'

Kategori

Follow Us!

PLATFORM PRESIDEN 2014 (1) KETATA-NEGARAAN

Oleh Kwik Kian Gie

PENGANTAR

Era reformasi selama 8 tahun melaksanakan sistem ketata-negaraan yang didasarkan atas UUD 1945 yang sudah diamandemen empat kali. Ciri pokok dari UUD yang juga disebut sebagai UUD 2002 yalah liberalisme sangat jauh yang terkandung di dalamnya.

Hasilnya dapat kita rasakan dalam bentuk kekalutan dan anarki dalam kkehidupan berbangsa dan bernegara kita yang akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Saya mulai dengan apa yang hendaknya dilakukan secara konkret. Setelah itu baru memberikan uraian tentang latar belakang dan alasannya.

DEKRIT KEMBALI PADA UUD 1945

Presiden yang terpilih di tahun 2014 memberlakukan kembali UUD 1945 dalam bentuk aslinya. Caranya bisa melalui Dekrit Presiden seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno di tahun 1959, dan bisa juga melalui lobi intensif dengan kalangan yang sangat luas.

Konsekwensinya sebagai berikut.

• DPR dan DPD dibubarkan.

• Untuk pertama kalinya DPR dan MPR dibentuk oleh Kongres Nasional yang diselenggarakan oleh Presiden tahun 2014.

• Kongres Nasional diselenggarakan oleh Presiden 2014 dari para anak bangsa yang diseleksi dengan ketat bahwa mereka mempunyai semua kwalifikasi untuk mewakili dan membela kepentingan masyarakatnya masing-masing.

• Jumlah partai politik diperkecil sampai menjadi paling banyak 5 partai

• Penghapusan semua Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945 seperti UU Otonomi Daerah.

• Penyempurnaan UUD 1945. Presiden segera membentuk Komisi Penyempurnaan Konstitusi.

• Para anggotanya ditentukan atas dasar integritas, pengetahuan dan pengalaman serta kwalitasnya sebagai manusia yang mempunyai visi jangka panjang dan manusia yang bijaksana. Mereka diseleksi dari orang-orang yang memahami kebudayaan dan nilai-nilai bangsa yang menjadi dasar dan landasan bentuk demokrasi yang paling cocok buat bangsa Indonesia. Bukan demokrasi yang direkayasa oleh National Democratic Institute bersama-sama dengan para kroni Indonesianya yang terdiri dari quasi elit bangsa.

PERMASALAHAN BANGSA DALAM BIDANG KETATA-NEGARAAN

Sejak era Reformasi, jelasnya sejak Presiden RI dijabat oleh KH Abdurrachman Wahid (Gus Dur), kebebasan dalam segala bidang, terutama dalam menyatakan pendapat sangat terasa. Dalam bidang politik dan kemasyarakatan Gus Dur mempunyai track record sebagai pendiri dari Forum Demokrasi yang cukup berpengaruh.

Maka sudah dengan sendirinya bahwa demokratisasi segera saja diterapkan secara sungguh-sungguh. Penerapan demokrasi selalu didasarkan atas peraturan yang berlaku. Demokrasi tanpa aturan main adalah anarki dan kekalutan (chaos).

Namun walaupun ada aturan main buat demokrasi suatu bangsa, aturan main yang kacau atau yang sama sekali tidak sesuai dengan tingkat pendidikan serta kematangan jiwa untuk berdemokrasi oleh rakyatnya, juga akan menimbulkan anarki dan kekalutan. Inilah yang terjadi di negara kita sejak diamendemennya UUD 1945 sampai empat kali.

Jiwa UUD 1945 yalah demokrasi yang bertingkat atau getrapte democratie, atau demokrasi perwakilan. Kekuasaan tertinggi ada pada MPR yang terdiri dari para anggota DPR sebanyak 1/3, Utusan Golongan sebanyak 1/3 dan Utusan Daerah sebanyak 1/3. Dari tiga kelompok ini, yang dipilih secara langsung hanya yang 1/3 para anggota DPR.

