rakyat digambarkan sebagai yang sudah sangat kompeten menjadi pemilih yang sangat bertanggung jawab.

Melihat demikian banyaknya orang yang demikian luar biasa semangatnya untuk memasuki arena penyelenggaraan negara, kita patut tanya pada diri sendiri tentang apa motifnya ? Apakah mereka demikian semangat, demikian ngotot, bersedia mengeluarkan uang, bersedia menggadaikan harta bendanya untuk menjadi anggota legislatif atau eksekutif itu karena demikian luar biasa cintanya kepada bangsa, ataukah sudah membayangkan harta dengan jumlah berapa serta ketenaran dan kenikmatan apa yang akan diperolehnya ?

Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22 September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperolh kredit dari berbagai bank.” Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan.

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

116 responses to "KONTROVERSI TENTANG PILKADA"

  1. Lina September 26th, 2014 21:27 pm Balas

    Pak..salut kepada Anda yang tetap mempertahankan integritas dan pemikiran kritis dan nasionalisme di era semua intelektual, politikus dll menjual dirinya demi jabatan dan uang.

  2. Prihatino September 26th, 2014 21:32 pm Balas

    Sebuah kupasan tanpa tedensi kepentingan. Terimakasih Pak Kwik.

  3. Mursyidah September 26th, 2014 23:48 pm Balas

    Terima kasih Pak artikelnya, membuka perspektif saya dalam memahami isu pilkada ini dengan lebih baik.

  4. Yuli Ardika Prihatama September 27th, 2014 07:07 am Balas

    Setuju Pak, rakyat belum mendapatkan haknya tetapi dipaksakan untuk berdemokrasi secara liberal.

  5. Seto September 27th, 2014 10:56 am Balas

    Penjelasan pa Kwik ini jelas dan tidak memihak, sehngga siapapun bisa mengambil kesimpulan dengan pikiran jernih.

  6. Uvang September 27th, 2014 14:01 pm Balas

    Ulasan yang mencerahkan…trimakasih Pak Kwik

  7. Rei September 27th, 2014 16:10 pm Balas

    kali ini analisa p’kwik bisa masuk dalam logika, tidak melibatkan emosional, komprehensif karena disertai data juga. Pilkada langsung atau tidak adalah tetap demokrasi, yang membedakan adalah hanya caranya saja.Terlebih lagi bahwa budaya politik yg berkembang saat ini adalah yang kalah tidak mau berbesar hati menerima kekalahannya, kalo di tingkat dpr paling akan menggugat ke mk, tetapi kalo kekalahan di tingkat pemilihan kepala pemerintahan, selalu terjadi bentrokan di masyarakat.Apakah akan selalu begini kondisi politik di negeri ini, dimana kemenangan politik identik dengan majority?musyawarah untuk mufakat..hanya semboyan bisu..sekarang musyawarah untuk voting…tanpa mufakat…dan bisa digugat…

  8. Rudy Tan September 27th, 2014 16:13 pm Balas

    Akhirnya dari sudut pandang mana kt melihat sesuatu itu dan itulah yg dijadikan tolok ukur kebenarannya,kemutlak atas sesuatu itu seharusnya dikembalikan kepada sesuatu itu sendiri sebagai hakekat kebenaran,…rakyat punya suara,rakyat punya kekuasaan,diwakilkan atau langsung tergantung siapa pelakunya,….benar motifasi dan kejujuran diri inilah pokok yg harus di perkuat, bukan cuma sekedar tehnisnya,…wasallam

  9. Pither Yurhans Lakapu September 27th, 2014 19:49 pm Balas

    Ulasan yg cukup berimbang. Terima kasih pak Kwik…

  10. Ully Rada Putra ST ME September 27th, 2014 20:09 pm Balas

    Sejak mahasiswa tahun 1989, masa2 pergolakan pemikiran dg kawan2 orde baru, pengagss reformasi damai, perjalanannya sampai sekarang saya mengagumi pikiran dan komitmen Bapak untuk Indonesia merdeka yang lebih berdaulat,lebih sejahtera dan berkeadilan dalam kerangka NKRI.

  11. Hario Suparto September 27th, 2014 21:24 pm Balas

    saya setuju dg alur pikir Bapak KKG
    bila kita melaksanakan pilkada langsung, ini tidak sejalan dg Pancasila, jadi kalau tetap pil
    kada langsung, Pancasila harus dirubah dulu.
    dari sisi manfaat dibandingkan mudarat, menurut saya mudarat lebih besar pilkada langsung dari pada tak langsung.
    mari kita pegang baik baik apa yg sudah menjadi keputusan, kita rawat dengan baik, kita awasi dg baik, agar Republik ini menjadi negeri yang baik bagi siapapun yang menempati, yang mengunjungi maupun yg hanya menyaksikan.

  12. Gandung Pramono September 27th, 2014 22:11 pm Balas

    Pandangan yang menurut saya rasional, dengan argumen yg dikemukakan saya setuju. di berbagai daerah bahkan diseluruh Indonesia sdh bukan rahasia lagi kalo para pemimpin melalui pilkada langsung setelah jadi yg dipikirkan adalah balik modal dari apa yg dia keluarkan.
    tidak sedikit para kepala daerah berangkat bukan dr siapa-siapa tp berangkat dr modal besar (uang ) yg dia miliki, kapasitas kepemimipinan dan keintelektualan yg minim tertutupi oleh besarnya uang yg dimiliki.
    Agar tidak menjadi sesuatu hal yg salah kaprah mengenai demokrasi mungkin perlu disampaikan pengertian mendasar tentang demokrasi khususnya ygsesuai dg nilai-nilai luhur kebangsaan Indonesia. Masyarakat umumnya memahami demokrasi adalah bila semua orang bisa menyuarakan kemauan atau pendapat secara pribadi langsung. mungkin gitu Pak….

  13. Jujung T. September 27th, 2014 22:34 pm Balas

    Mengenai DPRD yang menggadaikan SKnya, bukankah itu tidak ada hubungannya dengan Pilkada langsung atau Pilkada oleh DPRD?

    Bukankah anggota DPRD itu yang akan memilih, bukan yang akan dipilih dalam pilkada?

    Dan justru karena kualitas DPRD yang seperti itulah maka untuk saat ini Pilkada oleh DPRD menjadi pilihan yang buruk dan mengkhawatirkan.

  14. irwan September 28th, 2014 02:21 am Balas

    Saya tidak setuju dengan pendapat anda soal rakyat yang mana? karena rakyat memilih prabowo 62 juta. Mustinya lihat rakyat yang diwakili oleh para kepala daerah, seperti diwakili para bupati dan walikota yang tergabung dalam asosiasi pemerintah kota (apeksi) dan asosiasi bupati (apkasi) yang telah menyatakan sikap penolakan terhadap pilkada lewat dprd. Itulah rakyat di seluruh indonesia. Jadi memang kenyataan bahwa hak rakyat dirampas dan dirampok oleh anggota dpr yang gabung dalam KMP

  15. irwan September 28th, 2014 02:32 am Balas

    kemudian juga soal pernyataan anda dalam paragraf ketiga :Yang sangat aneh, ketika RUU diterima oleh DPR tidak ada yang mempermasalahkan.
    Sepengetahuan saya, memang tidak dipermasalahkan karena draf RUU yang diajukan kemendagri menyoal pilkada lewat dprd itu pada tingkatan gubernur saja. Bukan pada tingkatan walikota dan bupati.

    Saya tinggal di DKI Jakarta, kalau lihat UU khusus DKI, gubernur tetap pilkada langsung. Artinya, tidak pengaruh uu pilkada yang telah disahkan. Hanya bagi saya, pelajaran cukup besar dari pilgub DKI, partai tidak bisa mewakili rakyat memilih pemimpinnya. Terbukti, Jokowi-Ahok hanya diusung dua partai saja. Artinya, rakyat tahu memilih pemimpinnya. Seburuk2nya pemimpin yang dipilih rakyat masih lebih baik daripada dipilih orang2 partai yang lebih banyak mengedepankan kepentingan kelompok dan golongannya. salam

  16. slamet rahmat ts September 28th, 2014 04:54 am Balas

    Pemikiran seorang negarawan yang sangat jernih dan nasionalis demi kemajuan bangsa

  17. Hadi September 28th, 2014 05:02 am Balas

    Dear Pal Kwik,

    Tentang statement Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22 September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperolh kredit dari berbagai bank.” Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan.

    Apakah kalau pilkada nggak langsung nggak akan kejadian seperti itu? Bukankah semua kembali kepada mentalitas orang yang melakukannya? Seperti ada yang bilang lebih mudah menyuap bbrp ratus orang dibandingkan puluhan bahkan ratusan juta orang, semuanya saya lihat nggak menghasilkan peningkatan kualitas yang berarti.

    Masalah penyerapan dana pembangunan, jika misal si A bisa membangun suatu project dengan nilai misalkan 2T, dan si B bisa membangun project yang sama kualitasnya dengan nilai 1T, apakah bisa dinilai kalau penyerapan dana oleh si B itu salah? Bukan begitu kan? Yang terpenting bukan berapa dana yang dikeluarkan san dimanfaatkan, tetapi hasil yang diperoleh. Kalau bisa membeli murah kenapa harus mahal jika mendapatkan kualitas dan barang yang sama? Jadi menurut pendapat saya, penyerapan dana pembangunan jangan dinilai dari beraa persen yang dipakai dari total dana. Karena kalau bisa dihemat dengan proses yang benar kan tidak masalah juga.

    Peninjauan suatu project untuk di stop sementara, kemudian direview mungkin saja dikarenkan banyak project lainnya sebelumnya yang sarat korupsi jadi bernilai tinggi tidak wajar. Tetapi jika memang setelah review dan berbagai kalkulasi menghasilkan nilai yang sama atau bahkan lebih tinggi karena waktu eksekusi dan perjanjian yang berbeda, selama memang study kelayakannya menghasilkan nilai wajar ya tidak masalah menurut saya.

    Regards

    Hadi

  18. edy amiruddin September 28th, 2014 05:20 am Balas

    Analisa yang jujur gak memihak

  19. Amry Syaawalz September 28th, 2014 06:41 am Balas

    Saya hanya memandang dari sisi pembiayaan pilkada langsung, dimana anggaran yang begitu besar melebihi ratusan milyard diambil dari APBD. Bayangkan saja dengan anggaran sebesar itu habis terbuang untuk memilih bupati/walikota yang belum tentu hasilnya memperoleh bupati/walikota yang kompeten karena siapa ada duit walau tidak kompeten bisa jadi bupati/walikota. Kalau melalui DPRD yang jelas anggaran yang diperlukan sudah pasti berkurang dan anggaran itu bisa digunakan membangun sekolah, puskemas atau yang lainnya.

  20. Siti Aisjah SE MS, Dr September 28th, 2014 06:42 am Balas

    Pak Kwik… saya bangga membaca tulisan yang ‘clear’ …. Satu kata ‘Hebat’

  21. Armand Tanorie September 28th, 2014 06:47 am Balas

    Pak Kwik, apakah menggunakan data hasil pilpres sbg representasi pro-kontra Pilkada tidak serampangan. Saat pilpres semua setuju langsung. Kalau Pak Kwik ttp menganggapnya valid, justru hasil sidang paripurna tsb berarti tdk mewakili.
    Lalu mengangkat masalah kesenjangan daerah, justru dgn Pilkada langsung ada kesempatan calon2 bagus bisa maju. Bagaimana Pak Kwik menganggap DPRD lbh pintar memilih?
    Lalu menggunakan kata “mudarat”, yang dirasakan SBY, apa ini bukan menggiring opini? Padahal ini bukan absolut, tapi apa yg dirasakan SBY.
    Mana yg lbh korup Pak, saat Orba atau Reformasi? Menggunakan data KPK itu lucu, krn jaman Orba tdk ada

  22. Gunarto Soetedjo September 28th, 2014 07:02 am Balas

    Setuju pak, selama dpr benar benar menyuarakan rakyat kenapa harus ada pemilihan langsung oleh rakyat lagi , jadi buat sistem yg memastikan yg terpilih menjadi anggota dpr/dprd benar benar orang yg akan menempatkan dirinya sebagai kepanjangan kehendak/suara rakyat, bukan kepentingannya sendiri/partai

  23. baharmaksum@gmail.com September 28th, 2014 07:20 am Balas

    Ketika RUU itu diusulkan oleh pemerintah, para anggota dewan dan fraksinya berusaha menolaknya. Tetapi, setelah Pilpres 9 Juli 2014, dimana Koalisi Merah Putih pendukung Capres/Cawapres Prahara (Prabowo/Hatta Radjasa) kalah pada Capres/Cawapres Jokowi/JK, mereka pun berusaha menjegalnya. Mulai melalui sidang di MK, gagal. PTUN menolaknya mentah mentah tanpa melalui sidang, lantas melaporkan penyelenggara Pilpres ke Pengadilan Negeri. Gagak semuanya.
    Rupanya ada RUU Pilkada yang ngendon di DPR. Inilah yang kemudian mereka jadikan senjata untuk mengalahkan pendukung Jokowo yang hanya sekitar 30 an%. Mereka merasa di atas angin untuk mengalahkan pendukung Jokowi/JK.
    Fraksi Demokrat bermanover dengan menyatakan mendukung Pilkada langsung dengan 10 syarat perbaikan. Ide ini didukung oleh PDIP dan PKB. Tetapi menjelang voting, mereka menyatakan WO. Akhirnya, keputusan atas RUU Pilkada dimenangkan oleh KMP dan hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya terampas sudah.
    Ketua Umum Partai Demokrat, susilo bambang yudhoyono juga bersandiwara dengan pura-pura sedih. Padahal hal itu terjadi karena ulah para kadernya di DPR RI. Memuakkan……

  24. arifah September 28th, 2014 07:42 am Balas

    Terima kasih Pak pencerahannya….di saat komen2 yang simpang siur hanya berisi caci maki, argumen “pokoknya saya benar pihak lain salah” membaca tulisan Bapak jadi alternatif yg mencerahkan.

