'

Kategori

Follow Us!

Globalisasi, Liberalisasi, Proteksi, Subsidi dan Berkeley Mafia

Ada tiga buah berita menarik yang mungkin merupakan pertanda akan terjadinya perubahan dalam kebijakan-kebijakan dasar banyak negara kecuali Indonesia.

HILLARY CLINTON

Yang pertama pernyataan calon presiden Amerika Serikat (AS) terkuat Hillary Clinton yang dikutip oleh Financial Times tanggal 3 Desember 2007. Butir-butirnya sebagai berikut.

Saya berpendapat bahwa teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi. Saya setuju dengan ekonom terkenal Paul Samuelson yang mengatakan dan menulis bahwa keunggulan komparatif seperti yang sampai sekarang dipahami dan diyakini tidak berlaku lagi dalam abad ke 21.

Saya menginginkan adanya kebijakan perdagangan yang menyeluruh dan lebih cermat, karena kalau tidak, pilihan kita hanyalah meneruskan apa saja yang telah dirumuskan dan dilakukan oleh Preiden George W Bush. (baca : liberalisasi total).

Dalam kampanyenya Hillary merasakan adanya sikap dari masyarakat yang tidak percaya atau ragu-ragu tentang manfaat dari ekonomi global yang terbuka.

Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya di tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Menyatakan keprihatinannya dan sikap siaga terhadap pembelian perusahaan-perusahaan Amerika oleh pemerintah asing melalui BUMN-nya, termasuk China. Fenomena ini merupakan ancaman bagi kedaulatan ekonomi AS.

Di dalam negeri, Hillary akan menangani ketimpangan yang menurutnya luar biasa besarnya, karena sudah mencapai “the highest level” yang pernah dialami AS sejak tahun 1929. Dalam kurun waktu tersebut seluruh pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh 10 % rakyat yang berpendapatan tinggi, sedangkan pendapatan yang 90 % lainnya menurun terus.

(KKG : Bandingkan sikap Hillary dengan pendirian dan sikap serta kebijakan konkret dari menteri-menteri ekonomi kita)

MAJALAH THE ECONOMIST

Majalah prestisius The Economist terbitan tanggal 8 Desember 2007 meluncurkan cover story dengan judul “The end of cheap food”. Butir-butirnya sebagai berikut.

Antara 1974 – 2005 harga riil makanan di pasar dunia turun dengan 75 %. Karena itu harga makanan tahun ini dirasakan sebagai sangat luar biasa tingginya. Sejak musim semi, harga gandum meningkat dua kali lipat, dan harga semua jenis makanan seperti jagung, susu, minyak nabati semuanya meningkat tajam dalam harga nominalnya. Menurut The Economist Food Price Index, sejak tahun 2005 harga riil makanan meningkat dengan 75 %. Naiknya harga ini akan memicu investasi, tetapi dalam kondisi yang diistilahkan “agflation”, harga makanan masih akan tetap mahal. Ini disebabkan karena susunan diet juga berubah. Penduduk China yang di tahun 1985 makan daging sebanyak rata-rata 20 kg, sekarang menjadi 50 kg. Akibatnya, permintaan dan harga biji-bijian naik tajam. Untuk memproduksi 1 kg. daging dibutuhkan 8 kg. biji-bijian.

Kenaikan harga makanan yang tajam ini karena kebijakan subsidi oleh pemerintah AS yang membabi buta (reckless) untuk produksi ethanol berdasarkan jagung. Mengisi tangki sebuah mobil tipe SUV sama dengan jagung yang dimakan oleh seorang selama satu tahun. 30 juta ton jagung yang dikonversi menjadi ethanol tahun ini saja merupakan 50 % dari menurunnya stok jagung di seluruh dunia.

(KKG : Ternyata pemerintah AS memberikan subsidi yang menurut majalah Economist reckless. Bagaimana sikap para sarjana ekonomi kelompok Berkeley Mafia yang begitu anti subsidi untuk para petani dan nelayannya ?)

Walaupun harga makanan ditentukan oleh permintaan dan penawaran, keseimbangan antara yang baik dan yang jahat tetap banyak tergantung pada kebijakan pemerintah. Kalau para politisi tidak melakukan apa-apa, atau melakukan hal-hal yang salah, dunia akan mengalami kesengsaraan yang lebih hebat, terutama mereka yang tinggal di perdesaan. (KKG : Menurut Berkeley Mafia : The best government is the least government. Mereka juga sering guyonan dengan maksud serius yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Menurut majalah The Economist, peran politik para politisi sangat penting dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Para ekonom Berkeley Mafia beranggapan dan bangga bahwa mereka selalu berhasil mensterilkan kebijakan-kebijakannya dari ideologi politik. Mereka tidak mau disebut “politisi” walaupun dalam arti “negarawan penyelenggara negara”. Mereka bangga disebut “tukang” atau “teknokrat”. Dan yang sangat aneh, Bapak SBY-JK bangga mempunyai menteri-menteri ekonomi yang sama sekali tidak mempunyai afiliasi politik, karena sikapnya yang anti politik dalam kebijakan ekonomi itu dipuji oleh IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Padahal SBY-JK berasal dan menjadi pimpinan nasional karena kekuatan politik.

