Pemberantasan Korupsi Melalui Perubahan Lingkungan Kehidupan Manusia Indonesia (Artikel 4)
KETIDAK WARASAN YANG TERCERMIN DARI ANGKA-ANGKA
Hutang Luar Negeri
Tadi telah dikemukakan kebijakan utang luar negeri kita yang dipacu terus sampai tidak sustainable. Mula-mula cicilan utang pokok jatuh tempo yang sudah tidak mampu dibayar, pembayarannya dilakukan dengan mencari utangan baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Setelah cara ini tidak mempan lagi, dimintakan penundaan pembayaran utang atau rescheduling sampai tiga kali di Paris Club. Toh dikatakan bahwa utang luar negeri manageable dan sustainable. Maka setiap tahunnya tetap saja berutang terus dari CGI.
Di zaman pemerintahan Soeharto dikatakan bahwa ukuran apakah utang luar negeri sustainable atau tidak diukur dengan Debt Service Ratio (DSR). Juga disebutkan patokannya yang sudah merupakan lampu merah, yaitu kalau sudah menyentuh angka 20%. Ketika angka ini sudah jauh dilampaui, jumlah utang luar negeri digabung dengan utang dalam negeri, dan keseluruhannya dinyatakan dalam persen dari PDB. Persentase ini menurun karena meningkatnya PDB, dan terus dikatakan bahwa pengelolaan utang bagus dan terkendali. Menurut hemat saya ini adalah pencerminan dari corrupted mind yang sifatnya mengelabuhi masyarakat. Mengapa?
Debt Service Ratio adalah perbandingan antara pemasukan devisa dan pembayaran utang dalam valuta asing. Perbandingan ini sangat penting dan terlihat jelas korelasinya. Rasio ini adalah rasio likuiditas. Sekarang tidak pernah dilaporkan kepada masyarakat. Yang dilaporkan adalah seluruh utang pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri dinyatakan dalam persen dari PDB.
Mengapa kalau rasio ini menurun kemungkinan pemerintah membayar utang menjadi lebih besar tidak jelas hubungannya. Baru jelas kalau ada korelasi antara besarnya PDB dan penerimaan pemerintah yang dapat dipakai untuk membayar utang. Hubungan ini memang ada, tetapi sangat samar-samar. Yang membentuk PDB bukan pemerintah sendiri. Bagian terbesar justru perusahaan-perusahaan swasta. Memang bisa dikatakan bahwa PDB yang meningkat berarti laba perusahaan-perusahaan swasta meningkat, sehingga laba kena pajak meningkat dan pendapatan pajak pemerintah juga meningkat. Benar, tetapi sangat jauh dan samar. Logika ini tidak klop dengan yang selalu dikemukakan oleh pemerintah bahwa meningkatkan pajak paling efektif adalah melakukan ekstensifikasi karena masih banyaknya orang berpendapatan tinggi yang tidak mempunyai NPWP. Ini memang kenyataan, dan karena itu ekstensifikasi penjaringan wajib pajak baru lebih relevan untuk Indonesia dewasa ini sampai entah kapan. Yang jelas masih panjang ruang geraknya. Mengapa jumlah utang dalam persen dari PDB yang ditonjolkan terus? Lagi-lagi menurut pendapat saya didasari oleh corrupted mind.
Kita ambil angka-angka dari RAPBN tahun 2004 karena ketika buku ini ditulis belum dibahas di DPR. Biasanya setelah menjadi APBN 2004 perubahan-perubahannya tidak signifikan. Lagipula, antara APBN dan pelaksanaannya pasti akan ada deviasi. Maka untuk kepentingan analisis, angka-angka RAPBN 2004 dapat dipakai tanpa mengganggu kesimpulan-kesimpulannya.
Mengacu pada RAPBN tahun 2004, apa semua yang harus kita lakukan untuk menutup pengeluaran pemerintah, walaupun dikatakan jumlah utang sudah menurun? Dari dalam negeri menguras tabungan dari Rekening Dana Investasi (RDI) sebesar Rp 26,34 trilyun, menjual BUMN senilai Rp 5 trilyun, menjual aset BPPN senilai Rp 5 trilyun yang nilai bukunya berlipat-lipat ganda. Menerbitkan surat utang baru senilai Rp 28 trilyun. Dari luar negeri masih harus utang lagi sebesar Rp 6,52 trilyun sebagai utang program, sebesar Rp 19,97 trilyun sebagai utang proyek dan penerbitan obligasi pemerintah dalam valuta asing sebesar Rp 3,48 trilyun. Jumlah seluruhnya Rp 94,31 trilyun yang sifatnya melikuidasi kekayaan dan berutang baru.