  25. aryan wirawan September 28th, 2014 08:05 am Balas

    Tulisan yang bagus. Membuka mata.

  26. suyatno September 28th, 2014 08:35 am Balas

    Tepat sekali analisa pak kwik…realita dibawah memang seperti itu………hidup..pak kwik……

  27. ady mourta September 28th, 2014 08:44 am Balas

    Ini baru nama pengamat ekonomi yg bijak dan nasionalis tinggi. Jujur dan low profile. Tks pak kwik, kami tindak menganggap bpk dr kaum minoritas. Kiprah bpk di pemerintahan sudah sangat teruiji.

  28. Rinarfi September 28th, 2014 08:58 am Balas

    Saya sejak dulu tidak suka dengan segala tulisan beliau yg cenderung subyektif dan tidak mencerminkan ketokohan beliau. Maaf ya kalau saya tidak sependapat. Terima kasih.

  29. Endih Herawandih September 28th, 2014 09:13 am Balas

    Pak Kwik yang saya hormati,
    Terima kasih telah memberi pencerahan yang jujur dan terhormat kepada Bangsa Indonesia. Semoga banyak orang yang membaca tulisan Bapak ini dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

    Kebanyakan para politikus dan pejabat publik di Indonesia belum berfikir secara rasional dan teknis, terlebih lagi analisis manfaat dan dampak dari sebuah kebijakan dan program. Saya sependapat dengan Bapak, bahwa membangun sebuah negara itu harus secara jujur mengedepankan manfaat dan dampak positif bagi rakyat secara keseluruhan, bukan bagi sebagian orang.

    Semoga kedepan ada seorang pemimpin yang mampu secara teknis, memiliki kinerja yang dapat diandalkan, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni dalam menyusun, membuat, melaksanakan, mengevaluasi dan mengembangkan lebih lanjut Undang-undang, Peraturan, Kebijakan dan Program secara rasional dan bermanfaat.

    Nampaknya harus ada sebuah gerakan nasional untuk mendukung hal tersebut. Gerakan nasional itu mengedepankan moral berfikir rasional dan dengan niat yang ikhlas untuk mengutamakan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.

    Terima kasih
    Endih Herawandih

  30. Ardiman Ma'as September 28th, 2014 10:09 am Balas

    Padat dan bening.

  31. Bunchai Sengsuria September 28th, 2014 10:35 am Balas

    Pendapat & Analisis dan Pencerahan dari Pak KKG sgt komprehensive…..95% benar (sesuai kenyataan yg berlangsung di lapangan). Top Markotop….Trmkasih

  32. Yap Siauw Soen Gie September 28th, 2014 10:53 am Balas

    Pilpres langsung sedang dalam masa transisi mengapa bukan kelemahannya yang diperbaiki melainkan dihancurkan.

    Kalau Bapak bertanya rakyat yang mana silahkan adakan jajak pendapat yang sudah seharusnya mendahului adanya pengajuan RUU ini.

    Sesuatu yang saat ini berada di tangan Rakyat kemudian diminta sudah seharusnya meminta ijin kepada pemiliknya yang sah. Bukan malah meminta ijin kepada para cecunguk yang bahkan jadi kacung rakyatpun tak pantas.

    Pertanyaan paling mendasar adalah pantaskah anggota DPR/DPRD menyandang predikat “Hikmat Kebijaksanaan”?
    Jawabnya pasti TIDAK karena de facto banyak dari mereka yang memperoleh jabatannya melalui Money Politics.

    Kedua terdapat kata “Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” yang lebih mengacu pada MPR daripada DPR/DPRD.

    Ketiga MEREKA telah mengambil sesuatu hak penting masyarakat yang sedang berada di tangan rakyat tanpa seijin pemiliknya secara langsung melainkan meminta ijin kepada yang katanya wakilnya yang notabene TAK BISA DIPERCAYA.

    Keempat untuk meminta Hak yang sedang berada ditangan Rakyat diperlukan Referendum.

    Kesimpulannya tindakan yang telah mereka lakukan dengan mengesahkan RUU Pilkada barusan adalah INKONSTITUTIONAL.

    Tindakan pengesahan tersebut adalah Kudeta terhadap Kedaulatan Rakyat yang dilakukan oleh Pengusung RUU Pilkada, Para Anggota DPR Fraksi KMP yang men sah kan RUU Pilkada, Para Petinggi Partai KMP, dan para Aktor dibalik layarnya.

  33. Yap Siauw Soen Gie September 28th, 2014 10:54 am Balas

    Ralat bukan Pilpres yang saya maksud melainkan Pilkada

  34. heri.triyanto September 28th, 2014 12:00 pm Balas

    Salah satu analisa yang sangat perlu dibaca dan dipertimbangkan dengan pikiran yang jernih, open mind.

  35. Juanda September 28th, 2014 12:06 pm Balas

    Penyampaian yg sangat mencerahkan hati dan fikiran.

  36. riza September 28th, 2014 12:30 pm Balas

    Pilkada langsung lebih buanyak mudharatnya. tolong direnungkan kembali kepada teman yang sudah klik dengan Pilkada langsung

  37. Bambang Dono Kuncoro September 28th, 2014 13:15 pm Balas

    Setiap pilkada, birokarasi terbelah. saling curiga. Sesama birokrat menduga hati rekannya : you temen atawa musuh kita. Seolah jadi ayat suci, bahwa memilih kubu non inkumben adalah upaya makar. Lalu setelah pilkada, kada terpilih mengadakan pembersihan etnis. Pejabat simpatisan kubu lawan dimutasi ke posisi pinggiran. Pada kasus Kab Magelang baru2 ini, malah ada pejabat eselon 3 turun menjadi eselon 4 (entah aturan mana yang dipakai). Sebuah upaya perusakan kinerja birokrasi dan penjegalan terhadap upaya peningkatan pelayanan publik, karena pejabat potensialnya diganti dengan yang patuh. Efek seperti ini amat niscaya akan terjadi setiap 5 tahun sekali dengan sistem pilkada langsung.

  38. iwan September 28th, 2014 13:40 pm Balas

    Sy setuju pemikiran kwik,sebab itu memang kenyataan,knpa masykt kog belum pinter 2 ,mulai dulu kita ini di bodohi terus, coba dibayngkn klu pilkada lsng apa untung bgi sya sebagai rkyt, kampnye aja yg rugi rakyt,yg bentrok rkyt, yg korbn rakyt, makany sekarng sudah saatnya DPRD membuktikan kinerjabya

  39. Usman Y Tantu September 28th, 2014 13:40 pm Balas

    Terima kasih pencerahan dari pa kwik……

  40. Usman Y Tantu September 28th, 2014 13:42 pm Balas

    Terima kasih, pencerahannya pa kwik…..

  41. Zakir Haq September 28th, 2014 13:53 pm Balas

    Kami cinta negeri ini. Kami tidak ingin negeri ini jd arena perebutan kekuasaan yg mengedepankan pencitraan dan mengabaikan kerja nyata. Betapa banyak rakyat yg telah sedemikian tersesatkan oleh beragam pencitraan baik yg sebenarnya hanya kepura-puraan. Kalau kita ingin brsuara, ingin suara kita didengar karena mmg berbobot, maka silahkan sekolah yg tinggi, aktif dlm organisasi, dan jadilah org besar yg dikenal karena karya dan sumbangsih pemikirannya. Ketika telah membuktikan itu, barulah kita layak untuk memilih dan menentukan arah yg terbaik bagi negeri ini. Itulah salah satu problem negeri ini. Yg pintar banyak tetapi lebih banyak lagi yg hanya bisa berkoar-koar kosong tp tidak berkompeten sama sekali. Mari kita jujur pada diri sendiri.

  42. Indah Wulansari September 28th, 2014 13:59 pm Balas

    Tks utk tulisanny P Kwik… Smg yg mmbaca bs mndptkn pencerahan & tdk asal menghujat

  43. Giri Suryanto September 28th, 2014 14:03 pm Balas

    Semestinya siapapun warga RI berhak jadi pemimpin, yang diperlukan sebenarnya hanyalah perangkat kriteria yang detail utk jadi seorang pemimpin yg dipersiapkan dari sekarang perangkatnya oleh lembaga apapun yang berwenang terutama dari DPR karena berkaitan dengan undang2. Jadi tidak seperti saat ini terus dadakan sehingga pemilihan pemimpin apakah anggota DPRD , DPR maupun pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur ataupun Presiden , dari pihak partai banyak aturan yang diabaikan akhirnya banyak kita tonton yang sangat memalukan , apakah DPRD, DPR, Bupati, Walikota, Gubernur ataupun Presiden
    Maaf utk Anggota Legislatif yg terpilih kemarin juga banyak masalah kan ? apalagi yg nggak terpilih. Nah Orang2 yg masalah ini juga nantinya jadi penentu terpilihnya seorang pemimpin.
    Apapun metodenya yang terpenting adalah undang2 kriteria utk jadi seorang pemimpin secara detail itu yang harus disusun, sehingga kalau ada yg tidak masuk kriteria langsung tidak diusulkan. Pastinya akan tersaring benar2 pemimpin2 yg ideal utk semua lembaga ke depannya.
    Maaf yg saat ini rasa2nya partai yg ajukan asal comot saja, contohnya ponakan saya yg tidak pernah tahu tentang partai tahu2 diminta utk dijadikan calon jadi kualitas macam apa yg bisa diharapkan ke depan.
    Lebih baik DPR segera menyusun kriteria yg ideal utk pemimpin bangsa ini ke depan, mungkin 2019 nanti baru bisa kita dapati pemilu yg Pemimpin sesuai dengan kriteria.
    Saatnya utk tidak mencela yg sudah terjadi, tapi saatnya memperbaiki semua yg sudah terjadi …. semoga ke depan lebih baik…..

  44. darby jusbar salim September 28th, 2014 14:15 pm Balas

    PEMILIHAN LANGSUNG : MERAMPAS DAULAT EKONOMI MASYARAKAT

    Dengan disahkannya UU Pilkada kemarin ini, dimana hasil voting memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilakukan Melalui DPRD, banyak pihak yang mengatakan disahkannya UU Pilkada tersebut berarti telah “merampok hak kedaulatan rakyat”. Pernyataan kasar tersebut sebenarnya tidak perlu terlontar apabila hal ini dilakukan dengan pehaman yang mendalam tentang Demokrasi itu sendiri. Saat ini ada kecenderungan yang menyimpangkan pengertian Demokrasi, yang hanya diterjemahkan untuk Penegakkan Kedaulatan Rakyat dalam Bidang Politik saja yang dimanifestasikan dalam bentuk Pemilihan Langsung. Dengan dimenangkannya opsi Pemilihan Kepala Daerah dengan Pemilihan Melalui DPRD, dianggap telah meruntuhkan kedaulatan politik rakyat. Apakah memang demikian ?

    Coba kita merujuk kepada pendapat Bung Hatta sebagai Dwi Tunggal Proklamator negeri ini yang juga langsung terlibat dalam proses penyusunan Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan naskah aslinya menjelang masa-masa kemerdekaan. Dalam bukunya yang berjudul “Pancasila Jalan Yang Lurus”, secara gamblang beliau menyatakan bahwa pada dasarnya Demokrasi itu menyangkut Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi. Keduanya merupakan kaki dari Demokrasi itu sendiri.

