'

Kategori

Follow Us!

BENSIN PREMIUM MASIH MENDATANGKAN KELEBIHAN UANG TUNAI

Oleh Kwik Kian Gie

 

Jenis energi banyak, yaitu BBM, BBN, LPG 3 kg., LGV, Batu Bara dsb.

Yang sangat heboh sedang diperdebatkan adalah apakah harga bensin premium dinaikkan atau tidak ? Tulisan ini hanya memaparkan perhitungan bahwa dengan data dan asumsi yang terdapat dalam Nota Keuangan tahun 2015 tenyata Bensin Premium masih mendatangkan kelebihan uang tunai sebesar Rp. 107 trilyun.

Apakah dengan demikian bensin premium tidak perlu dinaikkan harganya ? Itu adalah masalah kebijakan yang dalam tulisan ini tidak saya bahas.

 

PERHITUNGAN SURPLUS DARI JUAL BELI BENSIN PREMIUM ATAS DASAR DATA DARI NOTA KEUANGAN 2015

PENGANTAR

  • Perhitungan ini dibuat hanya untuk bensin Premium saja, karena data dari energi lainnya tidak ada yang rinci.
  • Perhitungan dibuat sangat sederhana dengan maksud hanya untuk mengemukakan Pola Pikir atau Mindset tentang uang tunai yang harus dikeluarkan untuk mengadakan bensin premium, dan uang tunai yang diperoleh dari penjualan bensin premium.
  • Perhitungan dibuat atas dasar asumsi yang termuat dalam Nota Keuangan tahun 2015.

ASUMSI

  • Lifting : 845.000 barrel/hari
  • Hak Indonesia 50 % = 422.500 barrel/hari
    (yang 50% untuk Kontraktor Asing sebagai pembayaran Cost Recovery dll. yang dibayar dalam bentuk natura)
  • 1 barrel = 159 liter
  • Konsumsi bensin Premium : 40 juta kiloliter per tahun.
  • Harga minyak mentah USD 105 per barrel
  • alpha per liter : Rp. 766,4
  • 1 USD = Rp. 11.900

PERHITUNGAN

Konsumsi : 40 juta kiloliter = 251.572.327 barrel/tahun
Lifting hak Indonesia : 422.500 barrel per hari = 154.212.500 barrel/tahun
Harus Impor : =

97.359.827 barrel/tahun
======================

Uang yang harus dikeluarkan : 97.359.827 x 105 x 11.900 = Rp. 122 tr.
alpha untuk minyak mentah ex impor : 97.359.827 x 159 x 766,4 = Rp.   12 tr.
Uang yang harus dikeluarkan untuk mengadakan bensin Premium ex Impor = Rp. 134 tr.
Minyak mentah hak Indonesia 422.500 barrel x 365 =

154.212.500 barrel/tahun = 24.519.787.500 liter/tahun

Uang yang harus dikeluarkan untuk mengadakan bensin Premium ex minyak mentah hak Indonesia sendiri : 766,4 x Rp. 24.519.787.500

= Rp.  19 tr.
TOTAL UANG TUNAI YANG HARUS DIKELUARKAN UNTUK MENGADAKAN 40 JUTA KILOLITER BENSIN PREMIUM =

Rp. 153 tr.

HASIL PENJUALAN 40 JUTA KILOLITER BENSIN PREMIUM 40.000.000.000 x Rp. 6.500 = =

Rp. 260 tr.

KELEBIHAN UANG TUNAI ATAU SURPLUS =

Rp. 107 t.
=========

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

20 responses to "BENSIN PREMIUM MASIH MENDATANGKAN KELEBIHAN UANG TUNAI"

  1. edwin September 2nd, 2014 10:48 am Balas

    Lalu kenapa pemerintah (baru) berniat menaikan BBM klo ternyata kita masih surplus, apakah mereka punya perhitungan yang berbeda dengan pak kwik ?atau ada “modus” tertentu dari pemerintah (baru) ini ? mohon penjelasan.Terima Kasih

  2. zahara September 3rd, 2014 09:13 am Balas

    Hanya bisa menyimak. Ikut berteriakpun belum pernah berhasil.

  3. ibnu mahdi September 4th, 2014 10:34 am Balas

    Pak Kwik saya mau tanya,apakah benar jenis Premium kt di pasar internasional sdh tdk ada yg pakai,makanya kalau di cek kt tdk dpt temukan,krn premium kt adalah special blend yg komposisinya dibuat oleh Petral ,dan itu murah sekali di pasar Internasional,jd sebenarnya di hrg 6500/ltr tampa disubsidipun Pertamina sdh untung,keuntungan berikut subsidi yg sebenarnya masuk utk para pejabat dan pengusaha yg diatur oleh Mafia migas (info ini sy dpt dr org pertamina dan salah satu pengusaha dari luar negri yg pernah suply ke Petral/Pertamina tp mrk tdk mau disebut namanya)

    tks
    Ibnu Mahdi

  4. gilbert hutauruk September 4th, 2014 12:32 pm Balas

    Apakah kita bisa tentukan berapa biaya atau modal untuk 1 liter premium. Bukankah premium itu hasil olahan kilang Pertamina? Yg kita impor bukankah hanya crude saja. Yg membuat mahal itu kan karena Pertamina membeli melalui PETRAL, dan PETRAl mmbeli melalui broker. Belum lagi formulanya tdk sandar dalam dunia perminyakan, yaitu Zatapi (?).

