Seminar Krisis Ekonomi Indonesia : Keberhasilan 53 Tahun Mafia Berkeley? (Bagian I)
KESIMPULAN DAN RANGKUMAN
Berbeda dengan kebiasaan, saya akan mulai dengan kesimpulannya sebagai berikut.
- Para akhli ekonomi kelompok tertentu yang secara konsisten menganut faham mashab pikiran tertentu, yang dikenal dengan sebutan “Berkeley Mafia” berhasil menguasai kendali kebijakan ekonomi sejak tahun 1966. Kendalinya putus selama sekitar 2 tahun ketika Gus Dur menjabat Presiden.
- Kelompok Berkeley Mafia tidak menjadi anggota partai politik. Maka mereka tidak mencerminkan ideologi partai politik yang manapun juga. Ideologi mereka adalah ideologi mekanisme pasar yang sangat condong pada liberalisme yang sebebas mungkin dan kapitalisme partikelir. Itulah sebabnya sejak awal mereka sudah menganut faham korporatokrasi; hal ini digambarkan sangat jelas dan ilustratif oleh John Pilger yang mengutip Jeffrey Winters dan Bradley Simpson.
- Berjayanya kelompok Berkeley Mafia dan stabilitas serta kontinuitas kekuasaannya dalam bidang ekonomi diperkuat dengan kenyataan bahwa partai-partai politik di Indonesia tidak mempunyai pikiran-pikiran bagaimana menyelenggarakan negara yang baik. Semakin menuju pada demokratisasi yang disebut era reformasi, orientasinya semakin hanya mencari kedudukan dan kekuasaan. Ini terlihat sangat jelas kalau kita amati apa dan bagaimana yang sekarang ini sedang berlangsung dalam proses pemilu, baik legislatif maupun pemilihan presiden.
- Hasil dari kebijakan ekonomi kelompok Berkeley Mafia sejak tahun 1966 ternyata sangat merugikan negara dan bangsa, seperti yang akan diceriterakan selanjutnya.
- Kaitan antara kelompok Berkeley Mafia dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang menurut John Pilger dan Jeffrey Winters de facto didikte oleh Kementerian Keuangan AS sangat kuat.
- Dengan meledaknya krisis keuangan di AS yang dilandasi oleh rusaknya moralitas dan akal sehat membuat para tokoh fundamentalisme mekanisme pasar, kapitalisme partikelir dan Washington Concensus berganti haluan dalam pikirannya secara drastis, seperti yang digambarkan dalam cover story majalah Newsweek tanggal 2 Maret yang lalu.
- Pemerintah-pemerintah AS, Eropa, Jepang dan China telah selesai merumuskan kebijakan dan langkah-langkahnya untuk menghadapi dan menanggulangi resesi dan depresi ekonomi global. Mereka juga ditopang dengan dana sangat besar yang dimiliki oleh pemerintahnya.
- Masih sangat tidak jelas bagaimana Tim Ekonomi Indonesia meminimalkan dampak dan pengaruh resesi dan depresi global yang trend-nya terlihat dengan jelas dari angka-angka BPS terakhir, yang tertuang dalam buku kecil berjudul “Makro Ekonomi Indonesia”, terbitan Lembaga Penelitian Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (LPE-IBII) yang dapat diperoleh dengan cuma-cuma bagi yang berminat.
- Kebijakannya hanya dalam bentuk stimulus fiskal yang dikatakan sebesar Rp. 73,1 trilyun, tetapi banyak yang dalam bentuk pengurangan pajak dan bukan pengeluaran langsung. Kecuali itu, kalau digabung dengan SILPA tahun 2008, netonya hanya Rp. 13,1 trilyun atau sekitar 0,19% dari PDB. Tingkat suku bunga diturunkan, tetapi hanya dalam bentuk BI rate yang merupakan indikasi yang masih bertengger sangat tinggi menurut ukuran dunia, yaitu sekitar 6%. Kebijakan Gubernur BI ini dinetralisir oleh Menteri Keuangan yang menerbitkan SUN dalam denominasi dollar AS sebesar US$ 3 milyar dengan tingkat suku bunga antara 10 sampai 1 %.
- Harapan perbaikan dalam pola pikir yang mewujud pada kebijakan dan tindakan nyata bisa diwujudkan dengan kampanye besar-besaran dalam mengemukakan pikiran-pikiran yang teknokratik dan sarat dengan pengetahuan yang didasarkan atas akal sehat, nalar dan jiwa yang waras.Kita masih mempunyai banyak akhli yang mampu melakukan ini. Tetapi media massa kita menjadi sangat tidak peka pada pikiran-pikiran konstruktif yang memang lebih sulit dicerna ketimbang berita-berita dan gossip yang sensasional.