    Merujuk kepada uraian Bung Hatta, tampak bahwa kedaulatan rakyat yang harus ditegakkan bukan hanya kedaulatan Politik akan tetapi juga Kedaulatan Ekonomi secara seimbang. Yang menjadi persoalan selama era reformasi, masalah kedaulatan ekonomi ini lah yang tidak pernah disinggung sebagai bagian dari penegakkan Demokrasi, oleh pihak-pihak yang begitu ngotot mengatakan bahwa pemilihan langsung sebagai satu-satunya cara memilih pemimpin yang paling baik.

    Kalau kita mau jujur, bahwa Demokrasi dan penegakkan kedaulatan rakyat di negeri ini sejak era Reformasi, berjalan sangat timpang, dengan jarak kesenjangan yang begitu jauh antara upaya penengakkan daulat politik dengan daulat ekonomi. Dalam bidang ekonomi, masyarakat kita semakin tertinggal, kemiskinan begitu luas meruyak dimana-mana. Saat ini saja ada sekitar 32 juta Kepala Keluarga Petani dengan kepemilikan lahan rata-rata 0,3 Ha per keluarga. Bila dalam setahun mengalami musim tanam 2 kali, dengan produktifitas sekitar 4 ton beras per Ha, dengan harga jual Rp. 8.000 per kg, maka rata-rata penghasilan per keluarga petani rata-rata per bulan hanya sekitar Rp. 1.600.000,- artinya per hari sekitar Rp. 53.000. Kalau lah setiap keluarga petani beranggotakan 3 orang saja, maka per orang penghasilannya per hari hanya sekitar Rp. 17.500 atau sekitar USD 1.5. Demikian halnya dengan upah buruh yang secara nasional rata-rata berada pada angka Rp. 1.600.000 per bulan. Artinya nasib buruh yang jumlahnya sekitar 20 juta orang itu, setara dengan kondisi petani kita yang tiap orangnya memiliki penghasilan rata-rata USD 1.5 per hari. Bandingkan dengan batasan kemiskinan sebagaimana rumusan Bank Dunia. Keluarga miskin adalah keluarga yang pendapatannya per hari per orang di bawah USD 2. Jadi paling tidak ada sekitar 50 juta keluarga yang kehidupannya dalam skala miskin, baik dari kalangan petani dan buruh. Belum lagi kalangan Pengusaha Kecil/mikro di sektor perdagangan, industri kecil/kerajinan dan jasa yang jumlahnya sekitar 23 juta kepala keluarga.
    Kita coba bandingkan dengan kondisi petani di masa sebelum Reformasi. Sampai dengan tahun 1998, kepemilikan lahan di kalangan petani rata-rata sekitar 0,8 Ha per petani. Bila kita assumsikan tingkat produktifitas, harga jual dan nilai tukar yang sama, pendapatan petani pada saat itu sekitar Rp. 4,3 juta per bulan, atau per hari per orang sekitar Rp. 47.400 atau setara USD 4.1. Pada waktu itu memang dirasakan tingkat kemiskinan di kalangan masyarakat pedesaan relatif kecil. Dapat dibuktikan dengan swasembada pangan yang dapat dicapai dari tahun ke tahun.

    Dengan tingkat kehidupan yang demikian sempit itu, apakah mereka memang perduli dengan pola pemilihan yang saat ini diributkan oleh parra elit, yang begitu ngotot memperjuangkan daulat politik, sementara daulat ekonomi masyarakat diabaikan ?

    Kita coba mengacu kepada Teori Kebutuhan. Menurut Abraham Maslow, ada 5 tingkatan kebutuhan manusia, yakni : Kebutuhan Dasar, Kebutuhan Rasa Aman, Kebutuhan Rasa Cinta, Kebutuhan Penghargaan dan Kebutuhan Aktualisasi Diri.
    Dari Teori kebutuhan tersebut, Daulat Ekonomi bagi masyarakat sebenarnya sangat berkaitan dengan Pemenuhan Kebutuhan Dasar. Bila kebutuhan dasar telah terpenuhi, maka akan muncul tuntutan kebutuhan yang lainnya, seperti kebutuhan rasa aman, kebutuhan rasa cinta , dst. Sementara Daulat Politik itu merupakan dorongan kebutuhan yang berada pada tingkat keempat, yakni Kebutuhan Penghargaan. Bagaimana Daulat Politik akan ditegakkan kalau kebutuhan dasar saja belum terpenuhi secara wajar. Bahkan mereka hidup di bawah garis kemiskinan.

    Itu sebabnya, Bung Hatta mengingatkan bahwa Daulat Politik hanya bisa ditegakan apabila Daulat Ekonomi sudah dapat ditegakkan dengan baik di kalangan masyarakat secara keseluruhan.

    Masayarakt yang perutnya setengah lapar, tidak akan pernah berpikir tentang siapa yang akan memimpin mereka, atau lebih rumit lagi, mereka tidak perduli bagaimana proses pemilihan itu sendiri. Buat mereka siapa pun yang memimpin, bagaimana cara memilih pemimpin, hal itu bukan masalah yang urgent. Yang sangat urgent bagi mereka adalah bagaimana harga BBM murah, bagaimana harga sembako murah, bagaimana harga pupuk murah dan mudah didapat, bagaimana harga bibit murah dan mudah didapat, bagaimana mereka dapat memasarkan produk yang dihasilkannya dengan harga yang wajar, bagaimana mereka dapat menyekolahkan anak-anaknya sehingga mereka dapat menempuh pendidikan yang wajar. Pada dasarnya yang mereka pentingkan adalah, pemimpin itu adalah yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
    Realitas yang dihadapi masyarakat saat ini adalah kemiskinan yang semakin membelit kehidupannya, dan mereka tidak mudah untuk mendapatkan akses ke sumberdaya dalam upaya peningkatan kesejahteraannya. Harga BBM demikian tinggi, bahkan pemerintah yang akan datang cenderung akan menaikkannya lagi, harga pupuk mahal dan susah didapat, bahkan cenderung di atas kemampuan keekonomian usaha mereka, harga bibit mahal dan susah pula di dapat, harga jual produknya juga rendah karena pemerintah pada saat yang sama terus mengimpor produk sejenis dari negara tetangga dengan harga yang lebih murah (walau kualitasnya lebih rendah sekalipun). Keadaan seperti ini yang semakin menjepit kehidupan mereka. Daulat Politik yang hendak ditegakkan, tidak disertai dengan kebijakan dalam penegakan Daulat Ekonomi. Di bidang ekonomi, Pemerintah sejak era reformasi, bersikap sangat-sangat liberal, menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar. Hal ini lah yang menjepit kehidupan masyarakat lapisan bawah. Bagi masyarakat lapisan bawah dan pedesaan, mereka tidak perduli mau pemilihan langsung atau tidak langsung. Mereka perduli bagaimana pemerintah ini dapat membawa program yang dapat segera meningkatkan kesejahteraan mereka.

    Oleh karenanya, buat apa pemilihan langsung dilakukan bila hal ini tidak mensejahterakan rakyat. Demikian besar anggaran pemerintah yang digunakan hanya untuk memuaskan syahwat segelintir elit, hanya untuk mengikuti nafsu “atas nama demokrasi”. Demokrasi seperti apa sebenarnya yang akan kita terapkan ? pemilihan langsung, dengan sejumlah dana yang diboroskan demikian besar, sementara rakyat semakin miskin. Apakah demokrasi yang seperti ini yang ingin dicapai hanya untuk “atas nama demokrasi”.

    Tentu untuk berdemokrasi itu, ada alternatif lain yang dapat ditempuh. Proses demokrasi dapat berjalan dengan baik yang dibarengi dengan penghematan anggaran pemerintah. Salah satu cara demokrasi dalam pemilihan Kepala Daerah yang pernah kita lakukan adalah Pemilihan Yang Dilakukan melalui Perwakilan, yakni melalui DPRD. Ini sah dan tidak melanggar Konstitusi, apalagi kalau dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli, sebagaimana spirit yang dibawa oleh Para Pendiri Negeri ini. Dan hal ini sesuai dengan pemahaman terhadap Pancasila. Bahwa Pancasila itu dipahami bukan satu per satu sila dari 5 sila yang ada. Pemahaman terhadap Pencasila, adalah pemaham yang integrated, dimana satu sila dengan sila yang lainnya saling berkaitan, menjadi satu, berjalin berkelindan.

    Selama selama sepuluh tahun dilaksanakannya pemilihan langsung, tingkat partisispasi masyarakat di daerah-daerah hanya berkisar antara 50-60% saja. Artinya apa ? sudah terjadi pemborosan anggaran sebesar 40-50%, karena persiapan yang dilakukan oleh Lembaga Pemilihan Umum tentu 100%. Bila dilakukan Pemilihan Melalui Perwakilan DPRD, maka banyak anggaran yang dapat dihemat, selain anggaran untuk pelaksanan pemilihan itu sendiri, maka biaya kelembagaan baik untuk KPU beserta turunannnya di daerah, Bawaslu beserta turunannya di daerah, akan jauh lebih mengecil. Selain itu pula, pada saat pemilihan dilakukan para calon tersebut tidak perlu membuang-buang uang untuk menyiapkan berbagai media kampanye yang secara langsung merupakan material yang terbuang. Dengan demikian tidak ada uang yang terbuang secara mubazir. Sebahagian kita terlalu mengagung-agungkan Demokrasi dengan Pemilihan Langsung, tapi pada sisi yang lain apakah perduli dengan nasib rakyat yang Daulat Ekonominya tidak pernah terpikirkan ? Apakah mereka perduli begitu banyak anggaran yang terbuang dengan percuma ? Hanya atas nama demokrasi kita menjadi bangsa yang mubazir dan tidak bersyukur atas nikmat dan karunia dari Allah Yang Maha Kuasa. Seharusnya negeri ini dapat berlaku lebih hemat, sebahagian anggaran yang tidak seharusnya dikeluarkan tersebut yang cenderung mubazir, dapat digunakan untuk mendorong perekonomian rakyat, sehingga upaya untuk menegakkan Daulat Ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan cara yang benar. Kita rasakan selama era reformasi, pilihan kebijakan pemerintah yang melepaskannya kepada mekanisme pasar, telah meyudutkan nasib rakyat, telah menurunkan harkat dan martabat mereka sebagai warganegara, karena deraan kemiskinan dan tingkat kesejahteran yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Daulat Ekonomi telah direnggut dan dirampas hanya karena atas nama “demokrasi politik” yang begitu diagungkan sebagai pilihan yang paling benar dalam menata negeri ini

    Sebagai negara besar yang miskin, mungkin kita menjadi bahan tertawaan di kalangan masyarakat di luar. Negara Miskin tapi kalangan elit dan tokoh-tokoh masyarakatnya begitu sombong, selalu berbuat hal-hal yang mubazir, hanya untuk dan atas nama demokrasi, yang sebenarnya punya pilihan dan alternatif lain.

    Semua pihak seharusnya jujur melihat masalah ini, bahwa Demokrasi Politik sebagai Daulat Politik Rakyat, tidak bisa ditegakkan tanpa adanya Daulat Ekonomi masyarakatnya. Bagaimana masyarakat bisa berpikir tentang Demokrasi Politik bila pada saat yang sama kebutuhan dasar mereka saja jauh dari terpenuhi.

    Bagi para elit di negeri ini, baik Tokoh Partai, Tokoh Masyarakat, LSM dll, yang begitu mengagungkan “Pemilihan Langsung” sebagai Panglima Demokrasi, apakah pada saat yang sama pernah berpikir tetang nasib masyarakat yang semakin miskin, terjepit oleh liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah selama Reformasi ini. Apakah mereka pernah berpikir bahwa masyarakat kehidupannya semakin terjepit ditengah penguasaan berbagai sumber-sumber daya oleh kalangan kapitalis dan kalangan bermodal di negeri ini, sehingga masyarakat sendiri sulit bergerak dan bernafas ? Apakah mereka pernah berpikir untuk menegakkan Daulat Ekonomi bagi masyarakat ?

    Jangan bicara masalah Daulat Politik kalau belum bisa menegakka Daulat Ekonomi. Tegaknya Daulat Ekonomi adalah sisi yang dapat memperkuat tegaknya Daulat Politik. Orang dalam keadaan kelaparan dan kekurangan, sulit untuk bicara politik, karena yang mereka pikirkan adalah bagaimana pada tahap pertama dapat memenuhi kebutuhan dasar bagi mereka dan keluarganya. Ini sesuai dengan Teori Motivasi Maslow. Bila Kebutuhan Dasar telah terpenuhi, maka tuntutan kebutuhan itu akan meningkat, tuntutan kebutuhan yang lainnya akan muncul dengan sendirinya. Begitu pula halnya dengan tuntutan kebutuhan akan Daulat Politik. Politik bukan segala-galanya, akan tetapi Ekonomi menyangkut keberlangsungan kehidupannya sebagai seorang manusia.