  5. H. Syaiful Rachman P. September 9th, 2014 09:43 am Balas

    Pak Kwik, saya sdh sangat lama simpati, mengikuti, dan sependapat dgn pemikiran2 Bapak. Saya pensiunan Pertamina Ktr Pusat, sbg pegawai utama, skrg tinggal di Tangsel, banyak mengetahui seluk-beluk Pertamina (baik & buruk), dan sdh banyak pemikiran saya yg saya persembahkan kpd Negara melalui Pertamina. Saya meniti karir sejak zaman Dirut Bpk Ibnu Sutowo (1974) hingga pensiun (2008). Saya tdk sempat sekolah tinggi, tetapi saya beruntung karena diberi kesempatan oleh Manajemen dpt berkiprah melampaui pendidikan saya. Saya hanya bermodalkan Kejujuran yg tinggi, Kecerdasan yg dikaruniakan Tuhan, Keberanian yg terukur & terarah, serta keikhlasan berbuat sesuatu. Saya sangat ingin ketemu bertatap muka dgn pak Kwik Kian Gie YTH, untuk menyampaikan pemikiran2, ide2, masukan2 untuk lebih mempertajam pemikiran2 Bapak, yg tentunya dpt berguna bagi kesejahteraan Bangsa Indonesia. Mohon ma’af, dan terimakasih sebelumnya. No. HP saya 0852 8715 6966 (NB: saya akan trm telp bila yg menghubungi memberitahukan identitas via sms terlebih dahulu, ini gunanya utk menghindari orang yg tdk bertanggung jwb)’ Salam hormat saya.

  6. A. Rachman September 16th, 2014 15:36 pm Balas

    Hitungan tsb. sngat rasional secara ekonomi, tapi minyak bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga politik. Jadi barangkali Karen tidak akan hengkang dari Pertamina dengan income yang besar, seandainya minyak benar-benar dikelola secara ekonomi. Seperti KAI yang sekarang dipimpin Jonan membuat prestasi luar biasa, jadi seharusnya kita juga bertanya, memang Direksi sebelumnya kerjanya apa? (kompetensinya, mentalnya dst.)

  7. Alpha September 17th, 2014 12:06 pm Balas

    Kalau begini, bukan subsidy namanya. Nama tepatnya adalah UNTUNG. Maka itu, supaya lebih untung subsidy dihilangkan.

    Memang di satu sisi, subsidy energy memberikan competitive advantage tetapi tidak selamanya. Lebih banyak negative nya daripada positivenya.

    Beberapa negativenya adalah pertama, subsidy energy mendistorsi keadaan ekonomi Indonesia. Subsidy tersebut berbentuk uang. Siapa yang memberikan kita uang tersebut? Rakyat sendiri. Uang yang digunakan untuk mensubsidy diambil dari uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Kedua, subsidy membuat rakyat boros akan energy. Karena rakyat melihat energy murah, otomatis akan bersikap boros dan tidak efisien.

    Positivenya? tidak banyak. salah satunya adalah harga komoditas yang murah. Murah tapi tidak berkualitas. Coba cari barang produksi Indonesia yang murah dan berkualitas? Yang murah banyak.

    Oleh sebab itu, sebaiknya subsidy dihilangkan. Bukan supaya negara tambah untung tetapi supaya rakyat mendapatkan kemakmuran yang abadi. Negara menjadi untung adalah dampak secondary dan jikapun negara untung, artinya rakyatpun untung (asumsi, tidak ada korupsi). Daripada memberikan subsidy, lebih baik uangnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur supaya rakyat bisa beroperasi dengan lebih efisien. Bayangkan jika uangnya digunakan untuk mengurangi kemacetan. Alhasil penggunaan energy berkurang, profit lebih banyak sehingga memberikan pajak yang lebih. Bisa juga uang tersebut digunakan untuk research dan development untuk mencari kompetitif advantage yang lain.

  8. Yulies Anistyowatie September 22nd, 2014 09:35 am Balas

    Pak Kwik, belanja BBM 2015 sebesar 48 juta kl bukan 40 juta kl, sehingga perhitungannya perlu di revisi. Berikut juga tentang bagi hasil 50% itu sumber informasinya darimana dan alfa per liter perlu dijelaskan asal perhitungannya.

  9. Alpha September 23rd, 2014 10:24 am Balas

    Komentar saya kenapa tidak dimuat?

  10. Irfan TH. September 28th, 2014 22:37 pm Balas

    Sebenarnya kalau diserahkan ke mekanisme pasar tidak masalah, duit subsidi bisa untuk membangun. Tapi dampak kenaikan akan menyebabkan penyesuaian harga-harga dan ini akan lebih menyulitkan masyarakat kelas bawah, kalau yang menengah ke atas sih tidak begitu berdampak, karena usaha mereka akan tersesuaikan. Kayaknya yang kental sebagai faktor biangkeroknya adalah politik luar negeri kita. Karena secaraa ekonomi kita tetap dalam intervensi asing, nah inilah yang mungkin membuat presiden baru ngotot mau menaikkan harga BBM, wallohualam bisyawab

  11. Peter September 30th, 2014 11:56 am Balas

    Lha, kan gak 100% minyak mentah bisa diolah menjadi bensin, ada residu (hasil sisanya). Hanya sekitar 40% minyak mentah yang akhirnya jadi bensin.

