Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat (Bagian 1)
Oleh: Anthony Budiawan
Direktur Eksekutif – Indonesia Institute for Financial and Economic Advancement (IIFEA)
Rektor – Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII)
Download Artikel
Seorang Sultan dari Negeri RI memiliki tanah yang sangat subur tetapi awalnya tidak sadar atas karunia tersebut. Sultan didatangi oleh orang asing yang ingin mengelola tanah nan subur tersebut dengan cara bagi hasil dengan pembagian 30% untuk asing dan 70% untuk Sultan.
Dari pengelolaan tanah tersebut diperoleh hasil sebanyak 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30 unit untuk pengelola (mitra asing) dan 70 unit untuk Sultan. Dengan demikian, Sultan memperoleh 70 unit MB tanpa mengeluarkan biaya sama sekali (biaya = Rp 0). Sultan merasa sangat beruntung dengan kerja sama tersebut.
Sultan sadar bahwa Produk MB ini sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, dan berjanji akan menggunakannya demi kepentingan, dan untuk kesejahteraan, Rakyat RI. Oleh karena itu, Sultan memutuskan untuk menjual Produk MB tersebut di dalam negeri dengan harga jual eceran Rp 1.000 per unit, sehingga Sultan memperoleh Pendapatan sebesar Rp 70.000 (untuk 70 unit), tanpa mengeluarkan biaya pengelolaan tanah (produksi). Untuk menjual Produk tersebut kepada masyarakat, Sultan memerlukan Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) sebesar Rp 10.000 per tahun, sehingga tingkat keuntungan Sultan menjadi sebesar Rp 60.000, seperti perhitungan berikut ini:
Pendapatan (Penerimaan) | Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000) |
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) | Rp 10.000 -/- |
Laba (atau Surplus) | Rp 60.000 |
Penciptaan istilah “Subsidi”
Sultan diberitahu oleh Para Pembantunya bahwa harga Produk MB di luar negeri ternyata Rp 2.000 per unit. Namun, Sultan sadar sekali bahwa harga jual tersebut terlalu tinggi untuk di dalam negeri.
Sultan adalah seorang yang sangat kreatif, dan berpikir untuk mendirikan sebuah perusahaan, PT Pert-MB, yang ditugaskan khusus untuk menjual dan mendistribusikan Produk MB di dalam negeri. Karena harga Produk MB di luar negeri sebesar Rp 2.000 per unit, maka Sultan memutuskan untuk menjualnya kepada PT Pert-MB dengan harga internasional tersebut. Tetapi, Sultan sangat sadar bahwa rakyatnya tidak mampu membeli Produk MB dengan harga Rp 2.000 per unit, dan menginstruksikan kepada PT Pert-MB untuk menjualnya kepada rakyat dengan harga Rp 1.000.
PT Pert-MB tidak ada pilihan lain dan harus mentaati keputusan ini, yaitu membeli Produk MB dari Sultan dengan harga Rp 2.000 per unit dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 1.000 per unit. Oleh karena itu, PT Pert-MB tentu saja akan mengalami kerugian sebesar Rp 1.000 per unit atau Rp 70.000 untuk 70 unit. Ditambah Biaya Operasional sebesar Rp 10.000 per tahun maka total kerugian PT Pert-MB akan menjadi Rp 80.000, di mana kerugian ini akan diganti sepenuhnya oleh Sultan dengan istilah “Subsidi MB”. Dengan bangga Sultan kemudian berkata kepada rakyatnya bahwa sekarang Sultan memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) sebesar Rp 80.000 per tahun. “Subsidi MB”inilah yang selalu dikomunikasikannya kepada masyarakat, dan masyarakat sangat senang atas kebaikan hati Sultan.
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat | Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000) |
Pembelian MB dari Sultan | Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000) -/- |
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional | Rp 70.000 |
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) | Rp 10.000 +/+ |
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” | Rp 80.000 |
“Subsidi” dari Sultan | Rp 80.000 -/- |
Total | Rp 0 (nihil) |
Akan tetapi, benarkah demikian? Seorang ekonom, KKG, yang sangat kritis terhadap hitung-hitungan seperti ini dibuat terheran-heran, dan bertanya-tanya, mengapa negeri nan subur ini memerlukan subsidi Produk MB dari Sultan: pada awalnya Sultan memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000, tetapi kemudian berbalik menjadi memberi “Subsidi” sebesar Rp 80.000 (yang dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai Kerugian), sedangkan di dalam praktek sehari-hari KKG tidak melihat ada perubahan apapun pada penjualan Produk MB di dalam negeri, baik dalam jumlah produksi, konsumsi maupun harga per unit produk MB.
Selidik punya selidik, KKG kemudian memperoleh fakta dari Nota Keuangan Sultan di mana tercatat ada Pendapatan yang berasal dari penjualan Produk MB kepada PT Pert-MB sebesar Rp 140.000 per tahun, yaitu 70 unit @ Rp 2.000. Di samping itu, dalam Nota Keuangan yang sama KKG juga melihat ada Belanja “Subsidi MB” kepada PT Pert-MB sebesar Rp 80.000 per tahun. Dengan demikian, Sultan seharusnya masih memperoleh Surplus sebesar Rp 60.000 (persis seperti pada awal transaksi sebelum PT Pert-MB didirikan).