Unsur demokrasinya ada, yaitu para anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun unsur kepemimpinan oleh hikmah kebijaksanaan dan oleh orang-orang yang dianggap mempunyai moralitas tinggi dan pengetahuan yang memadai untuk mengurus negara juga ada, yaitu para utusan golongan profesional dan para utusan daerah.

MPR ini yang memilih Presiden dan Wakil Presiden, bukan rakyat secara langsung melalui pemungutan suara. Pemilihan dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Pemungutan suara hanya dilakukan bilamana musyawarah sudah diupayakan secara maksimal, namun gagal memperoleh konsensus. Hikmah kebijaksanaan dapat dilakukan karena 2/3 dari anggota MPR terdiri dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang diusulkan oleh rakyat setempat. Mereka adalah para pemuka yang dikenal sebagai pemimpin dan orang berpengetahuan luas serta bijak oleh golongannya masing-masing.

UUD 1945 tidak dirumuskan dengan tergesa-gesa dan secara sembarangan. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, para pemimpin intelektual dengan pendidikan dan pengetahuan yang memadai sudah memikirkan secara mendalam tentang supra struktur dan infra struktur politik yang cocok untuk bangsa Indonesia. Maka kesemuanya ini perlu diberlakukan kembali.

UUD 1945 berlaku sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1950. Di tahun 1950 diberlakukan UUD 1950 yang menganut sistem parlementer. Sistem ini berlaku sampai bulan Juli 1959. Dalam periode itu kita saksikan bubar dan dibentuknya lagi kabinet atas dasar kesepakatan beberapa partai politik yang ketika membentuk kabinet sepakat untuk memerintah, karena mempunyai kedudukan mayoritas dalam parlemen. Sering terjadi bahwa platform gagal dibentuk, sehingga dicarikan kombinasi baru. Maka setiap kali kabinet jatuh dibutuhkan waktu banyak untuk membentuk kabinet baru. Dan kalau sudah terbentuk seringkali juga dalam waktu singkat jatuh lagi.

Maka dalam bulan Juli 1959 Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, yang menganut sistem presidensiil.

Di tahun 2002 UUD 1945 diamandemen empat kali oleh MPR yang oleh sementara orang disebut UUD 2002. Demokrasi ini tetap presidensiil. Namun sangat berbeda dengan UUD 1945 yang asli, demokrasinya sangat liberal. Semua anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat. Utusan golongan dan utusan daerah tidak ada. Perannya diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, yang juga disebut Senat. Para anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian di tingkat pusat semua anggota badan legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam praktek DPD sama sekali tidak beperan. Alangkah kontrasnya dengan di AS, di mana Senat yang sangat berpengaruh. Ini adalah contoh pencangkokan sistem dari AS yang sama sekali salah kaprah.

Maka ditinjau dari sudut legitimasi, Presiden mempunyai legitimasi yang sama dengan DPR dan DPD. DPR sendiri dan DPD sendiri tidak dapat menjatuhkan (impeach) Presiden. Namun DPR dan DPD bersama-sama dapat menjatuhkan Presiden. Walaupun demikian, dalam UUD 2002 terdapat pasal 7B yang antara lain mengatakan bahwa “…usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden harus diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, yang akan memutus apakah Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Sejak era reformasi Presiden tidak melakukan hal-hal tersebut dalam pasal 7B, jauh dari itu. Tetapi hampir tanpa kecuali rakyat merasa bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara carut marut, yang dalam sistem ketata-negaraan kita hanya dapat diperbaiki oleh Presiden yang kuat. Kebijakan yang sangat salah atau tidak mengambil kebijakan sama sekali, atau Presiden yang tidak mempunyai Platform sama sekali dapat mengakibatkan malapetaka yang lebih dahsyat dibandingkan dengan tindak pidana korupsi, sehebat apapun juga. Contohnya adalah kebijakan dalam bidang BLBI dan Obligasi Rekapitulasi Perbankan yang telah merugikan negara dengan jumlah yang besarnya ratusan kali lipat dibandingkan dengan bail out Bank Century yang sangat menghebohkan itu.

Maka kalau penentuan siapa yang harus jadi Presiden diserahkan sepenuhnya kepada rakyat yang miskin, kekurangan gizi dan kekurangan pendidikan, akan selalu kacau balaulah negara ini.