  12. Pandu POLUAN Oktober 2nd, 2014 15:11 pm Balas

    Pak Kwik Kian Gie, satu kesalahan fatal dalam perhitungan bapak adalah mengubah angka 40 juta kiloliter langsung menjadi jumlah barrel.

    Karena, dari 1 barrel minyak, tidak langsung menghasilkan 1 barrel premium.

    Menurut http://www.eia.gov/tools/faqs/faq.cfm?id=24&t=10 , konversinya rata-rata adalah 42 gallon crude (1 barrel) –> 19 gallon gasoline.

    Itu pun dari 19 gallon gasoline, dijatah-jatah lagi lagi menjadi Premium, Pertamax, Pertamax Plus. Saya ambil angka “optimis” saja, 12 gallon Premium per 1 barrel crude. Atau 45.42 liter Premium per barrel crude.

    Belum lagi, harus menambahkan aditif pada minyak keluaran kilang minyak. Karena minyak keluaran kilang minyak terlalu volatile dan belum bisa untuk motor bakar.

    Saya yakin, “Kelebihan Uang” itu akan langsung menyusut bahkan hilang.

    1. Hery Purwanto Oktober 12th, 2014 10:29 am Balas

      Saya harap pak Kwik bisa lebih menanggapi komentar-komentar yg ada walaupun gak semua. Saya sangat butuh pencerahan utk komentar dari pak Pandu Poluan ini. Tolong tanggapannya pak Kwik.

  13. mjnabhany Oktober 4th, 2014 15:28 pm Balas

    saya pengagum pak kwik dn saya akan tanggapi lebih terperinci. Pendapat bersih pemerintah harus dipotong markting cost /margin spbu dan biaya distrbusi lainnya.
    PPN dan PpKB hanya pengeluaran dari saku kiri masuk kesaku kanan.
    Memang Premium biasa ( subsidi ) yang ON 78 – 80 tidak dipasarkan dibanyak negara (negara maju dan negara tetangga ).

  14. Rudy tan Oktober 8th, 2014 15:31 pm Balas

    Sapinya sdh kehabisan susu sisa tulang belulang,…..jgn jual bahan mentah,explorasi jadikan bbm dan turutannya maka berjayalah tambang kita

  15. QQ Aja November 8th, 2014 14:07 pm Balas

    Pak Kwik , Harga Jual Rp.6.500 apakah semua uangnya masuk ke Pemerintah ? , kan itu harga jual ke masyarakat lewat SPBU , SPBU kan ambil untung juga .

    Terus Biaya Distribusi dari Pertamina ke SPBU dimana di letakkan di perhitungan tsb , emang bensin premium jalan sendiri ke SPBU ?

  16. Mohamad Yahya November 8th, 2014 19:50 pm Balas

    Yth. Pak Kwik,

    Salam hormat dan sejahtera. MERDEKA !! (-masih belum, kan ?!)
    Saya coba turut merespon tulisan anda,
    1. Bensin Premium masih mendatangkan Kelebihan Uang Tunai.
    2. Istilah Subsidi BBM Menyesatkan.. (Art.1)
    3. Mencari Harga BBM Yang Pantas Untuk Rakyat Indonesia.
    4. Kebijakan Harga BBM Bertentangan Dengan Konstitusi dan Sarat Dengan Penyesatan. (Art.2).
    5. Pemerintah Melanggar Konstitusi dalam Kebijakannya Menaikkan Harga BBM. (Art.3 Pelengkap).

    Masalah BBM ini ibarat ranjau yang sudah dengan sengaja disiapkan oleh pemerintahan SBY. Dari mulai HM Soeharto, masalah BBM ini memegang peran yang merepotkan. Semakin jauh, termasuk jaman Pak Kwik sendiri masih aktiv di pemerintahan pernah mengusulkan harga BBM naik dengan memberikan subsidi. Ternyata kerepotan juga, bagaimana agar subsidi ini sampai kepada yang berhak menerima. Sampai pada jaman SBY, ada menteri yang punya ide dengan pemasangan RFID agar para penerima BBM-subsidi dapat dikontrol. Akhirnya menteri Perek SBY lantang dan kencang untuk pemakaian BBG di Jabodetabek. Mana rekam-jejaknya ? SPBG-nya saja belum siap, dan converter-kitnya juga belum disiapkan. Jika angkutan umum harus menggunakan BBG, maka siapa yang membayar harga converter-kit ini ? Dari Negara? Uang terhambur lagi, karena harganya tidak bisa dikatakan murah (-untuk pengadaan Kit ini bila mau digratiskan).
    Menteri Perekonomian (-yang galak mau BBG) juga hilang begitu saja ditelan pemilu.