Mari kita tengok penderitaan apa semua yang harus kita pikul walaupun jumlah utang pemerintah dinyatakan dalam persen dari PDB menurun yang dipuji oleh masyarakat internasional dan oleh kelompok ekonom tertentu. Bunga utang pemerintah yang luar negeri sebesar Rp 24,66 trilyun dan yang dalam negeri sebesar Rp 43,84 trilyun atau seluruhnya Rp 68,5 trilyun. Bandingkan dengan anggaran pembangunan sebesar Rp 68,1 trilyun yang lebih kecil dari pembayaran bunga utang saja. Jelas bahwa kemampuan kita untuk membangun sangat dipersempit oleh pembayaran bunga utang saja. Lantas kalau utang dibuat demikian besarnya ini yang dibela sebenarnya dahulu itu apa dan siapa? Entahlah, tentunya yang membuat kebijakan ketika itu yang mengetahuinya.
Tadi itu hanya pos bunga utang. Belum pembayaran utang pokoknya yang jatuh tempo. Utang luar negeri yang jatuh tempo sebesar Rp 44,89 trilyun. Utang dalam negeri yang jatuh tempo sebesar Rp 18,9 trilyun dan surat utang (obligasi) yang dirasa perlu dibeli kembali sebesar Rp 5,6 trilyun. Seluruhnya Rp 69,39 trilyun. Lagi, kok utang digenjot terus sampai pembayaran pokoknya yang jatuh tempo di tahun 2004 saja sebesar ini untuk membela apa dan siapa?
Berutang Untuk Membela Siapa?
Pertanyaan yang selalu menghinggapi adalah apa yang ingin dibela dengan utang yang membengkak sedemikian besarnya? Dalam hal utang luar negeri tidak jelas, tetapi paling tidak jumlahnya merupakan akumulasi selama 36 tahun dan banyak wujud yang dapat kita saksikan dalam bentuk prasarana.
Utang dalam negeri yang dalam waktu “sekejap” dari nol menjadi sedemikian besarnya untuk membela apa dan siapa? Yang terbesar untuk mempertahankan dan menyehatkan bank. Kalau kita tidak menghitung BLBI-nya, tetapi hanya Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) saja, jumlah nominalnya Rp 430 trilyun dan pembayaran bunga untuk utang pokok ini Rp 600 trilyun. Jumlahnya membengkak seiring dengan ketidakmampuan pemerintah membayar OR yang jatuh tempo melalui pembayaran bunga yang membesar.
Bagaimana kondisi perbankan? Apakah sehat? Kita lihat Tabel berikut yang memberikan gambaran tentang kesehatan bank ditinjau dari sudut kemampuannya membuat laba. Di kolom 3 kita saksikan bahwa sepuluh bank rekap membukukan laba bersih yang cukup besar. Tetapi itu hanya mungkin karena pemerintah memberikan penghasilan bunga yang tidak ada bedanya dengan subsidi. Perincian serta jumlahnya ada di kolom 4. Kalau ini tidak dihitung, semua bank merugi sangat besar yang ditunjukkan oleh kolom 5.
Kerugian Bank-Bank Rekap Bila Bunga O.R Dicabut (per 31 Desember 2003)
Yang aneh, manajemen bank menjadi yakin bahwa bank meraih laba besar karena prestasinya, bukan karena subsidi. Mereka membanggakan diri, menggaji dirinya sendiri sangat besar dan karena banknya meraih laba, memberikan kepada dirinya sendiri bonus dan gratifikasi.
Mari kita bandingkan dengan kebutuhan sektor-sektor lain sangat penting dalam penyelenggaraan negara.
SEKTOR-SEKTOR YANG MENJADI KORBAN
Pendidikan
Sektor pendidikan memperoleh alokasi tertinggi dari anggaran pembangunan yaitu sebesar Rp 15,25 trilyun. Ini hanya 22,26% saja dari bunga utang yang harus dibayar. Kalau cicilan pokoknya ditambahkan hanya 11,06% saja.