Diberlakukannya UUD 2002 pada waktu yang bersamaan dengan pergantian pimpinan nasional. Karena banyaknya ketentuan yang baru, terjadi kebingungan tentang bagaimana harus menafsirkannya.

Semua anggota dari infra struktur politik maupun supra struktur politik mempunyai legitimasi langsung dari rakyat kecuali para menteri. Kalau kita menganut vox populi vox dei, atau suara rakyat adalah suara Tuhan, yang tidak mempunyai suaranya Tuhan hanya para menteri. Bupat, Wali Kota dan DPRD memperoleh haknya langsung dari rakyat, yang berarti suaranya adalah vox dei. Para menteri hanya mempunyai legitimasi dari Presiden.

Maka kita menyaksikan bahwa ketika Wagub A Hok diberi nasihat oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, supaya memindahkan Bupati tertentu ke daerah lain, karena tidak kondusif dalam kaitannya dengan unsur keagamaan, Wagub menyuruh Menteri Dalam Negeri belajar Konstitusi lebih baik. Suaranya A Hok suara Tuhan, sedangkan suaranya Menteri Dalam Negeri adalah suaranya SBY.

Demokrasi yang berlangsung di Indonesia adalah demokrasi di mana 50% + 1 bisa menentukan segala-galanya. Asas musyawarah memang masih diberlakukan, tetapi mulai terasa bahwa lambat laun praktek politik didominasi oleh pengambilan keputusan yang didasarkan suara terbanyak, walaupun kelebihannya hanya satu persen saja.

Keanehan-keanehan seperti ini dan kebingungan lainnya terjadi. Buat saya sistem politik yang berlaku sekarang bukan cerminan dari demokrasi, tetapi cerminan dari kekalutan (chaos) dan anarki.

Rakyat banyak tidak paham tentang akar permasalahannya, sedangkan elit politik hanya sangat sibuk bagaimana membuat dirinya populer dan dikenal orang banyak dengan melakukan lenggak-lenggok atau gerakan-gerakan dangdut politik, yang oleh para elit itu dikatakan bahwa mereka sedang melakukan manuver politik yang lihay dan cerdas

Eksperimen demokrasi a la era reformasi sudah kita praktekkan selama 8 tahun dengan hasil yang sekarang kita alami sehari-hari. Gambaran demokrasi kita dewasa ini yalah antara lain DPR yang kosong, tetapi daftar presensi ditandatangani, banyak dari para anggota DPR korup, suara diperjual belikan, menonjolkan diri sendiri tanpa malu melalui iklan bayaran dan masih banyak lagi.

Rakyat bingung dan apatis

Dalam pembicaraan di kalangan manapun, kapan saja dan di mana saja, rasa galau, takut, jengkel, marah selalu mencuat. Kalau kita amati apa yang terjadi di seluruh Indonesia, ratusan seminar dan diskusi diselenggarakan untuk “menyelamatkan” bangsa. Dalam pembicaraan yang sifatnya lebih pribadi dalam lingkungan yang lebih kecil seperti pesta ulang tahun, resepsi pernikahan, arisan dan boleh dikatakan apa saja, perasaan yang sama selalu mencuat sambil bertanya apa yang akan terjadi ? Kalau ditanya lebih spesifik apa yang dikahawtirkan, semakin lama semakin banyak orang yang mulai khawatir bahwa kerusuhan sosial dengan kekerasan bisa terjadi kalau rakyat yang mengalami pemiskinan tidak mampu lagi menahan penderitaannya.

Dari segi politik, perpolitikan yang serba free fight atau gontokan bebas
mengakibatkan demikian banyaknya partai dan organisasi massa serta LSM yang masing-masing mempunyai strategi sendiri-sendiri, yang tentunya mempunyai potensi mengembangkan konflik agar dari kondisi yang kacau itu mereka bisa memancing di air keruh.

Media massa kita semakin lama semakin banyak. Kondisi dan perkembangan yang demikian dengan sendirinya memunculkan persaingan, karena sifatnya yang hampir semuanya komersial. Persaingan untuk menarik masyarakat konsumen yang tingkat pendidikannya masih rendah cenderung ke arah pemberitaan yang sifatnya sensasional.