    Baru saja pelantikan Kabinet-Kerja tgl 26.Oktober; tgl 27.Oktober sudah ada tagihan dari ARB (-Bossnya Golkar) agar JKW-JK dalam 100 hari sudah menetapkan harga BBM. Sementara IMM-Lampung mengancam, jika harga BBM naik mereka akan menggelar Demo menurunkan JKW-JK.
    Beginilah semangat instant. Sedangkan pepatah orang bijak mengatakan “Roma tidak dibangun dalam 1 malam”. Tentunya hal ini, menyangkut kedua-belah pihak – yang di-demo dan yang men-demo ! Sedangkan orang Indonesia banyak kaum yang “pendek-ingatan”, tidak berkesinambungan ! Masalah BLBI, masalah bank Century, masalah Hambalang, masalah Lapindo dan lain lain. Sudah tuntas-kah ? Instant begini ini yang susah. Proklamasi dahulu, bukan 1-2 hari menjelang 17 Agustus 1945, melainkan sudah dibahas dan dipersiapkan dari tahun 1928 (Hari Sumpah Pemuda), bahkan jauh sebelumnya, sebelum kita sendiri lahir.

    Khusus mengenai harga BBM ini, banyak sekali faktor-faktor atau alasan yang perlu dicermati. Susahnya, karena pemerintah sudah seperti kehilangan akal, juga kehilangan keberanian. Sudah takut tidak dipercaya, sedangkan rakyat menunggu penjelasan yang baik dan benar. “Dimanusiakan” rakyat itu apa yang menjadi hambatan, jangan ada bohong, ajak rakyat itu ber-gotong royong, di “manusia”-kan seutuhnya. Jangan untuk tambal-butuh saja. Selama ini bila ada penjelasan dari pemerintah, konotasinya adalah suatu pembohongan / penipuan !

    Seharusnya masa pemerintahan SBY hal ini bisa diatasi dengan baik, bila tidak terlalu beraktivitas diluar kebutuhan rakyat. Apa saja yang ditanda-tangani dengan luar-negeri, hasilnya tidak jelas untuk rakyat Indonesia; bahkan kehilangan banyak lahan ekonomis yang diserobot oleh pendatang asing. Masuk MEA (Masyarakat Ekonomi Asean !), NAFTA , Visa Bebas (-khususnya Asean). Semuanya bakal “terbuka”. Lebih dahsyat dari pada Kompeni(V.O.C). Seluruh sektor akan dilahap habis, dan menyisakan yang tidak dimauinya. Sekolah Internasional, Rumah Sakit Internasional, Transportasi(-darat-laut-udara), Perdagangan, Perkebunan, Perikanan (-darat-laut) . . . . . . . . . . akhirnya PEMERINTAHAN. Tidak bisa langsung ? Gampang, lewat kunyuk-kunyuk konyol yang dibawah komando asing.
    Ini ada cerita selingan sedikit, tetapi dijamin benar dan nyata.
    “Saya punya seorang kenalan yang berbisnis anggrek, menyemai-membesarkan dan melayani pesanan. Untuk bisnis orang-orang pemerintah, ini kecil. Berbisnis macam dia ini mana bakalan cukup untuk hobby yang tidak keruan dan bermewah-ria. . Turn-capital dia sekitar 100-400 juta rupiah saja, lahannya tak lebih dari 300 meter persegi. Namanya sudah dikenal oleh para pecinta dan pebisnis anggrek. Dianggap berhasil. Dia diminta untuk mengisi acara dalam rangka memasyarakatkan agribisnis anggrek ini, agar memberi gambaran dan rangsangan bagi pemodal/pemula.

    Dia menolak dengan halus. Bukan karena tidak mau menularkan ilmunya, melainkan dia takut trend budidaya/bisnis anggrek ini kedepannya. Dia cerita, kalau China(RRC) saat ini juga memulai budi daya anggrek . Diceritakannya , RRC ini luas sekali dan panduduknya amat sangat banyak. Kerja apa saja yang mungkin, akan mereka lakukan. Saat ini pemerintah (-sebagai motor dan inspirator nya) telah mengerahkan secara besar-besaran untuk budidaya anggrek ini, dengan meyakinkan bahwa prospeknya bagus.
    Itu sebabnya kenalanku tadi tidak bersedia untuk melobby para pemula. Biayanya besar, perlu ketelatenan dan ketekunan. Hasil berproduksi, masih menanti hasil pemasaran. Dia sendiri juga galau, karena 5 tahun kedepan, bagaimana menghadapi pesaing seperti RRC yang telah menanganinya dengan serba kolosal.”

    Dia kasihan jika banyak orang ikutan (-budaya di Indonesia, latah-instan dan nyontoh/niron). Juga MALU, kendati namanya bakal terkenal sebagai Bapak-Anggrek Indonesia ! Begitulah gambaran dari kenalanku yang rakyat biasa. Ada rasa kasihan, ada rasa malu dan ada pandangan kedepan(- F u t u r e ) bagaimana “pasar” diserbu produk asing untuk barang yang sama. Itu contohnya orang yang punya visi, akal dan hati. Dia tidak punya misi, karena rakyat biasa selainnya misi sebagai manusia se-utuhnya. Taruhannya akherat saja !