Pertahanan
Kondisi TNI/POLRI kita sangat mengenaskan, baik dalam persenjataan maupun dalam mempertahankan kodisi fisik para anggotanya. Belum lama ini kita diejek dan dilecehkan di atas bumi kita sendiri oleh 5 buah pesawat Hornet AS yang mengepung dan me-lock 2 pesawat F-16 kita. Kita punyanya hanya 2 buah ini. Ketika berupaya membeli lagi yang jauh lebih murah dari Russia, yaitu pesawat Sukhoi, tak ada uangnya sehingga harus main akrobat melalui imbal beli yang menimbulkan masalah lagi. Dalam mempertahankan NKRI dan memerangi terorisme, anggaran pembangunan dinaikkan sampai yang terbesar kedua setelah sektor pendidikan. Anggaran pembangunan untuk sektor pertahanan dan keamanan menjadi Rp 10,53 trilyun. Alangkah kontrasnya kalau kita nyatakan dalam persen dari pembayaran bunga utang saja. Jatuhnya hanya 15,37 % saja.
Infrastruktur
Infrastruktur kita rusak berat. Tiada hari tanpa rel kereta api yang patah. Tetapi alokasi anggaran pembangunan untuk sub sektor transportasi darat sebesar Rp 1,75 trilyun atau hanya 2,55% saja dari kewajiban pembayaran bunga utang. Kalau cicilan utang pokok ditambahkan, sub sektor perhubungan darat hanya 1,27% saja dari semua pengeluaran uang yang berhubungan dengan utang. Ini keseluruhan sektor perhubungan darat yang di dalamnya macam-macam, antara lain rel kereta api yang rusak berat.
Kemiskinan
Kalau kita menengok uang yang tersedia untuk perbantuan kepada sekitar 40 juta sesama warga negara yang miskin supaya tidak sakit parah atau meninggal dibandingkan dengan jumlah pengeluaran yang harus dilakukan untuk membayar bunga dan cicilan pokoknya, lebih-lebih lagi menyedihkan. Pemerintah mengembangkan sekitar 54 program yang dilakukan oleh berbagai kementerian ke dalam 15 sektor. Jumlah seluruhnya sekitar Rp 12 trilyun. Ini hanya 17,62% dari anggaran pembangunan. Pengeluaran untuk membayar cicilan utang dan bunga sebesar 202,48% dari anggaran pembangunan.
Beban Keuangan Yang Berkelanjutan
Beban Obligasi Rekap Perbankan (OR) yang selalu sangat merisaukan banyak orang sekarang mulai menampakkan diri dengan angka-angka yang sangat mengerikan. Akankah keuangan negara bertahan untuk tahun 2005 ke atas kalau kita bersikap konvensional? Apakah ini yang dikatakan bahwa fiskal kita sustainable walaupun ada beban OR yang demikian dahsyatnya? Beban OR ini akan berlanjut entah sampai berapa tahun lagi ke depan. Semua usulan menuju peringanan ditampik oleh IMF dan Tim Ekonomi. Lantas beban OR yang demikian beratnya ini untuk kepentingannya berapa orang? Seperti dikatakan tadi, yang miskin sekitar 40 juta orang.