Demikian juga dengan para elit politik. Yang dikemukakan bukan tentang bagaimana mengurus negara ini dengan lebih baik dalam segala aspeknya, tetapi bagaimana membuat dirinya dirasakan sebagai orang hebat. Lagi-lagi, kalau mayoritas pemilih kurang memadai tingkat pendidikannya, yang dipertontonkan kepada rakyat adalah dirinya yang gerak geriknya sudah bagaikan seorang presiden, tanpa mengemukakan konsep atau platform tentang bagaimana memecahkan masalah besar yang dirasakan oleh rakyat banyak. Hal yang demikian lebih memperparah penghamburan uang tanpa penyelesaian masalah.

Last but not least adalah korupsi yang telah demikian dalam berakar dan demikian luas menyebarnya.

Tulisan ini merupakan serial tentang sumbangsih dalam bidang pembentukan platform untuk Presiden yang akan terpilih di tahun 2014, siapapun dia. Maka isinya tentang solusi atau apa yang perlu dilakukan dalam semua aspek penyelenggaraan negara.

Saya tidak mempunyai pretensi bahwa apa yang saya kemukakan mesti benarnya, dan saya juga sedikitpun tidak mempunyai pretensi bahwa serial tulisan ini sudah mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itulah kami sangat mengharapkan adanya tanggapan yang akan dapat membangkitkan diskusi yang produktif.

Kita mulai dengan struktur politik setelah UUD 1945 diamandemen empat kali sehingga menjadi UUD 2002.

STRUKTUR KETATA-NEGARAAN

Struktur ketata-negaraan atas dasar UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali, yang dijuluki dengan nama “UUD 2002” mengakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kacau balau. Yang kita alami sehari-hari bukan demokrasi, tetapi anarki dan chaos. Demokrasi atas dasar UUD 2002 tidak mencerminkan kepribadian Indonesia, tetapi membuat beberapa orang berperilaku yang sama sekali menyimpang dari akar budaya dan nilai-nilai leluhur serta karakteristik bangsanya. Penjelasannya sebagai berikut.

Demokrasi dengan pemilihan langsung sampai pada jenjang Bupati membuat mereka merasa lebih mempunyai legitimasi ketimbang atasannnya. Atasannya merasa lebih mempunyai legitimasi ketimbag atasannya lagi dan seterusnya. Akibatnya wibawa kepemimpinan nasional terkikis.

Para pendukungnya tidak mengerti demokrasi a la Amerika Serikat, sehingga massa yang kalah dalam pilkada berkelahi fisik dengan massa pendukung yang menang.

Orang Indonesia yang terkenal rendah hati, yang humble, mendadak menjadi orang yang tanpa malu menyombongkan diri, terang-terangan mengatakan kepada rakyat bahwa dirinyalah yang paling hebat memimpin bangsa ini. Untuk itu mereka mengeluarkan banyak biaya perjalanan rombongan tim sukses yang besar, mengetengahkan massa bayaran, membayar iklan media massa yang mahal.

Kalau kalah hartanya habis, bahkan masih dililit hutang, membuat massa donaturnya marah dan berkelahi fisik. Kalau menang, uang dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan harus dikembalikan yang menciptakan potensi menggunakan kekuasaannya untuk berkorupsi.

Mereka yang menyodorkan dirinya sebagai calon pemimpin praktis tidak ada yang mempunyai program yang konkret, rinci dan dapat diterapkan dalam praktek. Semuanya hanya retorik yang mengemukakan apa yang harus dicapai, tetapi tidak dapat mengemukakan bagaimana caranya mencapai tujuan dan target yang dikehendaki atau didambakannya. Mereka hanya mengemukakan what to achieve yang bagus dan indah, tetapi tidak mampu menyusun program kerja tentang how to achieve.