    Jadi sangat tidak pantas kalau kalangan atau pihak-pihak yang mendukung Pemilihan Langsung menyatakan bahwa UU Pilpres yang baru, yang menetapkan Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD, berarti telah “Merampok Hak Politik Rakyat”. Ini cara berpikir yang terbalik. Justru yang terjadi saat ini, Pemilihan Langsung sebagai upaya menegakkan Daulat Politik Rakyat justru telah “Merampas dan Mengabaikan Daulat Ekonomi Masyarakat sebagai Kebutuhan Yang Paling Dasar”.

    Hendaknya para Elit, Tokoh Masyarakat dan Para Elit berfikir lebih jernih. Semua yang dilakukan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bila rakyat belum sejahtera dan mengalami kemunduran, artinya ada yang salah dalam system politik negeri ini sepanjang era Reformasi. Bukankah kalau kita masih termasuk orang-orang yang mau berpikir, seharusnya mampu untuk melakukan koreksi total terhadap system politik ini. Tegakkan Daulat Ekonomi masyarakat, karena ini merupakan kebutuhan dasar. Pada saat Daulat Ekonomi telah dapat ditegakkan, pada saat itulah Rakyat Dapat diajak berpikir untuk menegakkan Daulat Politiknya. Jangan karena didorong nafsu pantang terkalahkan, pada saat kalah voting walaupun proses voting ini telah menjadi kesepakatan, lalu kekalahan ini dijadikan sebagai bahan untuk menyerang pihak lainnya, dengan melontarkan seolah-olah yang dilakukan oleh pihak lainnya bertentangan dengan UU dan telah melawan aspirasi rakyat. Jangan nama rakyat terus menerus dijadikan sebagai tameng, hanya karena hawa nafsu pantang terkalahkan tersebut. Perlu diingat, saat ini masih banyak masyarakat yang makan nasi aking, masih banyak masyarakat yang hanya makan satu kali sehari, masih banyak masyarakat yang tidak mampu membeli beras. Apakah Demokrasi Politik seperti ini yang ingin kita gapai ? Jangan jadikan negeri ini berisi elit-elit yang senang akan kemubaziran. Ingat, mubazir itu dekat dengan perbuatan syaitan.

    Pemilihan Tidak Langsung adalah opsi yang sangat halal untuk ditempuh, tidak melanggar Konstitusi. Bahkan sangat cocok dengan Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan naskah aslinya sebagaimana disusun oleh para Pendiri Negeri ini. Dan juga dapat mencegah kemubaziran sehingga dapat lebih mampu untuk menegakkan Daulat Ekonomi Rakyat. Teori Motivasi Maslow ini jangan dibalik-balik. Teori ini kan tetap masih kita percayai dan masih dapat kita gunakan sebagai referensi dalam memanajemeni negeri ini, sepanjang para Ellit dan Tokoh Politik kita belum mampu membangun Teori Motivasi Sendiri sesuai dengan kemaunnya sendiri.

    Dengan Pemilihan Tidak Langsung ini, kita tidak menambah beban pemikiran bagi saudara-saudara kita di pedesaan sehingga mereka akan dapat lebih fokus untuk mengurus usahanya, agar dapat mencapai tingkat kesejahteraan dan taraf hidup yang wajar. Mungkin pada suatu saat, pemilihan langsung dapat digunakan lagi, manakala Daulat Ekonomi masyarakat telah tegak dengan benar. (Darby Jusbar Salim, 28092014, Penggiat Gerakan Koperasi dan Micro Finance Institution).

  45. rachmat September 28th, 2014 14:26 pm Balas

    Sebuah analisis yang jujur

  46. Arnold KB September 28th, 2014 16:14 pm Balas

    Kosiderans: Jika memang RUU pilkada ini diajukan oleh pemerintah SBY untuk menggantikan UU No 22 tahun 2007, barangkali perlu dikaji secara mendalam makna Pilkada langsung dalam keutuhan pemahaman terhadap demokrasi. Pertanyaan kritis yang patut diajukan adalah apakah relevansi Pilkada langsung oleh rakyat terhadap lemahnya integrasi/keutuhan bangsa atau maraknya KKN? Adalah hipotetikal statemen yang perlu diuji terlebih soal kontribusi pilkada langsung terhadap keutuhan NKRI. Bukankah masyarakat Papua merasa lebih terhormat ikut memilih bupatinya dari pada harta kekayaan mereka dirampas secara sepihak oleh Jakarta? Setuju bahwa korupsi itu persoalannya lebih complicated dari pada Pilkada itu sendiri, dan ketidakmampuan kita dalam kontrol korupsi tidak ditimpakan sebagai kelemahan pilkada langsung. Jika pemerintah, kemendagri tak mampu mengontrol KKN, mestinya kemendagri mengembangkan perangkat kontrol yg lebih baik, bukan mengembanglikan hak pilih bupati/walikota kepada segelintir orang yang telah menggadaikan harta dan harga diri untuk memiliki hak istimewa tersebut.

    Hak rakyat yang dirampas: pertanyaan vital yang perlu diajukan adalah apakah 226 anggota DPR yg vote utk pilkada lewat DPR itu mewakili suara konstituentnya? Berapa % suara rakyat yang memilih anggota DPR yang tergabung dalam KMP yang menyatakn setuju bahwa hak mereka untuk memilih bupati/wali kota diserahkan kepada DPRD? Bukankah justeru rakyat yang memilih anggota DPR itu sendiri yang menyatakan haknya dirampas oleh orang yg mereka pilih sebagai wakilnya di DPR? Menyoal partisipasi rakyat berapa % dan apa motifnya? Partisipasi yg rendah pada pileg dpr pusat memang harus diakui rendah karena harapan rakyat yg diletakan dipundak para wakilnya itu tak pernah terwujud. Rakyat merasa frustasi karena sikap/perilaku anggota DPR pusat yg tidur waktu sidang dan ikutan berkorupsi. Kekecewaan rakyat itu demikian parahnya sehingga rakyat hanya mau berpartisipasi jika mendapatkan sesuatu sebagai imbalan terhadap suaranya yg dibutuhkan oleh si wakil rakyat. Maka transaksi vote for something given itu mestinya lebih dilihat sebagai sikap korektif rakyat terhadap wakil rakyat, bukan sebaliknya rakyat dituding sebagai orang yang hanya mau vote karena uang. Besarnya angka golput itu adalah cerminan betapa hak rakyat itu hanya digunakan sekedar kumpulan angka untuk memenuhi kriteria jumlah suara utk sebuah kursi terhormat yang diduduki oleh wakil rakyat yg tak pernah tahu harapan pemilihnya.

    Jika memang pemerintah SBY sejak awalnya berniat mengembalikan pemilihan bupati/wali kota ke tangan DPRD karena ketidakmampuannya mengontrol pemerintah daerah kabupaten/wali kota yang semakin banyak dan beragam kondisinya, maka mestinya pemerintahan SBY sendiri harusnya secara obyektif, jujur sejak awal menyatakan ketidakmampuan pemerintah pusat tersebut. Jika rakyat mengambil sikap ekstrim untuk tidak vote bagi anggota DPR pusat, lalu apa yg terjadi di negeri ini?

  47. Dien September 28th, 2014 16:29 pm Balas

    Kenyataannya pengesahan UU Pilkada ini terjadi setelah rakyat dengan sukses memilih JKWJK sebagai pemimpin masa depan walaupun porsi koalisi pendukung JKWJK di DPR lebih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa peta kekuasaan di DPR tidak berpengaruh terhadap kemenangan capres dan cawapres. Artinya, rakyat sudah bisa menentukan siapa pemimpin pilihannya walaupun hasilnya masih belum bisa diprediksi.

    Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan (ala warkop) bahwa di masa yang akan datang, rakyat yang sudah semakin cerdas akan mampu memilih pemimpinnya dengan cara Pilkada langsung di daerah, terlepas dari peta kekuasaan yang ada di DPRD daerah tersebut.

    Dengan Pilkada oleh DPRD, pemilik suara terbanyak di legislatif bisa dengan mudahnya memilih pemimpin daerah yang pro dengan koalisi terbanyak, bukan lagi yang pro rakyat. Jadi wajar kalau rakyat yang kepercayaannya pada politik sudah lama pudar dan mulai tumbuh melihat hasi Pilpres 2014 menjadi khawatir.

    Momentum ini yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki pilkada langsung ke depan, bukannya malah menghilangkan suara rakyat dalam menentukan pemimpin di daerahnya masing-masing.

  48. www.tekun.info September 28th, 2014 17:15 pm Balas

    tidak ada yang salah n benar untuk langsung n tidak langsung. .basic demokrasi adalah perwakilan..dan kesepakatan.

  49. suhardi September 28th, 2014 17:19 pm Balas

    pak, mohon izin share untuk memperkuat wacana pada petisi online http://www.change.org ke MK untuk memperkuat UU PILKADA.

  50. Wibowo September 28th, 2014 20:33 pm Balas

    Saya tinggal di kota Yogyakarta. Setelah Reformasi saya mengalami 3 kali pemilihan kepala daerah (walikota). Yang pertama adalah hasil pilihan oleh DPRD, yang terpilih adalah bpk Herry Zudianto yang penilaian rakyat adalah sangat bagus kinerjanya dengan hasil yang nyata, hanya media (nasional) kurang menyoroti. Pemilihan kedua sudah langsung oleh rakyat, saya tidak memilih karena sedang bertugas sebagai tenaga kesehatan haji di Arab Saudi. Namun pemilihan langsung tersebut tidak menyisakan suara yang banyak untuk rival beliau, karena hasil nyata yang telah dicapai. Untuk yang ketiga saya tidak tertarik untuk ikut memilih, karena tetap saja saya tidak tahu orang/karakter yang saya pilih. Hasilnya sekarang jauh dari apa yang dicapai oleh walikota sebelumnya. Kesimpulannya tidak ada alasan untuk mengatakan pilihan langsung lebih baik dari pada pilihan oleh DPRD. Untuk dua hal yang sama2 baik atau sama2 tidak baik, adalah jauh lebih baik memilih yang jauh lebih murah, karena dalam hal ini uang negara yang dihemat sangat besar. Kalau tentang politik uang, tinggal tugaskan KPK untuk mengawasi anggota Dewan bila terjadi politik uang. Kalau untuk pilhan langsung akan jauh lebih sulit diawasi. Terima Kasih

  51. Herman September 28th, 2014 20:40 pm Balas

    Sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalahkan kalau pemilihan kepala daerah dipilih oleh wakil Rakyat dalam hal ini DPR/ DPRD, kalau ( Hanya Kalau ) anggota DPR/DPRD yang ada memperjuangkan rakyat. Kenyataan yang ada sekarang yg saya liat anggota DPR hanya mementingkan dirinya sendiri atau partainya (mungkin 95 %).

  52. Anshori September 28th, 2014 21:27 pm Balas

    Trimakasih untuk pembelajaran singkat yg insyaAllah berguna bagi saya pribadi dan mudah2an berguna untuk semua yg membaca dan terlepas dari dukung apa dan siapa

  53. Suzana Widiastuti September 28th, 2014 21:48 pm Balas

    Bukankah yang ditakuti itu ada di paragraf terakhir: “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Dengan kualitas wakil rakyat seperti itu, pantaskah kita minta mereka memilih kepala daerah, dan apakah calon independen masih berpeluang? Skenario yang umum terbayang adalah: Budak Rakyat (saya nggak mau pakai istilah Wakil Rakyat) itu punya sapi perah baru (= calon kepala daerah) yang bisa diperah untuk beaya penebusan SK yang digadaikan.

    Demokrasi itu mahal harganya. Saya yakin rakyat akan semakin cerdas, apabila rakyat diberi kesempatan.

    Pilkada langsung atau tidak langsung, punya sisi positif dan negatif. Namun melihat kenyataan Budak Rakyat yang hanya mementingkan Partai dan Golongan, melihat mereka tukang tidur saat sidang, melihat mereka yang doyan korupsi seperti pernyataan KPK, untuk sekarang saya memilih jangan cabut suara langsung dari rakyat.

    Dan Bapak tidak membahas skenario yang lebih besar: jangan-jangan, nanti Presiden kembali dipilih oleh MPR. Kembalilah kita ke jaman Orba.