Sambil melakukan ini semuanya, kita terpaksa harus berutang baru setiap tahunnya di forum CGI. CGI yang dipandu oleh dan bersama-sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia terus menerus memberikan utangan baru asalkan pemerintah Indonesia nurut mutlak dan 100% pada apa saja yang dikatakan oleh IMF sebagai pemimpin seluruh masyarakat internasional yang tergabung dalam kartel CGI, Paris Club, London Club, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Masyarakat internasional yang sama ini selama pemerintahan Soeharto yang 32 tahun itu melarang pemerintah Indonesia berutang kepada rakyatnya sendiri di dalam negeri dalam rupiah. Tetapi kelompok yang sama bersama-sama dengan partner Tim Ekonomi Indonesia dalam pemerintah yang berasal dari kelompok ekonom Indonesia yang sama juga mendadak merasa tidak apa-apa berutang kepada rakyatnya sendiri yang besarnya melebihi utang luar negeri. Dalam dua tahun jumlah utang dalam negeri dari nol menjadi sekitar hampir Rp 700 trilyun. Karena bunganya tinggi, kewajiban pembayaran bunga juga tinggi, sehingga kalau ditambahkan pada jumlah utang pokok dalam negeri akan mencapai ribuan trilyun rupiah. Para ekonom yang sama-sama berasal dari kelompok yang terkenal dengan nama Berkeley Mafia juga merasa tidak apa-apa berutang dalam negeri yang demikian besarnya. Perlu dicatat bahwa selama 32 tahun mereka berkuasa melayani Presiden Soeharto, mereka sangat-sangat mentabukan pinjam kepada rakyatnya sendiri di dalam negeri. Anak buahnya dan jaringannya yang sekarang masih ada di mana-mana mendadak merasa tidak apa-apa berutang sampai ribuan trilyun rupiah di dalam negeri. Ada apa? Sekonyong-konyong dibela dengan argumentasi dan parameter yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya, yaitu tidak apa karena jumlahnya dalam persen dari PDB akan turun terus. Persis sama dengan yang saya dengar dari para majikan IMF dan negara-negara kreditur. Tadinya utang masih kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah. Tetapi surat pernyataan utang itu semuanya akan dijual kepada swasta. On top dari itu, pemerintah juga merintis pasar obligasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Maksudnya jelas agar setiap saat pemerintah dapat menerbitkan surat utang yang dibeli oleh masyarakat luas. Sekonyong-konyong tidak apa-apa kalau terjadi crowding out atau rebutan antara sektor pemerintah dan sektor swasta.
Perampokan Kekayaan Alam
Sementara gambaran utang seperti tersebut di atas, kita membiarkan ikan kita dicuri senilai US $ 3,5 milyar. Pasir yang dicuri sebesar US $ 3 milyar. Hutan yang sudah gundul masih ditebang secara liar dan hasilnya laku dijual senilai US $ 2,5 milyar. Kalau ini dijumlah sudah mencapai US $ 9 milyar setahun. Tetapi kita mengemis utangan sebesar US $ 3 milyar setahun on top dari penundaan pembayaran cicilan utang pokok dan bunga di Paris Club sambil dimintai pertanggung jawaban bagaimana pemerintah Indonesia mengurus bangsanya sendiri. Apa hubungan kerusakan ini semuanya dengan KKN yang sudah membuat kita tidak waras lagi? Karena para pemimpin kita tidak dapat melihat bahwa apa yang tergambarkan itu sudah sangat merusak keuangan negara dan akan merusak terus yang semakin hari semakin hebat. Pernyataan-pernyataan pendapat dari elit penguasa menganggap kesemuanya itu normal-normal saja.
IMF Jelas Dibiarkan Merusak
Pemerintah harus menjalankan kebijakan IMF. Sedikit kebijakannya yang baik, tetapi banyak yang merusak keuangan negara secara fatal. Selama program berjalan, pinjamannya diberikan sedikit demi sedikit setelah dinilai sebagai good boy menjalankan semua perintah IMF. Elit bangsa kita memuji perolehan kucuran dana IMF ini, padahal tidak boleh dipakai dan kita harus membayar bunga. Yang lebih sulit dimengerti, sejak kwartal pertama tahun 2001 setiap kali kita menerima beberapa ratus juta dollar, yang dibayar kembali lebih banyak. Sejak tahun 1997 total penerimaan sebesar $ 12 milyar, dan yang sudah dibayarkan $ 3 milyar. Setelah itu terjadi perolehan baru dan pembayaran kembali. Diperkirakan bahwa pada akhir tahun 2003 sisa utang dari IMF sebesar US$ 9 milyar yang jauh melampaui kuota Indonesia yang sekitar US$ 3 milyar. Karena melampaui kuota, walaupun hubungan dengan IMF dalam bentuk Extended Fund Facility (EFF) berakhir, Indonesia masih dikenakan pemandoran oleh IMF yang disebut Post Program Monitoring. Isinya adalah bahwa IMF berhak datang empat kali setahun ke Indonesia untuk melihat apakah kebijakan pemerintah baik, dan apakah dilaksanakan dengan baik. Pendapatnya diumumkan kepada seluruh dunia.