Kita saksikan DPR yang tingkat kehadirannya sangat minimal, yang tidak pernah konsisten antara galaknya ketika mensinyalir adanya masalah dengan sikap akhirnya. Adanya indikasi kuat terlibatnya banyak dari anggota DPR dalam korupsi. Kesemuanya tidak terlepas dari jumlah partai politik yang terlampau banyak tanpa mempunyai platform, sehingga yang mengemuka adalah kekuasaan yang tidak dipakai untuk memajukan dan membela kepentingan rakyat yang memberikan kepadanya kedudukan yang terhormat dengan kekuasaan legislatif.

Pemilihan Presiden secara langsung ditentukan oleh rakyat yang mayoritasnya miskin dan kurang terdidik. Mereka menjadi obyek manipulasi oleh uang, sehingga tidak menghasilkan pemimpin yang memang mempunyai semua kwalitas untuk memimpin bangsanya.

Tidak demikian dengan UUD 1945. Presiden dipilih oleh MPR yang kurang lebihnya memang sudah terpilih sebagai elit bangsa yang cukup mempunyai pengetahuan, pengalaman dan kebijakan (wisdom) dalam memilih Presiden yang paling kapabel dan paling cocok untuk memimpin bangsa ini, terutama karena sebagian dari anggota MPR adalah wakil daerah dan fungsional yang diseleksi dengan matang.

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

15 responses to "PLATFORM PRESIDEN 2014 (1) KETATA-NEGARAAN"

  1. Lina Januari 10th, 2014 17:03 pm Balas

    well said Pak Kwik Kian Gie..saya selalu merasa Anda adalah salah satu orang pintar dan bijak yang sudah sangat jarang ada di negeri ini..sudah lama saya menunggu tulisan2 Bapak yang bagus, berbobot dan bermanfaat buat negeri ini..Thank You

  2. julius Januari 16th, 2014 07:09 am Balas

    menurut saya memang yang menjadi masalah “kebebasan tidak teratur” di negara ini bersumber pada korupsi yang membuat orang kehilangan rasa taat dan rasa hormat dengan aparatur negara, karena mereka pikir semua yang ada di dalam badan pemerintahan dapat di gerakan oleh uang. hal ini juga yang berdampak pada mental masyarakat yang secara tidak langsung tertanam dalam diri mereka bahwa uang dapat membuat dan memungkinkan segalanya

  3. Soelamto Januari 16th, 2014 13:23 pm Balas

    Disaat telunjuk kita menunjuk ke orang, ada 3 jari lainnya yg menunjuk pd diri kita sendiri. Pemimpin yg besar adalah orang yg bisa menunjuk 1 kesalahan orang lain, sekaligus mengakui 3 kesalahannya snd, laksana jari tangan.
    Reformasi sdh jauh bergulir, pahit manisnya adalah bagian dari proses perjalanan panjang. Melibatkan segenap lapisan, termasuk partai tempat p Kwik dulu berada.

    Saya hanya orang biasa yg tidak tahu tentang politik dll. Ttp yg paling saya muak adalah istilah ‘oposisi’ yg selalu dibawa2 oleh kebijakan salah satu partai. (Kyknya ada dilingkaran p Kwik ya!!?)

    Di pusat berkoar2 oposisi, ttp didaerah mendu2ki jabatan tertinggi. Diatas dilawan, dibawah dihabisi anggarannya? Jd kantong2 pengisi
    pundi2 partai! Apa layak mengaku oposi2?

    Orde baru sdh berlalu, ttp antek2nya sdh jauh masuk kedlm partai2 di era reformasi. Buruk rupa cermin dibelah. Jgnlah proses reformasi yg sdh berjalan jauh, dipaksakan kembali ke ti2k nol.

    Mari kita benahi bangunan reformasi ini dari kerusakan2 pondasi,
    kita ganti tukang2 atau mandor dll, yg tidak bisa menjamin tegaknya bangunan reformasi sesuai keinginan rakyat.

    Semua parpol yg ada saat ini tidak menjamin bakal terhapusnya korupsi, korupsi sdh mendarah daging. Kita butuh pemimpin yg tegas, berani menghukum mati koruptor kakap, dan koruptor dari kalangan penguasa, tanpa pandang bulu, biar ada efek jera.

    Semoga di tahun 2014 ini, rakyat berani memilih sesuai dgn nuraninya, bukan sesuai dgn bayarannya.