  54. Andrian September 28th, 2014 21:54 pm Balas

    Pak Kwik Kian Gie yang baik, bapak menulis rakyat belum kompeten memilih dalam pilkada langsung …
    Pak Kwik, musuh dari perkembangan negara kita itu bukanlah kebodohan, tapi apatisme, ketidak pedulian. Dulu di awal saya golput pak, cuma tiga pilihan dan saya ga tau sama sekali. Keluarga saya PNS, jadi hanya bisa milih Golkar. Jadi buat apa milih wong udah tau hasilnya bakal kayak gimana.
    Pak Kwik, Setidaknya buat saya, pilkada langsung ini membuat saya lebih peduli dan I can make a difference. Contohnya waktu foke, saya menulis bahwa pilgub DKI 2012 kemarin membawa harapan kalau anda gak becus anda bisa dipecat rakyat. Dan it feel good pak, menang melawan status quo.
    Pak Kwik, seharusnya sih melihat pekerjaan dan rentang tanggung jawab saya, saya bukan termasuk rakyat yang belum kompeten. Saya rasa saya cukup pintar. Dan dengan sedikit demi sedikit, karena saya dan teman2 peduli, Dan karena mulai banyak yang peduli negara gak bisa seenaknya lagi.
    Karena itu pak, keterlibatan rakyat itu mutlak adanya. Dan Pilkada DPRD itu memotong keterlibatan saya. Gak perlu kaya 98 pak buat kami untuk terlibat. Kami bisa menolong negara ini dengan voting out all of those incompetent bastard !
    By the way, tulisan saya ini referring ke paragraf berikut ya pak :
    “Demokrasi, walaupun sistem perwakilan membutuhkan rakyat yang sudah cukup pendidikan dan pengetahuannya. Marilah kita sangat jujur terhadap diri sendiri. Apakah bagian terbesar dari rakyat Indonesia sudah cukup pendidikannya ? Para calon presiden sendiri mengemukakan betapa tertinggalnya bagian terbesar dari rakyat kita dalam bidang pendidikan yang dijadikan fokus dari platformnya. Berbicara soal pilkada langsung rakyat digambarkan sebagai yang sudah sangat kompeten menjadi pemilih yang sangat bertanggung jawab.”

  55. tommy September 28th, 2014 22:04 pm Balas

    Terima kasih banyak atas ilmunya Pak. Saya juga hobi menulis Pak, tapi baru untuk tingkat media massa lokal. Salam hormat dari saya. Tommy TRD (PNS Pemko Padang)

  56. Baron Basuning September 28th, 2014 22:51 pm Balas

    Tulisan diatas sangat memberikan pencerahan……Teruskan bersuara Pak Kwik utk kebenaran dan keadilan……salam.

  57. Riza Noer Arfani September 28th, 2014 22:59 pm Balas

    Pandangan Pak Kwik yang sangat tajam, sejernih kristal, seperti biasanya. Salut! Sekali lagi Pak Kwik menunjukkan bagaimana kita musti bersikap “fair”, sekalipun itu artinya berlawanan dengan opini umum yang tengah digandrungi…

  58. Hendro Wartatmo September 28th, 2014 23:13 pm Balas

    Sebagai orang awam, saya buta politik. Pilkada langsung dan lewat DPRD hasilnya sama, boleh jadi benar. Yang saya rasakan kurang pas itu adalah prosesnya, dan skenario yang sudah dirancang dengan cara tak langsung itu.

  59. Yanti Astrisia September 28th, 2014 23:33 pm Balas

    Pencerahan tentang Demokrasi yang memang tidka akan pernah mutlak, terkadang euforia Demikrasi yang kebablasan memunculkan Raja-raja kecil di daerah yang mengurus daerah dengan tidak Profesional, semaunya saja. Sehingga kecurangan kecurangan penyelenggaraan Pemerjntah daerah dapat kita saksikan bersama, maka opsi pilkada melalui DPRD disamping bisa hemat anggaran juga lebih elegan dan bermartabat, hanya saja sistemnya juga perlu pembenahan supaya tidak bisa jual beli suara di parlemen. Dan pencalonannya juga bisa meminta masukan dari Rakyat melalui jalur partai atau ormas yang nantinya akan disaring lagi.

  60. dedi September 29th, 2014 00:25 am Balas

    pak Kwik, saya salut pada anda, anda rasional, anda negarwan indonesia. sayang di negeri ini terlalu banyak orang kotor yang takut memakai orang bersih yang berani dan rasional serta pintar seperti anda.

    pertanyaan saya pada anda, kenapa anda tidak pernah tegas dimana anda berdiri?

  61. muhammad hakim September 29th, 2014 02:12 am Balas

    saya senang bisa membaca artikel ini. saya cuma bisa bilang, bahwa dari sekian banyak elit partai, mantan pejabat, mantan menteri, pak Kwik Kian Gie termasuk yang tetap konsisten.. apa yang dikatakan saat sebelum menjabat, saat menjabat, dan sesudah menjabat.. soalnya pak, ada tokoh, sebelum jadi menteri berkata begini, setelah jadi menteri malah tindakannya kebalikan dari omongannya sebelum jadi menteri, eh saat sudah lengser lain lagi…..

    harapan saya, semoga tetap konsisten dan amanah ya pak…

  62. iwan setiadi September 29th, 2014 04:32 am Balas

    Setuju gak setuju pak kwik saya sudah terlanjur apatis dengan politik dan pemerintahan. Bagi saya orang kecil yang penting bagaimana hari ini dan kedepan saya bisa menjalani hidup dengan tenang.

  63. triofa September 29th, 2014 08:19 am Balas

    Efek pilkada langsung dengan menyebar uang kepada konstituen agar terpilih sama halnya mengajari “halalnya praktek korup kepada masyarakat….!”

  64. novry simanjuntak September 29th, 2014 08:36 am Balas

    cukup jernih

  65. Musap September 29th, 2014 08:49 am Balas

    Paparan bagus dan netral. Saya menunggu terus tulisan bermutu dari Pak Kwik. Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala, dipuja-puja bangsa.

  66. gunawan September 29th, 2014 09:05 am Balas

    Pengertian sederhana saya sebagai rakyat :

    1. Rakyat yang memilih langsung, DPR yang mengawasi .

  67. yanto r.sumantri September 29th, 2014 09:28 am Balas

    Pak Kwik

    ian besar Untuk sebagSaya sependapat dengan Anda , mmang BK tidak pernh menganjurkan pemilihan langsung ,
    Hal mana (anehnya) malahan dibantah oleh putrinya sendiri yang gembar gembor sebagai penerus politik BK. Aneh kan !!!

    yrs

  68. David September 29th, 2014 09:30 am Balas

    Saya setuju dengan pemikiran Bpk mengenai pilkada langsung atw tidak langsung. Pilkada langsung membuat kepala daerah harus mengeluarkan modal yang banyak agar dia bisa terpilih, banyakny terjadi politik uang pada saat pilkada. Tidak bisa dipungkiri politik uang sangat menentukan seorang kepala daerah bisa memenangi proses pilkada yang menguras isi kantong kepala daerah terpilih, yang mengakibatkan motif balik modal banyak terjadi

  69. meril September 29th, 2014 09:54 am Balas

    Permasalahan yang paling mendasar pada Negara kita adalah mental akhlak.

    Jabatan menjadi sumber utk mengeruk kekayaan dan uang.

    Diteropong dari sudut ini, baik pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung masing-masing punya sisi negatifnya.

    Tetapi…..

    Pilkada langsung bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yg unggul, berkarakter, punya integritas yg tinggi dan mau berdedikasi utk rakyat dan bangsa, contohnya: Jokowi, Ahok, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Walikota bandung Ridwan Kamil, Walikota Bogor Bima Arya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dll, yg menjadi motivator bagi tampilnya kandidat-kandidat pemimpin lain yg berkualitas dan berintegrasi tinggi yg mau peduli bagi bangsanya.

    Dalam pilkada langsung, pemimpin yg terpilih mustahil untuk dikendalikan/diperas oleh pemilihnya. Wong pemilihnya jutaan, bagaimana caranya…..
    paling mereka memperkaya diri sendiri seperti dalam beberapa kasus, tetapi itu terpulang kepada pribadi pemimpin itu sendiri.

    Sisi buruk dari pemilihan tidak langsung adalah mematikan timbulnya/tumbuhnya pemimpin-pemimpin yg berkualitas spt contoh di atas. Seumur jabatannya dia hanya menjadi sapi perahan DPRD yg memilihnya. Gak bisa mbalelo kepada DPRD, kalau tidak akan dimakzulkan. Gak berani mengeluarkan kebijakan-kebijakan yg ber-oposisi dari DPRD dan institusi di atasnya, sekalipun itu sangat bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak. Dan, tidak mungkin orang-orang tanpa dukungan DPRD dapat menduduki jabatan sebagai pemimpin daerah, sekalipun dia sangat bagus. Unsur SARA akan sangat kental dan dominan dalam pemilihan oleh DPRD.

    Pilkada langsung telah menjadi shortcut utk menerobos kebuntuan lahirnya pemimpin-pemimpin yg berkualitas, dikarenakan kebobrokan regim dan birokrasi yg ada.

    Indonesia kembali ke zaman orba, dimana hanya satu orang yg menentukan segala sesuatu dan kroni-kroni nya yg diangkat dalam setiap lini di pemerintahan.

    RIP Demokrasi Indonesia…

    Welcome back democrazy ala orba….

    Shame by you SBY… 

    meril

  70. Black7 September 29th, 2014 10:27 am Balas

    Yap saya setuju pak! Bpk sangat brilian,tentang pilkada. Bpk org cina pribumi tp tdk seperti james riady yg menghisap negri kita! Sy jg saluut dg pembelaan bpk. Sy juluki bpk The Condor of Heroes..

  71. Sual September 29th, 2014 11:01 am Balas

    Ada beberapa catatan dari saya soal tulisan bapak. Untuk lebih terangnya posisi saya, saya akan beritahu dulu bahwa saya pendukung pilkada langsung. Yang pertama soal 47% pemilih yg memilih Prabowo yang bapak katakan juga bagian dari rakyat, sampai disini saya menerima. Tetapi jika dengan mudah disebut 47% ini mendukung pilkada oleh DPRD saya tidak setuju. Kita mesti survey dulu pendapat mereka apakah masih mendukung Prabowo setelah kalah dan bermanuver dg politik dia di DPR sekarang. Saya punya teman2 yang mendukung Prabowo di suasana pemilu tapi berbalik menentang KMP ini soal UU Pilkada.

    Soal yang kedua, SK anggota DPR yang digadaikan oleh anggota DPR untuk penambal biaya Pilkada yang bapak katakan efek buruk Pilkada. Di satu sisi memang iya, tapi jadi tidak masuk akal kalau kita mendukung UU Pilkada hanya karna SK DPR. karna yang ber ulah adalah anggota DPR, bukan kepala daerah. Jadi kalau menuruti logika ini yang mesti dibubarkan adalah Pemilihan DPRnya bukan pemilihan kepala daerahnya…

  72. Mira September 29th, 2014 11:27 am Balas

    Setuju banget Pak..
    Jd yg msh ngotot blg suara rakyat di rampas, entah rakyat bagian mana.

  73. MULYADI September 29th, 2014 11:47 am Balas

    Mencoba berfikir positif dan objektif,jujur pada diri sendiri, menjadi pembelajar agar proses demokrasi di Indonesia lebih baik,…jangan mengkultuskan seorang tokoh selalu benar sehingga dibela mati-matian mengalahkan akal sehat….

  74. Oei sudirman September 29th, 2014 12:44 pm Balas

    Tepat sekali pendapat pak Kwik !! Saya muak dengan pendapat pro pilkada langsung yg mengatas namakan “rakyat”, menurut saya pilkada langsung membuat para cukong , pemilik modal dan media serta pelaku politik berkomplot sehingga melahirkan produk pemimpin model jokowi/ahok y menurut saya penuh pencitraan……Hitungan bodoh saja , anggap saja pilkada langsung ataupun via DPRD sama sama ada aspek negatif dan positifnya, nah yg mana yg lbh efekif dan efisien? dari sisi biaya saja sdh jelas pilkada via dprd lebih hemat biayanya, belum pula potensi konflik horizontal yg timbul akibat pilkada langsung ini. Yg jelas menurut saya , demokrasi kita sudah KEBLABASAN, boleh dikatakan sdh terlalu LIBERAL dan tidak sesuai dgn makna Demokrasi Pancasila yg sesuai dengan karakter budaya bangsa indonesia.