    Jika menanggulangi BBM; era SBY adalah paling ideal menyelesaikannya demi bangsa dan Negara. Bagaimana tidak ?! SBY adalah mantan Mentamben. Doctor Agribisnis (-untuk menanggulangi pertanian), dan akhir eranya masih dapat Professor. Mau Professor atau tidak, apa manusianya itu tidak berpikir ala professor? Apa nunggu ada gelar saja, sayang terlambat. Menurut saya, untuk dapat gelaran tersebut harusnya sudah di-analisa jauh-jauh sebelumnya. Jadi sosok bersangkutan sudah “berkriteria” professor(-tidak resmi). Diberi gelar ataupun tidak, itu cuma menunggu soal waktu saja. Di jaman SBY, juga tidak kepalang kandang. Menteri Perekonomiannya adalah ex.men Ristek, ex. Men Sekneg dan ex.Men Hub. Kemudian menjadi Menko Perekonomian. Dunia sudah ditangan, pengalaman lapangan lebih dari cukup, ditambah lagi disiplin ilmunya adalah Pertambangan/Perminyakan. Inipun dari studi beneran bukan gelar kehormatan !! Tinggal Niat dan Misinya mau bagaimana, kendati . . . . . . . . . .“t a n p a V i s i”.

    Analisa/kalkulasi harga premium versi Pak Kwik, dengan perlu apa tidaknya dilakukan subsidi bolehlah digunakan untuk pencerahan; agar rakyat tidak terus saja ditipu/dibohongi oleh pemerintah dengan bahasa-bahasa yang diperhalus. Kalkulasi Pak Kwik dari sudut pandang ekonomi saja. Masih diperlukan faktor-faktor efisiensi, jenis-jenis minyak mentahnya, dimana setiap lubang sumur menghasilkan jenis minyak berbeda komposisi, meskipun rata-rata minyak mentah Indonesia dari jenis heavy crude oil.
    Yang bisa disedot dari perut bumi Indonesia saat ini ca.850.000 liter/hari. (sedangkan pada jaman HMS, ca.1.3-1.5 juta liter/hr) Jatah atau Hak Indonesia adalah ca.50%. Konversikan dengan tambah pesatnya pertambahan kendaraan, roda 2 dan 4, kapal-kapal nelayan, industri-industri rumahan, pompa-pompa irigasi untuk persawahan dan masih banyak lagi yang belum terperinci disini. Disatu pihak jumlah minyak mentah yang diperoleh menurun, disisi lain kebutuhan bbm yang berasal dari minyak-mentah tadi melonjak dan bahkan meroket. Ini masih belum dikaitkan dengan kenyataan bahwa jenis minyak Indonesia adalah Heavy crude oil, sedangkan kilang minyak kita maunya dipasok dengan sweet crude oil. Kalkulasi yang berkait kesini, biarlah menjadi beban dan tanggung-jawab Pertamina, BP Migas apa FKK Migas. Sektor ekonomis-nya yang harus ditelisik oleh kementerian perekonomian. Jelaskan yang baik, jangan ditutup-tutupi. Itu semua adalah milik bangsa Indonesia, bukan milik segelintir manusia yang kebetulan menjadi “penguasa” negeri ini. Kalkulasi dari pak Kwik, sebagai alat-bantu bagi masyarakat yang mau fokus kesitu, untuk meminta dasar perhitungan pemerintah dengan benar. Kalau kita mau jujur, ada satu sudut pandang lagi, yang harus ikut dimasukkan disitu. Yaitu, segi hukum-nya. Mengapa Petronas bisa/boleh membuka SPBU di Indonesia. Yang saya pernah melihat dengan mata-kepala sendiri, itu di Bekasi, di Jl.Jati Asih mau ke Terminal. Di Banten, katanya sudah ada yang milik Shell ?!. Tapi katanya.
    Konon . . . . . . . . . . . . . , Indonesia juga mau buka SPBU di Malaycia. Silahkan,(-kata Malaysia) . . . . . . . cuma buka dahulu kilang disini. Ini kan ketidak-imbangan. Bagaimana Malaysia buka di Indonesia, sementara kita untuk buka disana harus punya rafinerie sendiri disana. Apa artinya MEA ??? Mau Ente Aja ??? Coba jika Malaysia sebelum buka SPBU Petronas, harus buka rafineri dahulu di Indonesia ?