    Terima kasih. Lain kesempatan saya sambung lagi.

  4. Herry Lesmana Januari 16th, 2014 20:50 pm Balas

    sangat luar biasa artikelnya. Berarti sejak UUD 45 kita selalu bongkar pasang sistem tata negara. Kalau demikian untuk lepas landas menuju negara maju kita butuh berapan puluh tahun lagi?.

  5. Mario Januari 17th, 2014 17:54 pm Balas

    Saya kurang mengerti arah opini Anda dalam contoh kasus Wagub Ahok. Menurut saya dalam kasus tersebut, justru sistem mandat langsung dapat memperkuat legitimasi pemimpin yang sudah bertindak benar sesuai hukum yang berlaku, dalam kasus Ahok dia sudah 100% benar dengan menolak memindahkan posisi seseorang karena alasan agama. Bahkan Presiden pun sekarang tidak bisa sembarangan mendikte kepala daerah bila tindakan kepala daerah tersebut sesuai hukum yang berlaku. Bila mandataris ‘suara Tuhan’ ternyata menyeleweng, misalnya menutup paksa bandara, maka tidak perlulah Mendagri yang ‘main tangan’, hendaknya dibawa penyelewengan tersebut ke jalur hukum. Bukankah ini hal yang sangat positif?

  6. Agus Janto Januari 17th, 2014 21:21 pm Balas

    Pak Kwik yang baik,

    Memang mudah mengomentari dari belakang. Kalau sudah terjun sendiri sebagai pelaksana, sulit juga mengendalikan rakyat kita yang sangat majemuk. Bukankah dahulu Bapak sampai hampir pingsan di Bapenas, kelelahan bekerja dikejar-kejar jadwal IMF ?
    Tahun 2014 ini, PDIP berencana masuk lagi sebagai eksekutif, apapun strategi yang dipilih, itulah hak sebagai vox Dei ( bila memang berhasil mencapai 20 % vox populi ). Kita syukuri saja, bangsa ini sudah sampai disini, seperti ini. Ke depannya mudah-mudahan dapat menjadi lebih baik lagi, yang penting rakyatnya makin sejahtera, apapun politiknya.

  7. Paychun L Januari 24th, 2014 10:29 am Balas

    Betul Pak Kwik kalau menganut UUD 45 jelas sekarang sudah gak sesuai lagi lebih ke Liberalisme (USA) kita mempunyai kultur sendiri, dan nasib kita hanya bisa diatur dan ditentukan oleh bangsa kita sendiri tak bisa hanya copy paste seperti kepunyaan bangsa lain, saya sangat setuju pandangan Anda ,kita harus meluruskan kekurangan2 uu kita setelah tahun 45 dan hanyak kekurangan2 tsb yg diamandemen bukannya dibongkar! dan jangan lagi melibatkan LSM2 luar negeri yang mana kurang memahami kultur kita dan banyak kepentingan2 terselubung bagi mereka, dan yang terjadi sekarang yang beruang yang kuasa ,ini yang gak sesuai lagi dengan Pancasila yang kita Anut!

  8. Utama Cahya Januari 24th, 2014 11:49 am Balas

    Koreksi *Bupati=Lurah*

    Maka kita menyaksikan bahwa ketika Wagub A Hok diberi nasihat oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, supaya memindahkan Bupati tertentu ke daerah lain, karena tidak kondusif dalam kaitannya dengan unsur keagamaan, Wagub menyuruh Menteri Dalam Negeri belajar Konstitusi lebih baik. Suaranya A Hok suara Tuhan, sedangkan suaranya Menteri Dalam Negeri adalah suaranya SBY.