- Aka merupakan tantangan besar bagi elit muda Indonesia yang sebagian hadir dalam ruangan ini untuk berinovasi tentang bagaimana memasyarakatkan pikiran-pikiran yang baik dan konstruktif.
MEKANISME PASAR BUKAN SEGALA-GALANYA
Tidak dapat disangkal bahwa akhli ekonomi kelompok tertentu yang dikenal dengan nama “Mafia Berkeley” mempunyai kepercayaan yang bagaikan agama, bahwa mekanisme pasar dengan sendirinya dan senantiasa mewujudkan ketertiban dan keadilan.
Sangatlah jelas bahwa krisis keuangan yang meledak di AS dilandasi oleh ideologi dan paham pasar bebas yang ekstrem. Dalam rangka ideologi dan paham ini, keserakahan menjadikan demikian banyak orang pandai di Wall Street dan para pimpinan hedge funds tidak waras lagi. Malapetaka buatan manusia ini sekaligus membuktikan bahwa kemampuan mekanisme pasar mengatur dirinya sendiri yang didasarkan atas mengemukakan kepentingan dirinya sendiri (seperti yang digambarkan oleh Adam Smith) sama sekali tidak benar.
Esensi yang paling dasar dari mekanisme pasar memang benar, tetapi dibutuhkan moralitas dan pengaturan seperti yang sebelumnya telah ditulis oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “The Theory of Moral Sentiments.” Kebanyakan akhli ekonomi tidak memahami buku ini yang harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan bukunya yang lebih terkenal, yaitu : “An Inquiry into the Nature and the Causes of the Wealth of Nations.” Yang memahaminya Perdana Menteri China Wen Jiabao, yang dikemukakannya dalam wawancara dengan Fareed Zakaria di majalah Newsweek.
Dengan runtuhnya sistem komunis, di semua negara kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi didasarkan atas mekanisme pasar. Namun demikian berbagai bangsa mengenal kadar campur tangan pemerintah yang beragam, dari yang sangat bebas sampai yang intervensinya oleh pemerintah sangat banyak.
Penentuan seberapa besar regulasi oleh pemerintah yang optimal banyak ditentukan oleh ideologi yang dihayati dan kepercayaannya pada kemampuan alokasi dan regulasi mekanisme pasar seperti yang digambarkan oleh Adam Smith.
MEKANISME PASAR, KAPITALISME PARTIKELIR DAN “MAFIA BERKELEY”.
AS adalah negara yang sangat condong pada kepercayaan cukup ekstrem terhadap efisiensi dan keadilan yang dapat diperoleh dari bekerjanya daya regulasi pasar bebas.
Pengaruh mashab pikiran AS terhadap Indonesia sangat besar melalui lembaga-lembaga keuangan internasional dan korporasi besar. Sejak Presiden Soeharto berkuasa, kendali ekonomi selalu ada di tangan para akhli ekonomi dari satu kelompok mashab pikiran yang kita kenal dengan sebutan Mafia Berkeley.
Kekuasaan mereka terganggu sekitar 2 tahun dalam era Gus Dur sebagai Presiden RI. Namun demikian, mereka berhasil menyusup ke dalam pemerintahan melalui badan-badan ciptaannya yang dipaksakan kepada Gus Dur, yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam struktur ketata-negaraan Indonesia. Dua Lembaga ini yalah Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang ketuanya Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani, dan Tim Asistensi pada Menko EKUIN yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro dengan Sri Mulyani sebagai sekretarisnya. Dua lembaga ini bubar karena tidak dibutuhkan lagi ketika Megawati menjadi Presiden yang langsung saja menyerahkan kekuasaan ekonomi kepada kelompok Mafia Berkeley lagi. Jelas bahwa lembaga-lembaga tersebut dipaksakan untuk mengimbangi Tim Ekonomi yang tidak akan terlampau patuh pada trio Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF.
KARAKTERISTIK MAFIA BERKELEY
Di Indonesia ada satu kelompok ekonom dari satu mashab pikiran ekonomi tertentu yang merupakan kelompok yang sangat kompak. Mereka membentuk “keturunan-keturunannya” dari generasi-generasi berikutnya yang garis kebijakannya selalu konsisten, yaitu selalu sejalan dengan 3 lembaga keuangan internasional yang sampai sebelum krisis sedang berlangsung, mereka didikte oleh Menteri Keuangan AS. Para anggota kelompok ini tidak perlu harus pernah belajar di Universitas California di Berkeley. Faktor pengikatnya adalah ideologi dan kepercayaan yang sama.