    Pada Era HMS, saya pernah meminta dengan hormat dan sangat, agar seluruh perjanjian dan kontrak-kontrak dengan maskapai dan pemerintah asing diundangkan kepada masyarakat atau rakyat yang banyak. Saya tidak tertarik nilai rupiah atau dollar-nya. Isi kontrak tersebut yang menarik perhatian saya ! Jumlah rupiah atau dollar yang menyimpang, mudah diketemukan dari situ ! Yang tidak proseduril dalam kontrak-kontrak itu, akan membuka dengan sendirinya deal-deal yang mengusung pundi-pundi para pejabat. Dan ini korupsi yang erat-rapat dengan SUAP ! Belakangan ini, sekitar 5 – 10 tahun yang lalu, pemerintah RRC dalam rangka pemberantasan korupsi, menetapkan agar keseluruhan kontrak terbuka untuk umum agar bisa mengetahui isi kontraknya. Tentu tidak semua rakyat paham, tetapi yang paham banyak juga kan; terlebih bila kontrak-kontrak tersebut masuk dan ditelaah oleh perguruan-perguruan tinggi, lsm-lsm dan peminat-peminat independence.
    Berita terkini, dari BBC 1 Nop 2014(-jika tak salah), di RRC dibongkar kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat di Departemen Energi. Jumlah terbesar saat ini(-yang terbongkar !). Begitu besarnya, sampai mesin-hitung untuk menghitung uang korupsi, kelelahan alias rusak ! Bagaimana dengan Indonesia ??
    Ladang-ladang Minyak kita,- Freeport,-Perkebunan Sawit,- Perikanan,- Pasir Aluminium,- Hak atas pulau-pulau R.I. Juga perjanjian-perjanjian utang yang dibuat oleh pemerintah, juga perjanjian-perjanjian antar Negara yang dibuat pemerintah (-tepatnya REZIM !) . Buka itu semua, jangan ditutup-tutupi !

    Kembali ke masalah BBM yang asalnya dari minyak-bumi, bagaimana Venezuela mengendalikan minyak-buminya, walaupun tetap ada kerja-sama dengan investor asing. Minyak hasil kerja-sama yang juga dengan bagi-hasil, pemerintah mewajibkan/mengharuskan para investor untuk menjual bagiannya kepada pemerintah. Pemasaran keluar , minyak mentah ataupun sudah diproses adalah wewenang pemerintah . Ini semua bisa terjadi, kan bersumber dari bunyi dan isi perjanjian yang diteken para pejabat(=penjahat ?!). Begitu ke-enakannya, bukan satu a dua sumur-minyak saja yang diborongkan (=diserahkan !!), melainkan hampir semua. Masak belajar kok terus-terusan. GOBLOK kali yeee ! . Jaman Bung Karno, tidak ada tambang baru (minyak dan mineral) yang dibuka, karena beliau yakin bahwa pada satu saat kita bisa menambangnya sendiri dengan kekuatan sendiri.

    Sekarang ?? Era sesudahnya Bung Karno. Segala macam tambang disodorkan ke Investor asing. Alasan klise, tak ada modal dan tak ada pengetahuan untuk itu. Ini berlanjut kebablasan dengan sengaja, sampai jaman SBY. Penambangan offshore/lepas pantai, ini memang membutuhkan peralatann dan pengalaman khusus serta modal yang besar; dan jangan harap utang, kecuali di kadalin oleh si-pemberi utang. Penambangan minyak-bumi dengan cara yang dilaksanakan oleh rakyat, sedikit-sedikit tetapi membuka lapangan kerja sendiri dan mengeduk harta untuk pundi-pundi sendiri. Tambang emas, banyak juga yang dilakukan secara tradisonil, tanpa mengindahkan “dampak-amdal” lingkungan disekitarnya. Tambang aluminium, rakyat juga banyak yang telah melaksanakan sendiri. Mereka-mereka ini bermodal tidak besar, 65% tekad bahkan mungkin 85%! Know-how kurang dari 5%. Penambangan mineral-mineral yang lain, selama didarat, selama menurut perkiraan mereka memadai untuk ditambang; artinya ada pemasukan dalam berusaha ini, maka dijalaninya. Pemerintah toh tidak memberi arahan. Alih-alih dibantu, justru banyak yang dikategorikan “illegal”. Keluarlah pasal 33 UUD dalam pengertiannya yang benar, “bahwa segala bahan tambang dan mineral” adalah milik Negara dan di usahakan untuk sebesar-besar kemakmuran takyat. Kok ya pinter, sedangkan jika yang menangani investor asing, pasal 33 ini bisa putar-balik segala macam.

    Mari kita berpikir dengan tenang, “cooling-down” kata keren-nya. Bahan tambang dinegara kita tersebar dimana-mana, amat sangat banyak dan cukup. Ibarat kapal berlayar semati-mati angin Negara Republik Indonesia ini tidak bakalan kekurangan mineral/bahan tambang. Beraneka rupa, sebagaimana ikan yang berbagai macam spesies. Begitulah Negara yang dicintai oleh rakyat jelata, tetapi dikelola dengan kerakusan oleh para pemimpin-nya. Bahan-pangan juga idem-dito, masak harus makan nasi melulu, Masak tidak bisa diimbangi dengan sagu,- singkong, -ubi, -jagung,-dan lain lain, (-silahkan menonton acara Trans7 : “Orang-orang Pinggiran”). Mereka ini adalah bangsa Indonesia, Jangankan Lamborghini,- Maserati,-Porsche,-Jetski,-Apartment,-Kondominium,-serta lain-lain kehidupan mewah. DEBU-nya saja tidak sampai kedesa mereka ! Sedangkan mereka ini diburu sewaktu mau pemilu. Suara mereka dibutuhkan untuk mensukseskan pemilu yang bertarip 70 Triliyun Rupiah itu. Hasilnya apa ??? (-akan dikupas pada lain kesempatan, agar tidak menyimpang dari thema! Insyaallah).