  9. Iwan Setiawan Januari 29th, 2014 10:56 am Balas

    Menurut pandangan saya apa yang di sampaikan oleh pak kwik adalah bahan renungan untuk belajar politik yang cerdas. Era reformasi telah jauh masuk dalam semangat ideologi baru tapi nihil hasil, karena mereka juga tak lebih dari kaum opportunis yang meminjam baju demokrasi. Kita tidak hendak berhistoris romantis tapi kenyantaaan bahwa ledakan pertumbuhan ekonomi kita adalah riil. Tapi perlu kita ingat bahwa daya hancur dari sistem demokrasi menurut UUD 2002 ini jauh lebih dahsyat dari yang kita bayangkan. Saya contohkan menurunnya kekebalan sosial (munculnya generasi alay). degradasi lingkungan yang sangat nyata karena kerusakan ekologi. Semua karena sistem yang kita anut 99% menciptakan iklim yang koruptif.
    Amandemen UUD 1945 lebih karena ambisi, bukan karena visi atau cita cita. Maksudnya ambisi adalah keinginan lebih baik tetapi memakai baju orang lain. Sengankan visi adalah menjadi lebih baik sesuai kemampuan dan nilai 2 yang kita anut.

  10. sunardi Februari 1st, 2014 12:23 pm Balas

    memang betul apa yg dikatakan pak Kwik sehingga setiap kali ada pilkada diadakan didaerah saya pilihannya adalah yg terbaik diantara yg jelek.Lalu bagaimana kita bisa bisa maju?

  11. miftah Maret 12th, 2014 08:13 am Balas

    menggagas indonesia saat ini seperti melihat golongan perut buncit yang kurang dalam meberikan sentuhan kepada masyarakat, pola yang berkembang merupakan dalam lingkaran untuk kekuatan eksistensi diri, ya mari kita bangkitkan kembali kekuatan kekuatan nasionalisme, JASMERAH, NASAKOM, PANCASILA mari kita bangki kembali

  12. Ahmad Daryoko Maret 27th, 2014 18:09 pm Balas

    Saya punya pengalaman “kecut” saat Rapat Dengar Pendapat membahas Draft UU Ketenagalistrikan di Komisi VII DPR RI. Kalau kita membahas UU, sebelum masuk ke pasal perpasal, mestinya lebih dulu dibahas dulu ttg Naskah Akademik Draft UU tsb. Tapi baru sampai penyampaian ttg Naskah Akademik , tahu2 sdh dipotong oleh salah seorang anggota Dewan yang mengatakan, “kemarin pagi anak saya bermain Laop Top ..dst ” . Ini dia mereka yg tdk bisa membedakan antara hal Strategis dan hal2 teknis ! Bisa jadi ini indikasi dari produk sistem Demokrasi saat ini.

  13. Hendrik Padmasana April 22nd, 2014 09:36 am Balas

    Memang dengan mellihat realitas yg ada kita menjadi kecut dan jengkel dengan keadaan yg kita hadapai , tapi saya juga masih ingat bahwa dulu, sebelum pemilihan secara langsung oleh rakyat kitapun menghadapi situasi yg tidak enak . . .sebab pada waktu PDI perjuangan menang mutlak ditahun 1999 ternyata presidennya bukan Megawati tetapi GUSDUR karena adanya poros tengah yg domotori oleh Amin Rais. . .jadi menurut saya system yg ada sekarang tidak jelek sebab lebih mencerminkan suara rakyat yg sbenarnya . . .dengan adanya faktor ketidaktahuan rakyat maka tugas presiden selanjutnya adalah membangun pendidikan politik kepada rakyat agar rakyat mempunyai pemgetahuan.

  14. A Chay Juli 2nd, 2014 11:06 am Balas

    Saya kira amandemen tsb tidak sah, karena tidak dibuat dg referendum…

  15. Mahyudi Oktober 1st, 2014 18:34 pm Balas

    Terima kasih Pak Kwik telah memberikan pencerahan, bila kondisi moral bangsa kita sudah sedemikian merosotnya akibat sistem ketatanegaraan yang amburadul, maka haruskah kita kembali ke jaman orde baru yang menurut saya juga gelap. Korupsi yang sekarang merajalela di negeri ini adalah kontribusi terbesar orde baru pada bangsa ini. Jadi apakah menurut pak Kwik sistem yang sekarang dipertahankan tetapi dengan beberapa penyempurnaan? sehingga dampak negatif nya dapat kita minimalisir…
    Terima kasih Pak Kwik
    Salam

Leave a Reply to Hendrik Padmasana