  75. maryana September 29th, 2014 12:48 pm Balas

    mencerahkan pandangan yang sudah mulai gelap

  76. Adi Wibowo September 29th, 2014 12:56 pm Balas

    Saya selalu tertarik dengan tulisan Pak Kwik. Tulisan Bapak selalu berbeda dengan pemikiran saya. Mohon Bapak memaklumi, dari SD sampai kuliah saya selalu belajar teori-teori barat. Semoga semua ini bisa menambah wawasan dan cara pandang saya. Selamat berkarya dan saya menunggu tulisan Bapak.

  77. Dyah Sujiati September 29th, 2014 13:08 pm Balas

    Sepakat pak!

  78. Pensword September 29th, 2014 15:10 pm Balas

    Deskripsi yang menarik dan komprehensif, memberikan gambaran yang jelas dengan latar belakang fakta dan sejarah. Sebuah karya yang patut menjadi patokan dalam pembahasan topik RUU Pilkada, Salut!

  79. towi September 29th, 2014 15:20 pm Balas

    Tulisan ini wajib di muat di harian seluruh Indonesia dan di bacakan oleh seluruh stasiun TV

  80. toto purwanto SH September 29th, 2014 15:23 pm Balas

    Saya sependapat dengan Bp. Kwik kian Gie. sangat benar sekali paparan artikel Bapak, saya pun heran kenapa sih sekarang ini seluruh media tidak memberikan pengertian yang profesional tentang kerugian maupun keuntungan antara Pilakada Langsung maupun Tidak langsung. Tetapi justru (Maaf) saya menilai lebih kearah provokasi dan menghakimi (Trial by de press) . Intrik, Fitnah, Agitasi & segala rekayasa untuk memperoleh dalih pembenaran begitu mudah diucapkan secara terang-terangan. Saya juga tahu dengan mata kepala sendiri, bagaimana money politik terang-terangan dalam PILEG,PILKADA maupun PILGUB, bahkan sampai terjadi konflik antar kelompok dalam satu kampung gara-gara Pilkada maupun PILEG. saya juga tahu para PNS yang jadi korban karena tidak mendukung calon ataupun incamben lalu di non job kan. tetapi kenapa ekses-ekses ini tidak pernah diwartakan dimedia massa maupun media elektronik. Bahkan para senator senayan itu beramai-baramai bungkam..!!!

  81. darmawan September 29th, 2014 15:51 pm Balas

    Saya pernah mendapat informasi dari beberapa kepala dinas di beberapa daerah.
    Umumnya mereka mengeluh saat menghadapi pilkada di daerahnya. Keluhan tersebut terutama pada keharusan merekan menentukan calon mana yang harus didukung. Para kepala dinas tersebut harus mendukung salah satu calon, tidak bisa bersikap netral. Salah menetapkan dukungan atau bersikap netral, taruhannya jabatan siap-siap hilang pada periode berikutnya.

    Dukungan yang diberikan mau tidak mau berasal dari anggaran yang dikelola oleh masing-masing dinas yang mereka pimpin. Maka tidak heran ada penyimpangan dana bansos yang sering menjadi penyebab kepala daerah ditangkap KPK atau kejaksaan. Dampak lain dari pemberian dukungan ini ialah pada terganggunya kinerja pembangunan di daerah, karena seringkali pelaksanaan kegiatan diarahkan pada basis pendukung salah satu calon yang belum tentu sesuai dengan kriteria dari kegiatan yang dilaksanakan.

  82. Maswal Noor September 29th, 2014 16:10 pm Balas

    Pilkada langsung sangat-sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat yang heterogen di Indonesia (multi SARA), ini dihembuskan secara halus dengan dalih pembenaran dalam era demokrasi pilkada langsung saat ini, karena untuk Indonesia, sekutu barat (asing) tdk perlu menjajah dengan mempersenjatai diri dengan peralatan perang seperti halnya di Timteng, cukup dengan politik devide et impera melalui pilkada langsung yang dipastikan akan terjadinya perpecahan antar rakyat Indonesia nantinya dan dipastikan tidak dapat membangun alias jalan ditempat. Argumentasinya sejarah telah membuktikan bahwa pada waktu penjajah Belanda melakukan strategi politik ini dan telah mereka buktikan sebagai salah satu strategi yang jitu untuk menguasai Indonesia…”Melawan lupa”…

  83. Diana September 29th, 2014 17:45 pm Balas

    Sangat obyektif dan kritis…inilah salah anak bangsa minoritas yang peduli terhadap bangsanya

  84. Kang Edoy September 29th, 2014 19:29 pm Balas

    terima kasih pak sudah memberi pencerahan ttng keributan yg terjadi saat ini. mudah²an tulisan bapak ini, bukan cuma saya yg baca, tp mereka yg belum paham maksudnya pun musti baca.

  85. JSuparman September 29th, 2014 21:24 pm Balas

    Antiklimax.
    Hiks …
    Teranyata SEJUMLAH OKNUM legislatif DPR jaman pemilihan langsung yg masih hangat korsinya inipun mempermalukan rakyat yg diwakilinya dgn cara menggadaikan SK Pengangkatan.
    Bank kok mau beri pinjaman? Woles Bro, Bank itu Profesional, apa saja yg bisa bikin untung dijalankan.
    Singkatnya, pak Kwik yg di awal tulisan sudah meng-gebu2 membela kelebihan Pilkada Langsung oleh rakyat (sesuai keyakinannya), kaget & menyerah / WO dari tugas melanjutkan penyampaian data2 pendukung, karena merasa kalah telak oleh FAKTA KORAN KOMPAS pagi hari itu. Knocked Out.

  86. Sonny Ogawa September 29th, 2014 22:13 pm Balas

    Saya setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD.

    menurut saya banyak negara-negara di dunia menggunakan dua sistem pemerintahan, yaitu parlementer atau presidensial.

    Negara-negara Eropa, India, Malaysia, Singapura, Jepang, Australia dan lain-lain misalnya melakukan pemilihan langsung oleh rakyat hanya satu kali, yakni saat memilih anggota parlemen. Setelah itu, anggota parlemenlah yang memilih perdana menteri sebagai kepala pemerintah, presiden sebagai kepala negara, gubernur atau walikota.

    Sedangkan sistem presidential dapat dilihat seperti di Amerika Serikat. Di AS, pemilihan presiden saja tidak langsung oleh rakyat dengan sistem one man one vote, melainkan melalui perwakilan.

    Demikian negara-negara maju dan hampir sebagian besar negara menggunakan sistem perwakilan. bahwa tidak benar bila dikatakan Pilkada via DPRD itu merampas hak rakyat dan membuat demokrasi di Indonesia Mundur.

    Penjelasan ini juga untuk menyamakan dulu persepsi tentang definisi demokrasi, juga tentang siapa rakyat yang dimaksud oleh sebagian orang agar tidak asal bunnyi dan terkesan sotoy. Jadi, Pilkada via DPRD yang sudah diputuskan oleh DPR, tidak berarti Demokrasi kita mundur

  87. ai ichiro September 29th, 2014 22:33 pm Balas

    kalo yang ini argumennya bisa dikritik dari dua aspek: pertama asumsi yang digunakan terlalu bersifat material… coba cek di paragraf 11 yang tentang argumen mahal… agak naif aja argumen ini soalnya argumen ini cenderung menafikkan adanya nilai immaterial seperti adanya kepercayaan kepada masyarakat untuk lebih jauh mengenal sekaligus kepercayaan untuk menentukan secara langsung siapa yang akan dia pilih sebagai pelayannya…

    argumen kedua ada pada isu legitimasi pada lembaga legislatif yang ada… seolah2 partai yang ada sudah cukup legitimatif untuk mewakili semua aspirasi rakyat… gimana sama orang yang sebenernya mau berpolitik aktif tapi ga percaya sama partai? emang banyak? kalo dari hasil rekap KPU 2014 ternyata cukup banyak: 133 juta – 125 juta (jumlah suara sah pemilu pilpres – jumlah suara sah pileg) = ada sekitar 8 juta orang… somehow ane percaya itu cuma angka puncak gunung es aja… 8 juta ini WNI yang punya hak asasi dalam bidang politik lho… mau dineglect begitu aja? DPRD dan lembaga legislatif lainnya sampai saat ini mungkin belum bisa dipercaya karena ga ada porsi untuk wakil rakyat independen yang ga terikat sama partai… mungkin kalo struktur lembaga legislatif bisa memberi ruang untuk rakyat yang gak berpartai, atau setidaknya partai dan lembaga legislatif yang ada sudah punya sistem yang memaksa mereka transparan dalam hal rekrutmen, suksesi, legislasi dan anggaran bisa lah dipertimbangkan untuk pilkada yang dilakukan oleh lembaga legislatif…

  88. made inayah September 30th, 2014 07:54 am Balas

    pak kwik, dalam pilihan kepala desa di tempat saya setelah para botoh (tim sukses) memetakan calon pemilih jagonya langkah berikutnya adalah merembuk berapa jumlah uang yang akan diberikan kepada pemilih supaya mereka mau berangkat nyoblos dan memilih jagonya, sdg visi misi; program kerja calon sepertinya dibuat sekedar utk sarat administrasi saja

  89. Erawan Sutirto September 30th, 2014 09:00 am Balas

    Kenapa kita bertengkar perihal pilkada langsung dan pilkada DPRD ? Keduanya hanyalah sistem pilkada yang dibuat dan direkayasa oleh orang cq. politikus. Baik buruknya sistem sangat dipengaruhi orang yang melaksanakan sister tersebut. Bila dilaksanakan oleh orang orang yang bersifat korup, kedua sistem akan menghasilkan hal yang sama dan serupa yaitu para koruptor.
    Lebih baik kita kritisi revolusi mental Jokowi-JK karena revolusi punya konotasi “kekerasan” dan “cepat” untuk mendapatkan momentumnya. Sedangkan mental hanya bisa dirubah dengan pendidikan dan pelatihan yang memerlukan waktu relatif panjang dan tanpa disertai kekerasan

  90. helmi Alkaf September 30th, 2014 09:30 am Balas

    Ini namanya saran yang benar-benar objektif tanpa memihak kepada kedua belah pihak, dimana yangbenar dikatakan yang salah dikatakan salah.

  91. Frans September 30th, 2014 09:34 am Balas

    Dear pak Kwik yang saya hormati.

    Saya cukup sedih membaca tulisan bapak ini. Saya tidak akan berkomentar mengenai kinerja Jokowi di Jakarta, karena akan sangat meluas pembahasannya. Mari kita fokus di Pilkada.
    Saya adalah salah satu dari sekian juta rakyat pendukung Pilkada Langsung.
    Pertama-tama, momen pengangkatan permasalahan Pilkada ini sangatlah aneh dan terkesan “dipaksakan” yaitu pasca kalahnya Prabowo dalam Pilpres, juga pada akhir masa jabatan DPR-RI.
    Kedua, pengusung-nya juga adalah Tim Koalisi yang notabene dibangun oleh peserta pilpres yang kalah.
    Ketiga, permasalahan saya adalah esensi-nya. Dikatakan 303 pemimpin daerah ditangkap karena korupsi dijadikan salah satu acuannya. Pernahkah bapak pertimbangkan 3600 anggota DPRD yang ditangkap korupsi? Seandainya sebelumnya sudah ada KPK, maka saya yakin sekali bakal banyak juga pejabat yang ditangkap karena korupsi walaupun dipilih oleh DPRD.
    Keempat, masalah pertanggung jawaban. Apabila Pilkada Langsung, maka pejabat terpilih memiliki “hutang tanggung jawab” pada rakyat, yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan. Dibanding dengan Dewan yang hanya segelintir orang yang belum tentu mengutamakan rakyat (karena kontrol dilakukan oleh partai)
    Kelima, Biaya Politik yang besar. Menurut Bpk. Yusril, diperkirakan seorang Kepala Daerah agar terpilih mengahibskan biaya sekitar 35 Milyar. Pertanyaannya apakah biaya segitu diserap oleh pemimpin daerah sendiri? Saya yakin ada dukungan partai di belakangnya. Bandingkan dengan “membeli suara” DPRD, di mana pemenang Pileg juga menghabiskan dana sekitar 500 juta – 2Milyar per orang untuk duduk di kursi parlemen. Berapa lagi yang harus dikeluarkan, bahkan hanya untuk membeli 50% + 1? Bayangkan saja ketika dilantik menjadi anggota DPRD, mereka langsung menggadaikan SK-nya.
    Keenam dampaknya psikologis, pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat memiliki “hutang tanggung jawab” pada masyarakat, sehingga produk kinerja yang dihasilkan bermanfaat dan dapat dipertanggung jawabkan pada rakyat, dibandingkan dengan melalui DPRD, di mana hanya cukup “memuaskan” 50%+1 anggota dewan.
    Ketujuh, ini adalah “pendidikan politik” bagi masyarakat. Seandainya pun tingkat pendidikan masyarakat minim, tapi dengan adanya media informasi yang baik maka mereka akan membandingkan kinerja kepala daerah di tempat lain dengan di tempatnya. Dan karena mereka memilih langsung, mereka bisa menuntut peningkatan kinerja oleh pejabatnya.