Indonesia lepas dari pemandoran dalam bentuk PPM ini kalau saldo utangnya sama atau lebih kecil dari kuota yang sebesar US$ 3 milyar. Sejak akhir tahun 2003 Indonesia tidak akan menerima utangan lagi, dan mulai mencicil utangnya yang US$ 9 milyar itu. Namun jadwal pembayarannya ditentukan oleh IMF dengan pola yang membuat sisa utang menjadi US$ 3 milyar pada akhir tahun 2007. Jadi kalau tergantung IMF, Indonesia baru bebas dari pemandoran pada akhir tahun 2007.
Mengapa utang IMF yang sebesar US$ 9 milyar itu tidak dilunasi saja? Buat saya waktunya melunasi bukannya pada akhir tahun ini, tetapi sekarang juga. Mengapa? Karena sisa utang IMF yang US$ 9 milyar itu tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisa kita sendiri yang sebesar US$ 25 milyar habis total. Di tahun 1997 cadangan devisa kita sebesar US$ 14,7 milyar dan meningkat terus sampai mencapai US$ 25 milyar. Apa rasionalnya mempertahankan sisa utang yang US$ 9 milyar? Alasan yang dikemukakan oleh para ekonom Indonesia dari kelompok tertentu mengatakan bahwa kalau sisa utang IMF yang US$ 9 milyar dikembalikan, cadangan devisa anjlok dari US$ 34 milyar menjadi US$ 25 milyar. Karena itu kepercayaan masyarakat internasional akan guncang. Alasan lain mengatakan bahwa sisa utang dipertahankan supaya Indonesia dimandori oleh IMF sampai akhir tahun 2007. Menurut mereka, bangsa dan para pemimpin Indonesia tidak dapat bekerja dengan disiplin kalau tidak dimandori oleh orang asing.
Bantahan saya yang saya kemukakan dalam sidang-sidang kabinet dan forum-forum lainnya adalah bahwa yang US$ 9 milyar itu sama sekali tidak boleh dipakai sebelum yang milik sendiri sebesar US$ 25 milyar habis, sehingga kita tidak boleh mengatakan bahwa cadangan devisa kita sebesar US$ 34 milyar. Yang kita katakan adalah bahwa cadangan devisa kita yang di tahun 1997 sebesar US$ 14,7 milyar meningkat terus atas kekuatan sendiri menjadi US$ 25 milyar sekarang ini. Banyak sekali para Duta Besar yang setuju dengan pandangan ini.
Tentang kepercayaan dunia internasional yang akan guncang, marilah kita telaah pola yang mempertahankan sisa utang IMF sebesar US$ 9 milyar. Seperti dikatakan tadi, utang ini adalah second line of defense yang hanya boleh dipakai kalau cadangan sendiri habis total. Telah dikemukakan juga bahwa pola pencicilan utang IMF yang US$ 9 milyar ditentukan oleh IMF dengan saldo utang menjadi US$ 3 milyar di tahun 2007. Supaya utang dari IMF boleh dipakai sebagai balance of payment support, cadangan devisa milik kita sendiri harus habis terlebih dahulu. Katakanlah bahwa cadangan sendiri akan merosot terus setiap bulannya dan habis total di tahun 2007. Menurut pola pembayaran utang yang ditentukan oleh IMF, pada akhir tahun 2007 nanti itu, ketika (dalam pengandaian ini) cadangan devisa kita nol, sisa utang IMF yang boleh dipakai menjadi US$ 3 milyar. Maka yang kita umumkan kepada dunia ketika itu nanti berbunyi : “Wahai masyarakat dunia, cadangan kita habis total, tetapi untunglah masih ada sisa utang dari IMF yang sebesar US$ 3 milyar.” Apakah gambaran cadangan devisa Indonesia yang US$ 3 milyar itu dan itupun hasil utang dari IMF, tidak menghancur- leburkan kepercayaan dunia internasional kepada kita?
Setiap kali saya mengemukakan argumen ini, tidak ditanggapi atau dibantah secara frontal. Didengarkan, dianggap saya tidak pernah mengatakan seperti ini, lalu diulang lagi dengan mengatakan “kalau yang US$ 9 milyar dikembalikan, cadangan devisa akan anjlok dari US$ 34 milyar menjadi US$ 25 milyar dan kepercayaan masyarakat menjadi guncang.