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) | Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000) |
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) | Rp 80.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/- |
Laba (Surplus) | Rp 60.000 |
Oleh karena itu, KKG kemudian mengambil kesimpulan bahwa subsidi yang di-claim oleh Sultan selama ini sebenarnya hanyalah sebuah ilusi saja, imajinasi saja. Subsidi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Faktanya, Sultan malah memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000 per tahun seperti perhitungan yang ada dalam Nota Keuangan Sultan yang ditampilkan oleh KKG di atas.
Istilah “Subsidi” yang Semakin Populer, dan Pembodohan terhadap Masyarakat
Sangat mengejutkan, harga Produk MB di luar negeri naik pesat menjadi Rp 2.400 per unit pada tahun berikutnya. Melihat perkembangan tersebut, Sultan kemudian meminta PT Pert-MB untuk membeli Produk tersebut dengan harga yang sama dengan harga luar negeri, yaitu Rp 2.400 per unit, tetapi menginstruksikannya untuk menjualnya di pasar domestik dengan harga yang sama, yaitu Rp 1.000 per unit, di mana total Kerugian PT Pert-MB tersebut akan diganti sepenuhnya (dengan kata lain, di-“subsidi”) oleh Sultan. Oleh karena itu, total kerugian PT Pert-MB yang akan “disubsidi” oleh Sultan menjadi Rp 108.000 seperti perhitungan berikut:
Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan Produk MB kepada masyarakat | Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000) |
Pembelian Produk MB dari Sultan | Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) -/- |
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional | Rp 98.000 |
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) | Rp 10.000 +/+ |
Total kerugian yang harus di-“subsidi” | Rp 108.000 |
“Subsidi” dari Sultan | Rp 108.000 -/- |
Total | Rp 0 (nihil) |
Sultan kemudian dengan bangga mengumumkan kepada Rakyat RI bahwa “Subsidi” yang diberikan oleh Sultan kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) meningkat dari Rp 80.000 menjadi Rp 108.000 karena harga Produk MB di dalam negeri tidak dinaikkan sesuai harga di luar negeri (artinya, harga Produk MB di dalam negeri tetap Rp 1.000 per unit). KKG sekali lagi mengintip Nota Keuangan Sultan, dan menyajikan data tersebut sebagai berikut.
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) | Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) |
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) | Rp 108.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) ./- |
Laba (Surplus) | Rp 60.000 |
Kesimpulan
Ternyata, KKG melihat fakta (dari Nota Keuangan Sultan) bahwa Sultan masih tetap memperoleh surplus sebesar Rp 60.000: yaitu, penjualan kepada PT Pert-MB sebesar Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) dikurangi “Subsidi MB’ kepada masyarakat sebesar Rp 108.000).
KKG mengangguk-angguk tanda mengerti, dan dalam batin dia mengatakan: tentu saja surplus tersebut tidak berubah, yaitu tetap Rp 60.000, karena kondisi di dalam negeri juga tidak berubah, dan sangat jelas bahwa kondisi di luar negeri tidak ada hubungannya dengan di dalam negeri.
Tetapi, kebanyakan masyarakat, termasuk para intelektual, sudah sangat terpikat dengan pencitraan Sultan yang dianggap sangat bermurah hati karena memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat dalam jumlah besar.
Tetapi, sangat sayang bagi Sultan bahwa pembodohan ini tidak akan berlangsung lama lagi karena masyarakat sudah mulai tersentak dan tersadar dengan data yang disajikan oleh KKG, bahwa selama ini mereka dibodohi saja dengan istilah “Subsidi MB”. Kita tunggu saja reaksi masyarakat selanjutnya.
Said R. April 22nd, 2012 15:34 pm
Pak KKG… ilustrasi perhitungan yg realistis dan hanya dapat diketahui jika ada pihak dalam yang jenuh pada pemerintah lalu menyampaikan kebohongan ini pada publik. Pak KKG… harus menunggu hingga kapan bangsa kita terus dibodohi seperti ini? apakah kita hanya pasrah saja? tunjukkan pada kami, apa yang mesti kami lakukan? ungkapkan fakta yang benar demi rakyat kita… sungguh menyedihkan melihat pemerintah yang tak berhati nurani ini..
heru wahyudi Juni 14th, 2013 02:26 am
yang 70 unit itu di jual di indonesia semua pak?
gigi Juni 28th, 2013 13:06 pm
om maksudnya, pertamina gak punya laba dong……
terus secara gak langsung kita beli MB itu ke presiden, jadi hasil minyak itu uangnya masuk ke kantong si sultan itu kan ?! (presiden)… !
Olleke Agustus 29th, 2014 18:18 pm
Saya senang membaca tulisan Bapak. Kalau disederhanakan semacam di atas maka awam (saya) bisa mengerti. Terlalu banyak yang awam (saya) tidak mengerti terutama dalam mekanisme keuangan yang antah berantah asalnya. Rakyat hanya disodori data rugi terus.
Harapan awam (saya), dengan semakin jelasnya mekanisme keuangan maka selanjutnya tak ada lagi dusta di antara kita. Ekonomi negara jadi stabil, harga stabil sejalan dengan terciptanya swasembada secara nasional. Kartel2 tak bisa eksis karena tak tertarik . Hukum bisa ditegakkan karena melanggar hukum tidak lagi menarik.
IQBAL November 19th, 2014 17:12 pm
pak KKG. klo misalkan pendapatan sultan 70 unit MB sedangkan permintaan MB dari masyarakat RI yg jumlahnya melebihi 70 unit MB, misalkan saja, 90 MB. itu kekurangannya dari mana??apakah kita impor dari negara luar dgn harga 2000. sedngkan di dalam negri dijual 1000.??