Garis kebijakannya dapat digambarkan sebagai fundamentalisme mekanisme pasar dan kapitalisme partikelir.
Mereka juga terkenal dengan sebutan “teknokrat”. Tetapi dalam kiprah dan sepak terjangnya sama sekali bukan teknokrat yang bebas nilai dan bebas ambisi politik. Mereka mati-matian mempertahankan kedudukannya sebagai penentu kebijakan ekonomi, siapapun Presidennya. Ibu Megawati yang putri kandung Bung Karno juga berhasil diyakinkan bahwa pengendali kebijakan ekonomi terbaik adalah kelompok mereka, walaupun pikiran-pikirannya sangat bertentangan dengan pikiran-pikiran Bung Karno.
Dalam satu sidang CGI, Menko Perekonomian Pemerintah Megawati Soeranoputri mengatakan bahwa beliau bukan anggota partai politik. Kalaupun harus menyebut “partai”, maka boleh dikatakan “Partai UI di Depok”, yang pengurus-pengurus terpentingnya adalah Prof. Widjojo Nitisastro dan Prof. Ali Wardhana.
PONDASI KEBIJAKAN TIM EKONOMI INDONESIA
Kekuasaan dan landasan atau pondasi kebijakannya yang konsisten selama 53 tahun berawal pada Pemerintah Soeharto yang urut-urutan kronologis sejarahnya sebagai berikut.
Kebijakan ekonomi pemerintah Soeharto diawali dengan konperensi di Jenewa antara Tim Ekonomi Indonesia yang dipimpin oleh Prof Widjojo Nitisastro bersama-sama dengan para ekonom dari UI, yang dalam suasana konperensi di Jenewa itu lahir sebutan “Berkeley Mafia”. Tidak jelas siapa yang menemukan istilah ini. Ada yang mengatakan pemimpin counterpart delegasi Indonesia, David Rockefeller. Istilah ini dikemukakan dengan nada yang sangat menghargai terhadap “the top economists of Indonesia”.
Inzinkanlah saya mengutip gambaran yang diberikan oleh John Pilger, yang pada gilirannya mengutip kata-kata Jeffrey Winters sebagai berikut : “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar”.
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia”.
Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konperensi yang merupakan titik awal sangat penting buat nasib ekonomi bangsa Indonesia selanjutnya.
Kalau baru sebelum krisis global berlangsung kita mengenal istilah “korporatokrasi”, paham dan ideologi ini sudah ditancapkan di Indonesia sejak tahun 1967. Delegasi Indonesia adalah Pemerintah. Tetapi counter part-nya captain of industries atau para korporatokrat.
TONGGAK-TONGGAK KEBIJAKAN EKONOMI SELANJUTNYA
Setelah kaki-kaki korporatokrasi ditancapkan yang oleh Jeffrey Winters dikatakan “pengambil alihan ekonomi Indonesia dalam 3 hari”, berbagai istilah dan pengertian yang tidak lazim diciptakan dengan maksud memperlancar terjerumus dan terjeratnya Indonesia ke dalam utang, yang dijadikan alat penekan untuk memaksakan kebijakan yang pro korporatokrasi.
Perwujudannya yalah organisasi yang khusus diciptakan buat negara-negara pemberi utang yang bernama Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian berganti nama menjadi Consultative Group of Indonesia (CGI). Koordinatornya Bank Dunia, yang bersama-sama dengan Bank Pembangunan Asia dan IMF merupakan trio pemberi utang juga.
Bentuk-bentuknya antara lain adalah sebagai berikut :
- Anggaran negara (APBN) yang jelas defisit disebut berimbang, yang ditutup dengan utang luar negeri, tetapi tidak disebut utang. Sebutannya dalam APBN “Pemasukan Pembangunan”.
- Utang luar negeri dari IGGI/CGI dan 3 lembaga keuangan tidak disebut “loan” atau utang, tetapi disebut “aid” atau bantuan.
- Jumlah defisit APBN dihitung tanpa memasukkan cicilan utang pokok sebagai pengeluaran. Yang dihitung hanya pengeluaran uang untuk membayar bunga.Memang kebiasaan internasional seperti ini supaya bisa membandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi kalau jumlah utang ditambah bunga sudah sekitar 25% dari APBN, gambarannya lantas menyesatkan, dan perlu memberikan catatan khusus.