Bayangkan, utang kepada IMF tidak boleh dipakai, tetapi dikenakan bunga sebesar sekitar 4% setahun. Per akhir tahun 2002 bunga yang sudah dibayarkan sebesar US$ 1,75 milyar. Tentang hal ini saya dibantah oleh para pejabat Bank Indonesia. Dikatakan bahwa tingkat bunga yang dibayar sebesar 2,3% saja, dan oleh BI diputarkan menghasilkan 2,6% sehingga memperoleh laba sebesar 0,3%. Saya minta working paper yang menyimpulkan tingkat suku bunga ini. Dijanjikan, tetapi sama sekali tidak pernah diberikan.
Sebaliknya dari data statistik oleh BI sendiri dapat disusun kapan kita menerima utang berapa, kapan kita membayar cicilan berapa dan kapan kita membayar bunga berapa. Dari sini tingkat bunga rata-rata dalam persen dapat dihitung. Saya minta dosen ahli ilmu hitung keuangan dari STIE IBII untuk menghitung tingkat suku bunga atas dasar tabel tersebut. Saya juga minta staf Bappenas dan staf perusahaan Triple A menghitungnya. Semuanya menghasilkan tingkat suku bunga sekitar 4%.
Lebih jelas lagi, dalam salah satu sidang kabinet, Menko Perekonomian mengatakan bahwa tingkat suku bunga untuk utang dari IMF sebesar 4% yang incredibly low. Dalam sidang kabinet itu juga saya katakan bahwa 4% tidak rendah. Kalau kita mendepositokan uang kita dalam bentuk dollar AS di bank manapun juga, bunga deposito yang kita peroleh kurang dari 1% setahun.
Lagi-lagi jalan pikiran orang pandai dan berpendidikan tinggi sudah tidak dapat diikuti oleh nalar yang sederhana, tetapi toh diberlakukan yang sangat membebani keuangan negara yang sudah bangkrut.
Tentang bangsa dan para pemimpin Indonesia yang tidak dapat bekerja tanpa pemandoran oleh orang asing, sehingga yang dibutuhkan bukan uangnya, tetapi pemadorannya. Kalau memang maunya begitu, mengapa tidak dibayar saja sisa utang yang US$ 9 milyar supaya kita bebas membayar bunga, tetapi kita minta supaya dimandori terus saja? Untuk yang se-absurd ini mereka mengerti. Maka ngotot tidak mau mengembalikan utang IMF yang US$ 9 milyar. Untunglah masih ada rasa malu. Tetapi atas biaya logika yang jungkir balik, yaitu harus menipu diri sendiri dengan mengatakan sisa utang US$ 9 milyar perlu sedangkan sebenarnya sama sekali tidak perlu. Selalu dikatakan perlu untuk alibi dalam membela keinginannya dimandori oleh IMF. Tidakkah menyedihkan setelah 58 tahun merdeka? Bukankah ini menyalahi konsensus bangsa Indonesia ketika kita merdeka? Konsensusnya tidak peduli dalam kondisi hancur lebur seperti apapun juga, kita harus merdeka menit ini juga (baca pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 yang terkenal dengan nama “lahirnya Pancasila”). Dalam pembelaannya ketika diadili di Den Haag di tahun 1928 Bung Hatta mengakhiri dengan mengatakan “Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar laut daripada dijajah oleh Belanda.”
Apa hubungan antara patuh kepada IMF dengan korupsi? Mental dan mindset-nya sudah korup, sehingga tidak bisa lagi melihat persoalan dengan jernih, apakah IMF masih ada gunanya ataukah sudah banyak merusak dan akan merusak terus. Mari kita telaah dengan cermat panduan atau bahkan “paksaan” oleh IMF dalam kebijakan pemerintah tentang perbankan. Serentetan kebijakannya mengakibatkan bahwa setiap tahunnya minimal sekitar Rp 80 trilyun anggaran dipakai untuk membiayai perbankan yang tidak pernah menjadi lebih sehat setelah sekitar 5 tahun diberi subsidi sebesar itu. Secara konsepsional bank tidak akan pernah dapat berfungsi sebagai intermediasi yang menjadi hak hidupnya selama perbankan Indonesia nurut dengan cara menghitung kecukupan modal atau CAR yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement (BIS) dan dipaksakan oleh IMF untuk diikuti oleh Indonesia. Kesemuanya ini diterima dan dijalankan sampai saat ini tanpa dapat melihat apa dampaknya buat kita dalam jangka menengahnya.