    Bila kita menawarkan (-tepatnya :”MENJUAL-DIRI!!”) kepada investor asing untuk membuka tambang (-apa saja) di Indonesia, maka yang jadi perhatian utama mereka selain lokasi dan sulitnya medan, adalah “Vorraete” atau seberapa besar kandungan yang ada didalamnya. Imbang tidak untuk ditambang dari sudut ekonomi/bisnis mereka. Jika sedikit, berarti tidak ekonomis, bolehlah disamakan dengan membuka lapak jualan dikaki-lima, dibandingkan boleh membuka Mall yang besar dan megah. Ini yang mereka mau, tentunya dengan berbagai syarat kemudahan. Kemudahan dibidang pajak, kemudahan disegi tenaga-kerja dan kemudahan berapa lama mereka mendapatkan ijin “pencurian” milik Negara ini.
    Bagi para pejabat (=penjahat) Indonesia, inilah yang bagus, satu-kali tanda-tangan bisa hidup makmur sepanjang masa; dan jangan dilupakan masih beruntun menunggu proyek-proyek yang lain. Para investor ini, yang pada umumnya dari Negara industri Barat dan Jepang; sudah biasa bahwa mereka tertarik dan mau untuk proyek-proyek tambang yang besar dan jenis bahan tambangnya, pilihan. Tidak asal tambang mau ! Untuk proyek kecil-kecil, yang biasa ditambang secara tradisionil, mereka sudah lewat masanya; dan juga hasilnya tidak seimbang. Bila ditangani dengan tehnologi tinggi dibidang penambangan, hasilnya tidak imbang, serta jumlahnya total yang bisa diserap disitu juga kurang memenuhi kriteria mereka. Apalagi jika harus membuka sendiri atas dasar Hak Usaha, maka jauhlah dari pemikiran mereka.

    Sebagai misal, andai Indonesia mau membuat Dapur-Tinggi atau HOCHOVEN, dengan memborongkan kepada group Barat/Jepang; maka mereka hanya tertarik manakala Dapur-Lebur tersebut bergaris-tengah 4 meter (-minimal). Di Uni Soviet konon (-sebelum bubar menjadi Negara-negara Rusia, Ukraina, dll), mereka hanya akan membuat Dapur-Tinggi baru dengan diameter minimal 6 meter. Kurang dari ini, tidak ekonomis. Maka bagaimana mungkin kita bisa melebur pasir-besi yang ada di pulau Sebuku, sebelah timur Kalimantan bila mengharapkan partisipasi asing untuk menanganinya. Dikonrakkan emoh, apalagi diundang untuk menambangnya. Seandainyapun dipaksa-paksakan, maka hasil dari besi/baja cair tadi mau dibuang kemana ??? Harus masuk kedunia perdagangan internasional. Disini banyak lagi grup-grupnya, dan Indonesia adalah masih amat sangat lemah sekali. Terus dengan Dapur-Lebur segede itu, darimana diperoleh bahan baku pasir-besinya?? Yang di Pulau Sebuku itu terlalu sedikit, karena dapur segede itu, dan beroperasi 24 jam per-hari, seluruh Cikeas-pun habis dalam 2 hari saja. Beli pasir-besinya bermasalah, dan berdagang besi atau baja jadipun bermasalah pula. Ditambah lagi dengan bahan-bakar untuk Dapur-Lebur tersebut. Disitu diperlukan batubara dengan persyaratan khusus yang biasa disebut “COKE”. Batubara kita yang di Kalimanatan tidak memenuhi syarat untuk itu. Adanya adalah batubara yang dari Ombilin (-Sumatra Barat). Barang ini sudah dalam kontrak ikat-makmur dengan maskapai asing. LHO , begitu ??!

    Kembali kepada Thema semula, yaitu BBM yang lagi rame-marak didemo dimana-mana, serta minat pemerintah JKW-JK untuk menaikkan harga BBM. Ref. tulisan Pak Kwik: “MENCARI HARGA BBM YANG PANTAS UNTUK RAKYAT INDONESIA”
    Berapapun harga BBM yang pantas disodorkan, rakyat sudah tidak percaya lagi. Pembohongan dan penipuan sudah kelewat-lewat. Belum lagi bila demo-demo itu ada yang menunggangi. Taruhlah harga BBM, ditetapkan Rp.10.000,- per liter untuk Premium. Dan pemerintah tetap akan memberikan subsidi bagi rakyat yang memerlukan dan pantas serta memang harus menerima subsidi tersebut. Bagaimana strateginya ??? Fakta membuktikan bahwa subsidi tidak sampai kepada yang ber-Hak. Apa saja. Beras miskin,- dana BOS juga BBM ini. Bagaimana mengaturnya dan mendistribusikannya ? Menteri Kelautan dan Maritim yang baru Susy Pudjiastuti, mensinyaliar bahwa subsidi BBM untuk nelayan sebesar 11,7 Triliyun yang 70% dinikmati oleh kapal ikan besar. Dari penjelasan Presiden di Mamuju, Sulawesi Barat, APBN 5-tahun yang lalu sebesar 714 Triliyun untuk subsidi BBM, sedangkan untuk infrastruktur hanya 577 Triliyun. Ini masih belum ditelusuri BBM yang disedot kapal-kapal asing diperairan Indonesia.