    Mungkin ini hanya sedikit dari pandangan saya. Mohon maaf saya haturkan apabila ada kesalahan kata. Bagi saya, ini hanyalah diskusi kebangsaan. Penutup saya ingin mengutip frasa:

    Power tends to corrupt – sehingga bagaimanapun proses pemilihannya sebetulnya tidak menjamin pemimpin itu tidak korup. Yang penting adalah pengawasannya. Anda bisa membungkam dewan yang berisi beberapa orang, bagaimana anda bisa membungkanm rakyat?

    vox populi vox dei

  92. Agus Riyanto September 30th, 2014 13:09 pm Balas

    Bukan pemilihan langsung anggota DPRD/DPR yang menjadikan korup dan atau menggadaikan SK pengangkatannya. Menurut saya karena:
    1. Mental individu tersebut yang kurang memiliki akhlak mulia dan kesadaran berpolitiknya yang rendah sebagai dirinya yang mewakili rakyat.
    2. Kaderisasi di Parpol yang tidak jalan sehingga manusia itu2 saja yg jadi pengurus dan maju menjadi caleg.
    3. Pengurus2 parpol jugalah yang memulai rekrutmen caleg atas dasar syarat sejumlah uang dengan berbagai alasan.
    4. Pengurus parpol jugalah yang mesyaratkan “mahar” agar seseorang bisa dicalonkan menjadi calon kepala daerah melalui parpol.
    5. Tidak ada transparansi dan penegakan hukum bagi para pelaku politik kotor semacam tersebut poin 3&4.
    Maka tidaklah mengherankan kalo pada akhirnya mereka menjabat menjadi Maling untuk mengembalikan modal yang besar untuk duduk di posisi jabatan polotik.

    Salam hormat,
    Agus Riyanto
    yang baru belajar melek politik.

  93. Livinus September 30th, 2014 13:21 pm Balas

    Pak Kwik, Salam Hormat dan Salam Kenal.

    Saya ada beberapa pertanyaan untuk kesimpulan Bapak di paragraf terakhir:

    “Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22 September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperolh kredit dari berbagai bank.” Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan.”

    - Mohon maaf, bukankah DPRD yang seperti itu dipilih dari PILEG, bukan PILKADA (Langsung)?
    - Apa pertimbangan Bapak ketika menyarankan DPRD (yang menggadaikan surat pelantikannya untuk memperoleh kredit dari bank) lebih tepat untuk mewakili rakyat untuk memilih Pimpinan mereka?
    - Bukankah justru karena alasan yang sama (DPRD saat ini, yang Bapak sebut memalukan), membuat PILKADA LANGSUNG jauh lebih relevan saat ini ketimbang diwakilkan oleh wakil yang seperti itu?

    Terima kasih.

  94. johanes September 30th, 2014 13:36 pm Balas

    Dear pak Kwik,
    saya membaca tulisan mengenai kontroversi pilkada pendapat pak kwik dengan antusias.
    dari tulisan tersebut ada beberapa point yang saya kurang sependapat dengan pak kwik. Ijinkan saya mengemukakan pendapat saya.

    yang pertama mengenai kinerja jokowi dan ahok sebagai gubernur.
    Kalau saya lihat dari kacamata pak kwik kinerja mereka kurang baik (mengenai anggaran pembangunan yang terserap, dll). tapi dari kacamata saya sebagai masyarakat awam saya melihat cukup banyak perubahan selama 2 tahun mereka di jakarta. salah satu nya waduk pluit, rio2, tanah abang,perbaikan jalan yang lebih berkualitas, MRT, dll. daerah yang kumuh selama puluhan tahun dan tidak ada gubernur yang mengurus nya tapi di tangan mereka berubah menjadi taman yang indah. apalagi kalau mereka bisa melakukan itu hanya dengan 0.01% anggaran. bukankah itu fantastis pak ? sementara gubernur sebelumnya menggunakan lebih banyak anggaran tapi hanya sedikit yang dicapai. dan masih banyak lagi kinerja positif mereka yang tidak saya tulis.

    yang kedua, saya mau mengomentari paragraf yang ini :
    “Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana ? Jumlah rakyat yang ikut Pilpres adalah 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk Prabowo. Jokwi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62 juta suara bukannya nothing. ”
    Pak, pilkada berbeda lho dengan pilpres. yang bapak kemukakan di atas adalah angka untuk pilpres. sedangkan penolakan ini adalah untuk pilkada tidak langsung yang menurut saya rawan KKN karena kepala daerah menjadi punya ‘hutang’ thd DPRD dan rawan menjadi sapi perah DPRD. Perlu bapak ketahui saat memilih parlemen banyak rakyat sebenarnya ‘asal coblos’. mereka tidak tau harus memilih siapa karena tidak tau mereka itu siapa dan bagaimana rekam jejak nya. Saya sendiri tidak memilih caleg samasekali. Jadi kalau dibilang anggota DPR mewakili mayoritas rakyat, saya kurang setuju.

    demikian pendapat saya.
    terima kasih…

    regards,
    johanes

  95. adina September 30th, 2014 14:45 pm Balas

    Terima kasih untuk pencerahannya pa

  96. Demokrasi di Indonesia Mungkin Mau Kita Matikan | Dipa Nugraha September 30th, 2014 14:46 pm Balas

    […] http://kwikkiangie.com/v1/2014/09/kontroversi-tentang-pilkada/ […]

  97. dode September 30th, 2014 17:11 pm Balas

    ok juga.

  98. Basrinuddin Sikki September 30th, 2014 20:14 pm Balas

    kedua sistem Pemilu masing2 punya nilai positif begitu jg sebaliknya, namun yang paling meresahkan adalah pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung dalam kesempatan ini saya ingin menulis beberapa poin yang saya anggap kasus paling meresashkan rakyat
    1. Pemilukada langsung akan meninggalkan rasa sakit hati antara voters yang langsung berimbas pada perselisihan seluruh aspek kehidupan mereka
    2. Pejabat publik yang sering terlibat dengan pemilukada langsung akan ramai-ramai melakukan tindak diskriminasi kepada rakyat tanpa rasa malu, mereka akan menjadikan jabatannya sebagai neraka bagi golongan yang punya pilihan lain dari kehendaknya,
    3. capek kalo ditulis semua

  99. Anwar Wardy September 30th, 2014 21:08 pm Balas

    *awalnya pemekaran | lalu pilkada langsung | berlanjut biasa untuk referendum | berakhir biasa saja untuk memisahkan diri –>(NKRI pecah)
    *semua demi pujian yang disebut negara paling demokrasi sedunia | pilkadalangsung !
    *ironisnya–> | yang dipuji malah menjadi korban | karena demi mengejar pujian | negaranya menjadi pecah belah…//benar kata P’Kwik, dan terus berkata yang benar2…”

  100. faizal hamzah lubis September 30th, 2014 21:19 pm Balas

    saya melihat sentimen yang terjadi pasca pilpres berimbas pada semua aspek. nyatanya ketika pilpres dimenangkan jokowi, megawati yang melakukan konfrensi pers, kemudian BBM ingin dinaikkan oleh tim pemenang pilpres dan meminta pemerintah segera naikkan BBM, apakah sebegitu miskinnya Indonesia yang kaya sumberdaya alam ini, hingga semua ini tak ada yang mencerminkan peduli rakyat. belum lagi pasca pemilihan kepala daerah disetiap daerah hampir 80% tersandung korupsi…. aneh apakah pilkada langsung ini masih membuahkan hasil benar benar pilhan rakyat…. harusnya mekanisme pemilu ini yang dibenahi lagi.

  101. JFK Oktober 1st, 2014 00:02 am Balas

    Kalo membaca sepintas ttg dana yg di keluarkan utk menjadi seorang pejabat sampai ratusan juta ato milyaran apa tidak lebih baek tidak usah menjadi pejabat , daripada menjadi pejabat truss akhirnya korupsi utk mengembalikan modal yg sudah di keluarkan , Apalagi kalo modal dari hutang malah lebih pasti korupsinya , kalo merasa org nya baek pasti dipilih oleh rakyat nya , buat apa harus mengeluarkan uang utk kampanye biar dipilih yg akhirnya ada praktek jual beli suara, saya tidak pintar dlm politik yg saya tau di dlm politik tidak ada yg nama nya kawan ato musuh abadi yg ada kepentingan abadi , kalo secara awam saya lihat waktu pileg barusan minat rakyat utk memilih sangat kurang saya sendiri aja sungkan kalo tdk dtg maka akhirnya saya dtg dan saya cuma coblos partainya saja karena saya tidak kenal dgn org2nya apalagi latar belakangnya , dan pada waktu pilpress semua masyarakat di daerah saya sgt antusias menyambutnya sampai2 mereka tanya kepada anggota Kppps mengenai surat panggilan , padahal waktu saya cek ke bawah menanyakan apa ada uang yg beredar utk suara salah satu pilpres mereka cuma bilang kita ini relawan , dari kejadian ini saya cuma bisa berharap biarlah pilkada tetap seperti semula karena baik buruknya pimpinan dintentukan oleh rakyat jgn oleh sekelompok org saja , kalo tetap ngotot pun lebih baik ini saran saja bagaimana kalo anggota DPR mengeluarkan calon biar rakyat sendiri yg memilihnya mungkin ini lebih adil , sekali lagi saya tidak pintar dlm berpolitik saya cuma secara awam saja memandangnya , dulu saya sgt terkesan n bangga dgn Pak Kwik karena Pak Kwik adalah satu2nya keturunan yg terjun dlm politik sampai akhirnya menjadi seorang mentri dan juga tetap memakai nama Tiong hoa tanpa mengganti nama Indonesia apalagi pada waktu Pak Kwik mengemukakan masalah bbm yg seharusnya cuma kisaran harga 3600 ( kalo gak salah) pertamina sudah untung malahan skr di jual 6500 tapi masih subsidi , saya mestinya pingin Pak Kwik bisa membuktikan teori Pak Kwik ini agar bbm bisa murah dan di mana letak kesalahannya selama ini , terakhir dari saya menurut pandangan saya seorang pejabat adalah org yg mengabdikan dirinya utk kepentingan rakyat tanpa mementingkan dirinya sendiri , org yg mengabdikan dirinya harus tulus dan berjuang demi kepentingan org banyak jadi kasarannya lebih baek pejabat tidak makan daripada rakyat nya sampai tidak bisa makan

    1. JFK Oktober 1st, 2014 00:15 am Balas

      Ini email sya Pak

      1. JFK Oktober 1st, 2014 00:54 am Balas

        Ini kali ke 3 saya salah submit utk comment , intinya deh pak kenapa Pak Kwik lebih suka Pilkada tdk lsg seingat saya pak Kwik pernah bilang ” inilah demokrasi partai pemenang pemilu bloom tentu presidennya dari partai pemenang pemilu karena rakyat yg memilih” tolong di ralat kalo salah , dan juga menurut pandangan saya pejabat kalo tidak di kehendaki tidak usah mencalonkan diri agar tidka keluar uang pada waktu kampanye terus terang saya kecewa ikut pileg , semestinya pejabat adalah org yg mengabdikan dirinya utk rakyat banyak mending pejabatnya yg tdk bisa makan daripada rakyat nya yg tidak bisa makan , kalo sampai rakyat kesusahan berarti pejabatnya yg gak beres , itu menurut saya , dulu saya suka Pak Kwik apalagi mengenai maslah bbm yg pernah di kemukakan mestinya 3500 sudha untung ini malah 6500 masih rugi tapi sampai sekarang saya masih bloom dengar penjelasan mengenai maslah ini , saya lebih suka pilkada lsg pak , saya merasa ikut andil dalam kemajuan negara ini terima kasih pak

  102. Kontroversi tentang pilkada | DPW PPP DKI Jakarta Oktober 1st, 2014 06:27 am Balas

    […] Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan. (kutip : kwikkiangie.com […]