- Anggaran pembangunan dibiayai sepenuhnya dari utang luar negeri yang katanya untuk menghindari crowding out di dalam negeri. Tetapi ketika krisis dengan enaknya membuat utang dalam negeri, yang ditambah dengan kewajiban membayar bunga menjadi ribuan trilyun rupiah dalam bentuk BLBI ditambah obligasi rekap, yang sebenarnya dapat ditarik kembali sebelum bank-bank yang mempunyai obligasi rekap ini dijual dengan harga murah.
- Boediono sebagai Menteri Keuangannya Presiden Megawati menyatakan dengan yakin beban utang akan merata dan selesai dalam waktu 8 tahun setelah melakukan apa yang olehnya dinamakan reprofiling. Sekarang kedodoran dengan beban sangat luar biasa beberapa tahun mendatang, seperti yang diberitakan oleh media massa. Tetapi tidak perlu khawatir. Toh bisa ditutup dengan utang baru. Dan karena gurunya, Larry Summers dan Tim Geithner sudah mencetak uang besar-besaran, mungkin muridnya juga akan melakukan hal yang sama.
- Demikian juga dengan ukuran tentang jumlah utang luar negeri, apakah sudah melampaui batas yang aman. Tadinya dinyatakan dalam rasio antara ekspor neto dengan pembayaran cicilan utang pokok + bunga utang luar negeri yang disebut Debt Service Ratio (DSR). Ketika sudah menjadi sangat tinggi, ukurannya diubah menjadi dalam persen dari PDB.
- Dalam menghitung ukuran tentang ambang batas yang aman, dalam DSR cicilan utang pokok dihitung sebagai faktor. Tetapi dalam menghitung Defisit dalam APBN cicilan utang pokoknya tidak dihitung, karena sudah menjadi sangat besar.
- Subsidi BBM dinyatakan sebagai identik dengan pengeluaran uang tunai oleh pemerintah, padahal tidak ada uang tunai yang dikeluarkan untuk memperoleh minyak mentah kecuali yang harus diimpor.
- Sekarang ini yang digembar-gemborkan menurunkan BBM tiga kali. Tetapi menaikkannya tiga kali tidak disebut. Menaikkannya dari Rp. 2.700 sampai Rp. 6.000. Menurunkannya hanya sampai Rp. 4.500 saja, tetapi dijadikan bahan kampanye dalam iklan yang sangat mahal.
- Harga BBM harus ekivalen dengan harga minyak mentah yang
dibentuk oleh NYMEX. Tetapi sekarang ini, dengan kurs yang berubah dan harga minyak mentah yang sudah berubah pula, harga BBM masih tetap saja dipertahankan seperti apa adanya.
Oleh Kwik Kian Gie
Genthology Indonesia Maret 23rd, 2011 22:45 pm
Nampaknya 43 tahun Mafia Berkeley, 1967 + 53 adalah 2020, terima kasih
J. Tamtelahitu Maret 25th, 2014 07:01 am
Terima kasih atas pencerahannya mengenai kronologis tonggak-tonggak ekonomi indonesia. Saya yang bukanlah seorang pakar ekonomi saja juga merasakan, semakin hari, sistem ekonomi indonesia semakin liberalis kapitalis dengan hanya mendasarkan diri pada kekuatan mekanisme pasar. Sangat terlihat, pemerintah terkesan “tidak berbuat apa-apa” untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Yang ada hanyalah pencitraan, pencitraan, dan terus pencitraan. Seperti yang Pak Kwik jelaskan, lah bagaimana tidak, hampir semua kebijakan ekonomi kita “sudah diatur sedemikian rupa” untuk memaslahatan para kapitalis itu.
Memperbaiki kondisi yang sudah carut-marut ini memang tidaklah mudah. Dan saya yakin prosesnya pun butuh langkah demi langkah, tidak bisa instan.
Saya ingin bertanya kepada Bapak, menurut Pak Kwik, apa langkah paling awal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan ini? Kemudian apa langkah-langkah sesudahnya?
Web Bapak ini sudah saya bookmark menjadi salah acuan ilmiah bagi saya.
Terima kasih Pak
Nugroho Dwi P. Hartono Februari 21st, 2015 14:11 pm
Tulisan-tulisan panjenengan telah memberikan pencerahan dan telah membuka mata bangsa Indonesia bahwa negeri ini sesungguhnya masih dijajah.
Nugroho Dwi P. Hartono Februari 23rd, 2015 19:21 pm
Pak Kwik, mengapa para b. Mega ketika jadi Presiden malahan mengangkat menteri- menteri ekonomi yg neolib? Bahkan p. Kwik sendiri terkesan disingkirkan?