    BBM disubsidi O.K. Bagaimana dengan pompa-pompa dipersawahan, industri rumahan seperti Hueller/penyelepan padi,- perahu-perahu yang tidak dekat dengan SPBU dan dilayani oleh tanker-tanker kecil. Bagaimana mengaturnya agar bukan saja tidak berlebih, melainkan agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak. Angkutan kota ?? Ini menyangkut rakyat kecil langsung. Bagaimana agar mereka mendapatkan kemudahan, yang akhirnya juga jatuh ketangan rakyat berupa tarip yang tidak ikutan naik?! Tapi apa bisa diatur ?? Mereka tidak bayar pajak, artinya tidak ada daftar yang akurat untuk mengambil dan menerima bbm subsidi. Lewat pemilik angkutan ? Sami mawon! Di Negara kita ini masih ibarat Rimba-Belantara, belum diatur ! Korupsi ??? Yah, enteng-enteng saja. Karena per-undang undangan kearah itu belum tuntas, cuma obor-obor blarak; panas-panas tahi angsa. Makanan empuk buat para pengacara yang menjadi pembela para koruptor. Lihat saja, bagaimana HM Soeharto lepas dari jeratan hukum. Banyak jasanya, tetapi tidak mungkin tidak ada salahnya dan berkonotasi korupsi. SBY ?? Sebelas-Duabelas! Bagaimana pintar-pintarnya mentafsirkan hukum, kata demi kata dan untuk kepentingan apa dan siapa.

    Dari kekisruhan selama ini, saya setuju harga bbm “NAIK” agar tidak ada korupsi bbm dan penyelundupan bbm. Dan bagi yang tidak setuju naik, saya sampaikan permintaan maaf. Ini bukan perlawanan, melainkan hak demokrasi saya menyatakan ini, dengan catatan atau penjelasan ala kadarnya.
    Tinggal terpulang kepada pemerintah, bagaimana tetap menaikkan harga bbm semaksimal mungkin guna menyelamatkan APBN, tetapi tetap bisa memakmurkan rakyat yang sudah dalam posisi kejepit ini. Saya tidak mencampuri urusan ini, 100% urusan dan ujian pemerintah, kapan saja dan siapa saja.

    ALL THE SOCIAL CONSCIENCE’S OF MEN PRAYS OUR VICTORY.

    Sekian pak Kwik, Salam. Mohamad Yahya 08 Nop 2014.

  17. tegar revolusioner November 18th, 2014 19:11 pm Balas

    Hitungan tersebut ada cacat: Dari total lifting tidak disebutkan berapa persen yang menjadi premium.

    1. bakhtiar November 21st, 2014 16:37 pm Balas

      Menurut saya asumsi pak Kwik sdh benar dari sisi makro. Anggaplah di hitung dari minyak mentah yg jadi premium 19%.
      Masukkan semua komponen beli minyak mentah dari kps, import minyak mentah, aditif, dll.
      Masukkan sekalian nilai import premium sbg penutup defisit kebutuhan bbm nasional.
      Angka akhir kurang lebih beda tipis saja kok dgn hitungan pak Kwik.
      Salam

  18. Muhammad Hakim Desember 21st, 2014 22:05 pm Balas

    Saya coba menghitung dengan pola seperti Pak Kwik, tapi dengan memperhatikan masukan dari Yulies Anistyowatie yakni kebutuhan 48 juta kilo liter dan dari Pandu Poluan yakni asumsi 45,42 liter premium per barrel crude oil.
    Hasilnya:
    kebutuhan = 48.000.000 kilo liter = 301.886.792 barrel/tahun
    produksi crude oil dalam negeri 422.500 barrel/hari = 154.212.500 barrel/tahun
    45,42 liter/barrel setara dengan 28,57% dari 1 barrel (159 liter).
    Jadi, 28,57% x 154.212.500 = 44.052.401 barrel = 7.004.331.750 liter/tahun.
    Perlu impor = 48.000.000.000 – 7.004.331.750 = 40.995.668.250 liter/tahun = 257.834.392 barrel/tahun
    biaya impor = 257.834.392 x 105 x 11.900 = Rp 322.164.072.191.038
    alfa = 257.834.392 x 159 x 766,4 = Rp 31.419.080.146.800
    total biaya impor = Rp 353.583.152.337.838
    biaya mengadakan premium dari hak minyak Indonesia = 7.004.331.750 x 766,4 = Rp 323.804.000
    total biaya pengadaan BBM = Rp 353.583.476.141.838
    pendapatan dari harga jual Rp 6.500 = 48.000.000.000 x 6.500 = Rp 312.000.000.000.000
    selisih pendapatan minus biaya = Rp 312.000.000.000.000 – Rp 353.583.476.141.838 = -Rp 41.583.476.141.838 = -Rp 866/liter –> harga jual agar tidak minus Rp 6.500 Rp 866 = Rp 7.366/liter

    tapi kalau harga jual Rp 8.500 diperoleh = 48.000.000.000 x 8.500 = Rp 408.000.000.000.000
    selisih pendapatan minus biaya = Rp 54.416.523.858.162 = 54 trilyun.
    Ada surplus sebesar 54 trilyun lebih.

Leave a Reply to Mohamad Yahya