Apapun yang dirasakan sebagai ancaman dalam bidang keamanan pasokan makanan, kemiskinan di perdesaan, pengelolaan lingkungan, rasanya dunia hanya mempunyai satu solusi, yaitu intervensi oleh pemerintah.

(KKG : Bapak SBY-JK, ini berlawanan dengan pikiran menteri-menteri ekonomi yang mempunyai paham bahwa tidak ada barang dan jasa publik di Indonesia. Semuanya harus merupakan barang dagangan yang pengadaannya tergantung dari para pengusaha yang mau atau tidak maunya berinvestasi didasarkan atas pertimbangan untung rugi. Tengok kebijakannya dalam pembangunan jalan raya bebas hambatan, telekomunikasi, infra struktur, air minum, litsrik, pelabuhan dan masih banyak lagi).

Bagian terbesar dari subsidi dan rintangan perdagangan oleh pemerintah AS telah merupakan biaya yang raksasa skalanya. Trilyunan dollar yang dipakai untuk mendukung para petani di negara-negara kaya menjurus pada pajak yang meningkat, kwalitas makanan yang jelek, monokultur dalam pertanian yang intensif, kelebihan produksi dengan harga dunia yang menghancurkan kehidupan para petani miskin di emerging markets. (KKG : Ternyata mereka memberikan subsidi gila-gilaan ? Menteri-menteri kita merasa bahwa bensin milik rakyat tidak boleh dijual kepada rakyat dengan harga yang lebih rendah dari yang ditentukan oleh NYMEX. Perbedaannya disebut subsidi yang diharamkan. Di negara-negara kaya subsidi diberikan secara reckless.)

Tiga perempat dari orang miskin di dunia hidup di perdesaan. Harga makanan internasional yang ditekan serendah mungkin dengan subsidi bertrilyun dollar selama berpuluh-puluh tahun mempunyai dampak yang sangat merusak. Bagian dari pengeluaran publik di negara-negara berkembang yang dialokasikan pada sektor pertanian turun 50 % sejak tahun 1980. Sudah lama investasi dalam irigasi hampir tidak ada. Negara-negara miskin yang biasanya mengekspor makanan sekarang harus mengimpornya.

ROBERT J. SAMUELSON

Majalah Newsweek terbitan 31 Desember – 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J. Samuelson yang berjudul “Goodbye to Global Free Trade”. Dia mengawali tulisannya dengan semacam teka-teki. Dia bertanya, apa yang sama dari yang berikut ini : (a) Vladimir Putin; (b) mata uang China, renminbi; (c) Perjanjian perdagangan US-Peru; (d) Hugo Chavez. Jawabnya : Mereka semuanya merefleksikan mercantilisme.

Butir-butir dari tulisannya sebagai berikut.

Yang di atas menggambarkan perkembangan runyam dan signifikan yang akan mempengaruhi ekonomi dunia. Walaupun perekonomian negara-negara di dunia saling interdependen, mereka sekaligus juga berkembang ke arah nasionalistik. Mereka memberlakukan kebijakan yang menguntungkan dirinya sendiri atas biaya bangsa-bangsa lain.

(KKG : Tidak begitu di Indonesia. Di sini, oleh elit bangsa yang berkuasa nasionalisme dianggap sudah kuno, keblinger dan buta terhadap perkembangan dunia).

25 % dari pasokan gas Eropa datang dari Russia. Vladimir Putin sudah mulai berbicara tentang pembentukan Kartel Gas. Eropa mulai khawatir bahwa gas akan dijadikan alat penekan oleh Putin. Chavez lebih terang-terangan dan kasar. Chavez menjual minyaknya kepada Cuba dan negara-negara Amerika Latin lainnya yang dianggap sebagai sahabat dengan harga murah. (KKG : Indonesia menjual kepada rakyatnya sendiri yang memiliki minyak dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX).

Terjadi sebuah paradox. Internet dan perusahaan-perusahaan multinasional memperkuat globalisasi, tetapi landasan politiknya melemah.

Dalam memberikan penjelasannya, Samuelson mengutip ilmuwan ilmu politik dari Harvard University, Jeffrey Frieden. Frieden menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah the Great Depression (1929). Faktor kedua adalah perang dingin. Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Kedua-duanya menunjang kebijakan perdagangan bebas. Sekarang kedua faktor tersebut tidak relevan lagi.

Ekonomi dunia yang sedang dalam kondisi booming ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dapat membungkam negara-negara Barat dengan pembelian besar-besaran. Negara-negara Barat tidak terlampau nyaring suaranya melawan China, karena disodori oleh China dengan order-order raksasa. Belum lama ini China memesan 160 pesawat Airbus senilai US$ 15 milyar. (KKG : Beberapa hari setelah Morgan Stanely mengumumkan kerugiannya di tahun 2007 sekitar US$ 11 milyar, China membeli saham-saham Morgan Stanley sebanyak 8 % dengan harga US$ 5 milyar. Ini terjadi setelah Hillary Clinton menyatakan kejengkelannya terhadap pembelian perusahaan Amerika oleh BUMN asing.)