  103. Abdul Khaer Oktober 1st, 2014 09:21 am Balas

    Sangat “Aneh” kalau ada orang yang menggagap “Aneh” Merebaknya Kontroversi UU Pilkada akhir-akhir ini.
    Sangat wajar jika RAKYAT terusik dengan diundangkannya RUU Pilkada yang baru ini.
    Sebagian orang beragumen, hal itu merampas Hak Rakyat. Sebagian yang lain beranggapan hal itu mematikan Demokrasi.
    Para “PENDUKUNG” UU ini dengan entengnya membantah tudingan perampasan Hak Rakyat, dengan pertanyaan klise “RAKYAT YG MANA?”.
    Jokowi Voters (mayoritas) jelas menentang UU ini.
    Non Jokowi Voters ??? Anda yakin, 100% mereka mendukung?? I don’t think so.
    Kalau emang belum yakin juga, cuma REFERENDUM yang bisa menjawabnya.
    Faktanya adalah, Hak Memilih Kepala Daerah sudah terlanjur melekat pada setiap individu (peduli ataupun tidak). Peniadaan HAK itu, jelas merampas kepemilikan seseorang (bersedia ataupun tidak).
    Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD memang diakomodir oleh UU. Tapi sekali lagi, Hak Memilih itu sudah terlanjur melekat pada Rakyat dan itu konstitusional juga. Jadi “NGAPAIN” lagi DPR (KMP) memaksakan diri membuat “KERIBUTAN” di akhir masa tugasnya yg tinggal hitung hari. Di antara sekian banyak Tugas DPR yg berceceran, kenapa UU Pilkada yang dikebut. Kenapa bukan yang lain ????
    RAKYAT belum terusik pada 2011 saat DPR menerima RUU ini, karena masih RUU. RAKYAT masih menaruh harapan bahwa DPR akan mengabaikan RUU ini (sebagaimana terjadi pada banyak RUU). Dan sejak diterimanya RUU itu hingga saat Prabowo dinyatakan KALAH, memang tidak banyak aktifitas yang mengkhawatirkan perihal pembahasan RUU itu. MANGKANYA TIDAK ADA YANG RIBUT.
    Kenapa DPR (KMP) merampungkan pembahasan RUU Pilkada ini setelah Prabowo dinyatakan KALAH. Kenapa tidak dari dulu (sejak 2011).

    Kalau Pilkada Langsung dianggap mahal, DPR (KMP) harus konsekwen, biaya mahal tidak hanya terjadi pada Pilkada. Mereka juga harus mengevaluasi semua hal yang berbiaya mahal, termasuk Operasional DPR utamanya. Kenapa hal itu tidak dilakukan?
    Pilkada Langsung dianggap mahal bagi peserta Pemilu ?? Salah sendiri mereka mengeluarkan uang banyak. Pada dasarnnya mereka MANJA dan tidak kreatif untuk mendapat simpati pemilih. Mereka sudah terbiasa TAU BERES, biar anak buah yang kerja.
    Menjadi Pemenang Pilkada dengan Modal pas-pasan adalah sebuah keniscayaan. Tanya pada RAKYAT, bagamana caranya ???

    Pilkada langsung menghasilkan Pemimpin Korup ??? Pilkada melalui DPR jadi lebih bersih ??? Di sini pokok permasalahannya. RAKYAT masih mendapati bahwa sampai hari ini DPR/D masih jauh dari harapan sebagai WAKIL RAKYAT yang JUJUR, PROFESIONAL, dan AMANAH.
    RAKYAT lebih percaya pada PEMIMPIN pilihan sendiri.
    Para “ORANG PINTAR” menganggap tarap pendidikan RAKYAT masih rendah, hasil pilihannyapun diragukan kualitasnya. HA HA HA.
    Serendah apapun daya pikir RAKYAT, masih lebih mendatangkan MANDAFAAT dibanding DPR/D yang KORUP, TIDAK PROFESIONAL, DAN TIDAK AMANAH (dan belum tentu juga ngarti pekerjaannya). Mereka (mungkin juga Pak Kwik) boleh mentertawakan dan membantah hal itu. Jelas saja. Seperti kata pepatah “Mana ada Maling ngaku” yang ada malah “Maling Teriak Maling”.

  104. bakti eka wahyudi Oktober 1st, 2014 10:27 am Balas

    Pak Kwik,

    Nama saya Bakti dari Kecamatan Sangasanga,Kab.Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pingin ketemu pak kwik, doakan saya smoga ada rejeki lebih dan bisa ketemu langsung dengan pak kwik yg dalam hal ini adalah salah seorang bapak bangsa

    Salam NKRI

  105. wisnu Oktober 1st, 2014 13:01 pm Balas

    pak, itu taun 2007 atau tahun 1997 ya?

  106. Busman Oktober 1st, 2014 14:54 pm Balas

    Setuju pak kwik..mau langsung ataupun tidak langsung yang terpenting adalah bagaimana uang negara ini tidak di korupsi oleh orang orang yang terpilih secara langsung atau pun tidak langsung, atau pun oleh para anggota DPR yang meributkan pilkada langsung atau pun tidak langsung….Saran sy buat RUU hukuman mati utk koruptor atau RUU para Koruptor dihakimi oleh masyarakat saja….

  107. Tukang Sapu Oktober 2nd, 2014 11:07 am Balas

    Bapak Kwik Kian Gie yang saya hormati.

    Tulisan bapak mengenai pilkada saya perhatikan tampak mengambang,

    permasalahan yang bapak asosiasikan dengan pilkada langsung

    sebenarnya permasalahan yang juga terjadi pada pilkada tidak

    langsung.

    Ketimpangan kualitas antara kepala daerah tentu tidak dapat

    diselesaikan baik oleh pilkada langsung maupun tidak langsung,

    dikarenakan akar persoalannya adalah bergitu mengakarnya

    kebudayaan yang korup di masyarakat kita ini sehingga dapat

    dikatakan cukup sulit untuk mendapatkan pemimpin yang

    berkualitas. Hal ini (dalam bentuk dan tingkatan yang berbeda)

    dapat kita perhatikan di dalam kehidupan kita sehari-hari, baik

    di jalan, di lingkungan kerja maupun di lingkungan rumah. Dari

    permasalahan pengguna jalan merampas hak jalan pengguna jalan

    lain, pengguna jalan melawan arah, hingga kebiasaan masyarakat

    dalam membuang sampah sembarangan. Sangat sulit untuk mendapatkan

    sebuah apel yang masih baik diantara kumpulan apel yang sudah

    busuk.

    Bagi saya yang awam politik, saya hanya melihat tujuan dari

    pilihan atau tindakan yang diambil oleh pihak-pihak yang membuat

    keputusan. Apakah tujuannya adalah untuk kepentingan bangsa

    secara umum atau kepentingan golongan/kelompok. Dan saya melihat

    bahwa Undang-undang telah dipermainkan oleh sekelompok orang

    untuk kepentingan golongan/kelompoknya sendiri dengan tujuan

    akhir pada perolehan kekuasaan. Pilkada langsung dipilih saat hal

    itu menguntungkan golongan/kelompoknya dan langsung ditolak saat

    hal tersebut sudah tidak menguntungkan golongan/kelompoknya.

    Sungguh ironis melihat Undang-Undang dapat dipermainkan

    seenaknya, seperti UU pilkada langsung yang dibuat dan dibuang

    oleh rezim yang sama.

    Pilkada tidak langsung tentu akan menghasilkan calon-calon yang

    menguntungkan golongan/kelompok oleh partai-partai politik yang

    mempunyai kursi di DPRD. Dengan diberikannya otoritas absolut

    pada para anggota DPRD dalam pemilihan kepala daerah, saya yakin

    kualitas kepala daerah akan malah makin menurun. Sebelum adanya

    pilkada langsung kita sangat jarang mendengar akan adanya kepala

    daerah yang berprestasi. Dengan diserahkannya hak memilih kepada

    DPRD maka kepala daerah hanya akan menjadi boneka dari partai

    politik pengusung sang kepala daerah.

    Saya pribadi sebenarnya mendukung pilkada tidak langsung karena

    akan lebih efisien baik secara keuangan, birokrasi, maupun waktu,

    namun melihat kenyataan sebagaimana juga bapak tulis didalam

    artikel bapak, “KKN terjadi pada semua aspek kehidupan bangsa

    kita sejak lama, yang semakin lama semakin mendarah daging.

    Bahkan telah merasuk ke dalam otak yang oleh para filosof Yunani

    kuno disebut sudah terjadi corrupted mind pada elit bangsa kita.”

    Maka saya melihat bahwa pilkada langsung adalah the lesser evil

    pada saat ini, dikarenakan adanya pemerataan kekuasaan antara

    badan legislatif dan eksekutif di daerah, sehingga rakyat dapat

    memilih siapa yang akan didukung dalam tarik-menarik pengambilan

    kebijakan umum. Yang mana akan menjadi semacam pengajaran akan

    hak politik bagi masyarakat pada umumnya, bahwa mereka memiliki

    suara yang dapat mereka suarakan tidak hanya lima tahun sekali

    namun juga sepanjang pemerintahan rezim yang telah mereka pilih.

    Sebagai seorang politikus, tentu bapak sangat mahfum betapa

    korupnya mayoritas politikus yang memegang tampuk kekuasaan di

    rumah rakyat selama ini. Jikalau arah gerak bangsa ini disetir

    oleh orang-orang yang korup dan mendapat kekuasaan yang absolut,

    tentu bangsa ini akan terus berada pada lingkaran setan corrupted

    mind.

    Saya sangat setuju dengan poin yang bapak angkat mengenai tingkat

    pendidikan dan pengetahuan masyarakat. Masyarakat Indonesia

    relatif masih rendah pendidikan dan pengetahuannya, terutama

    mengenai hak politik mereka. Dengan digesernya hak politik mereka

    kepada anggota DPRD malah akan merampas akses pendidikan politik

    mereka. Apakah bapak yakin bahwa penyerahan kekuasaan pemilihan

    kepala daerah kepada anggota DPRD yang bahkan punya kemampuan

    untuk menggadaikan surat pelantikannya adalah sesuatu yang tepat.

    Apa lagi yang akan dia gadaikan untuk uang? nasib bangsa ini?

    Selama tingkat kesadaran, pendidikan dan pengetahuan masyarakat

    masih relatif rendah saya melihat bahwa pilkada secara langsung

    walaupun lebih mahal namun merupakan the lesser evil saat ini.

    Sebagai penutup ijinkan saya mengutip satu poin lagi yang sangat

    saya setujui dari tulisan bapak, “Demokrasi, walaupun sistem

    perwakilan membutuhkan rakyat yang sudah cukup pendidikan dan

    pengetahuannya. Marilah kita sangat jujur terhadap diri sendiri.

    Apakah bagian terbesar dari rakyat Indonesia sudah cukup

    pendidikannya ?.”

  108. gito Oktober 3rd, 2014 20:20 pm Balas

    SAYA SELALU CEMAS HANYA SEDIKIT AHLI KITA TI YG MEMBARIPENCERAHAN KEPADA RAKYAT ,,,,,,,, OK

  109. kelyk Oktober 3rd, 2014 21:11 pm Balas

    Salam Hormat,
    Sejak dulu saya menghormati pribadi pak Kwik sebagai pribadi yang memiliki prinsip dalam bernegara. Kritik tajam tidak selalu mengarah pada lawan melainkan sebagai kawan juga tidak segan memberi masukan karena Beliau cinta tanah air ini sebagaimana Soekarno mencintainya.
    Semoga tidak berhenti mencintai pula segenap rakyat yang mungkin tidak sependapat karena ketidaktahuan mereka, keterbatasan ilmu mereka, karena mereka adalah bagian dari kita pula.

  110. ali Oktober 5th, 2014 18:34 pm Balas

    Mencerahkan

  111. Bukan Untuk Rakyat | dimas Oktober 19th, 2014 12:14 pm Balas

    […] Kwik Kian Gie “Di tahun 2011 Pemerintahan SBY mengajukan RUU yang mengembalikan Pilkada kepada DPRD. Secara implisit berarti bahwa setelah 5 tahun memerintah dengan sistem Pilkada langsung dirasakan bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan Pilkada oleh DPRD. […]

  112. KONTROVERSI TENTANG PILKADA « 'nBASIS Oktober 20th, 2014 03:16 am Balas

    […] Sumber: http://kwikkiangie.com/v1/2014/09/kontroversi-tentang-pilkada/ […]

  113. dimas November 19th, 2014 07:41 am Balas

    […] Bersama-sama mengajukan Pilgub via DPR, dan ketika senayan dikuasai KMP kita diminta bergerak bersama mendukung penolakannya [4] […]

  114. KONTROVERSI TENTANG PILKADA | Oleh Kwik Kian Gie | PIYUNGAN ONLINE Desember 6th, 2014 13:19 pm Balas

    […] *sumber: http://kwikkiangie.com/v1/2014/09/kontroversi-tentang-pilkada/ […]

Leave a Reply to Bunchai Sengsuria