(KKG : Alangkah bedanya dengan menteri-menteri Berkeley Mafia kita yang mengemis supaya investor asing, tanpa peduli apakah mereka BUMN atau tidak, membeli apa saja di Indonesia, termasuk yang vital seperti Indosat, Telkom, infra struktur, pembangkit listrik, air bersih, menggali mineral dengan kontrak yang tidak transparan).

Di Amerika Serikat, pola perdagangan global dewasa ini disikapi dengan permusuhan (hostility) yang meningkat.

BERKELEY MAFIA

Buat para ekonom Berkeley Mafia, semua yang ditulis di atas omong kosong. Kebijakan mereka hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa peduli terjadinya ketimpangan yang semakin besar dan semakin anti kemanusiaan antara yang kaya dan miskin, antara perkotaan dan perdesaan, antara usaha besar dan menengah-kecil dan sebagainya. Mereka juga tidak membedakan antara Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Nasional Bruto (PNB). Mineral yang dikeduk oleh investor asing dan menjadi miliknya dihitung ke dalam PDB, tetapi tidak ke dalam PNB. Yang dibanggakan oleh para teknokrat Berkeley Mafia bukan pembangunan oleh bangsa Indonesia, tetapi pembangunan di Indonesia oleh investor asing dengan manfaat terbesar buat bangsa asing (Sri-Edi Swasono).

Sejak tahun 1967 para ekonom memegang tampuk pimpinan kebijakan ekonomi tanpa putus kecuali era Gus Dur yang sangat pendek itu. Begitu kepresidenan jatuh ke tangan putrinya Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, seluruh kekuasaan ekonomi diberikan kepada Berkeley Mafia. Sehari sebelum susunan kabinet diumumkan, putra kandung Bung Karno, Guruh Soekarnoputra bersama-sama dengan saya berdebat dengan Presiden Megawati yang mempertanyakan mengapa para ekonom yang Berkeley Mafia, dan jelas bertentangan dengan pikiran-pikirannya Bung Karno dan pikiran-pikirannya PDIP yang justru diberi kekuasaan ekonomi ? “Gugatan” ini tidak diugbris. Di bawah pimpinan para menteri Berkeley Mafia, semua kebijakan ekonominya memang mengekor IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang anti rakyat kecil. Apakah ini yang menyebabkan terpuruknya perolehan suara PDIP yang belakangan ini diakui oleh Taufik Kiemas dan Puan Maharani ?

Semua kerusakan keuangan negara dari BLBI beserta rentetannya yang membuat keuangan negara bangkrut dilandasi oleh kebijakan-kebijakan menteri-menteri yang berasal dari Berkeley Mafia. Kalau ada kebutuhan dan diizinkan oleh Redaksi KoranInternet saya akan memaparkannya secara panjang lebar dalam bentuk serial, dan secara teknis yang mendetil.

Sekarang, ketika tokoh-tokoh dunia mulai tidak percaya pada pengaruh positif globalisasi dan liberalisasi, dan sedang mencari-cari jalan lain, Berkeley Mafia masih menganggap liberalisasi yang sejauh-jauhnya dan yang sedalam-dalamnya sebagai “agama”. Demikian juga dengan mekanisme pasar primitif dengan campur tangan pemerintah yang palig minimal.

Ruud Lubbers, guru besar di Harvard University dalam bidang Globalisasi telah lama mengenali kelemahan mendasar dari globalisasi. Pada dasarnya globalisasi adalah mekanisme pasar yang diterapkan di seluruh dunia. Kita mengetahui bahwa mekanisme pasar memang sangat bagus dan efisien serta tidak ada tandingannya. Tetapi harus ada pemerintah dengan kekuasaan yang dapat memaksa untuk membuat rambu-rambu yang menjaga agar pemerataan dan keadilan terwujud secara optimal.

Dunia belum dan rasanya tidak akan mempunyai satu pemerintah yang mempunyai kekuasaan memaksa seluruh umat manusia di dunia. Tetapi mekanisme pasarnya harus diberlakukan secara mutlak di seluruh dunia. Mana mungkin ? Tampaknya ketegangan-ketegangannya mulai muncul sekarang seperti yang disuarakan oleh Hillary Clinton, Paul Samuelson, Robert Samuelson dan majalah The Economist.

Sekali lagi petanyaan kepada Bapak SBY-JK : Masih percayakah Bapak-Bapak pada menteri-menteri ekonomi Bapak bahwa mereka memang cemerlang dalam bidang pengurusan ekonomi negara ? Mereka ini mesti menguasai kebijakan ekonomi RI, siapapun Presidennya. Maka mereka tidak peduli dan tidak mau tau tentang arah kebijakan yang pro bangsa sendiri, apalagi pro rakyat banyak. Mereka mempunyai track record yang panjang dengan sikap dan perilaku yang hanya mengekor saja pada IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

There are no responses so far

Leave a Reply