'

Kategori

Follow Us!

ERA ORDE BARU, SEBUAH REFLEKSI (Artikel 1)

Wafatnya Pak Harto menimbulkan berbagai refleksi tentang jasa-jasa maupun dosa-dosanya.

Salah satu bidang yang direfleksikan adalah bidang ekonomi. Banyak yang menilai bahwa Pak Harto sangat berhasil dalam membangun ekonomi bangsa Indonesia. Indikator terpenting dari keberhasilan yang ditonjolkan adalah sebagai berikut :

Menurunkan inflasi 600% sampai menjadi inflasi yang “normal”.
Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh dengan rata-rata 7% per tahun.
Ekonomi dibangun sebagai dua unsur dari Trilogi, yaitu pertumbuhan dan pemerataan. Satu unsur lainnya Stabilitas yang sangat dibutuhkan untuk mengatur ekonomi dengan terencana dan mantap.

Saya akan membatasi diri pada memberikan ulasan tentang ekonomi sebagai berikut.

Inflasi dan Tingkat Suku Bunga

Pertama tentang penurunan tingkat inflasi yang mencapai 600%. Inflasi atau bahkan kerusakan yang luar biasa hebatnya dan setelah ditangani membaik drastis, sebenarnya juga terjadi di mana-mana. Contoh yang paling hebat adalah Jerman setelah kalah Perang Dunia kedua. Setiap kali terjadi kekalutan sosial politik, inflasi melambung. Tentu ada faktor salah urus ekonomi. Tapi inflasi yang sampai 600% tidak mungkin karena kelangkaan barang semata. Faktor psikologis memegang peran sangat penting. Semakin ekstrem kerusakannya, semakin mudah menjadikannya “normal” kembali. Mengapa? Karena kerusakan yang sama sekali tidak masuk akal itu penyebab yang paling utama adalah faktor psikologi. Dengan berubahnya pimpinan baru dalam kondisi yang sangat kalut, kepercayaan rakyat langsung saja kembali. Lantas faktor teknis ialah “digerojoknya” uang oleh sebuah klub yang khusus dibentuk untuk memberikan utang kepada Indonesia, yaitu IGGI. Dengan kesemuanya ini, apakah kita boleh mengatakan bahwa tingkat inflasi selama 32 tahun itu memang normal? Yang kita alami, tingkat inflasi rata-rata selama 32 tahun di atas 10%, sedangkan di negara-negara yang normal selalu jauh di bawah 10%. Utang luar negeri juga mempunyai potensi pengekangan kemandirian yang akan diuraikan lebih lanjut.

Inflasi erat hubungannya dengan tingkat suku bunga. Selama Orde Baru, tingkat bunga yang harus dibayar oleh dunia usaha untuk kredit yang diperolehnya untuk jangka waktu sangat lama di atas 20%. Di negara-negara yang normal, yaitu Eropa dan Amerika Serikat, yang para pemimpinnya memuji Tim Ekonomi-nya pak Harto, inflasinya sangat rendah, rata-rata di bawah 5%.

Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB)

Sekarang tentang pertumbuhan ekonomi. Kita menggunakan istilah Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP), bukan istilah Produk Nasional Bruto atau Gross National Product (GNP). Apa beda antara dua istilah ini? GDP adalah produksi yang berlangsung di wilayah Republik Indonesia, termasuk produksi yang dilakukan oleh investor asing. Sebagai contoh, kalau ada investor asing besar yang melakukan investasi sangat besar dalam bidang pertambangan, hasil tambang yang dikeduk dari perut bumi Indonesia adalah miliknya investor asing. Indonesia kebagian pajak dan royalty. Tetapi produk mineral yang dikeduk dan dibawa keluar Indonesia dicatat sebagai GDP yang rata-rata 7% itu. Bagaimana pembagian manfaat yang persis dari hasil pembangunan selama Orde Baru antara bangsa Indonesia dan bangsa asing tidak pernah dihitung.

Sebagai contoh, minyak yang begitu penting dan strategis artinya sebesar 85% dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Pertamina hanya 15%. Lantas kontrak bagi hasil yang formulanya 85% untuk Indonesia dan 15% untuk kontraktor asing nyatanya sampai sekarang pembagiannya 60% untuk bangsa Indonesia dan 40% untuk para perusahaan-perusahaan minyak asing itu. Alasannya karena cost recovery. Kok tidak habis-habis sampai sekarang?

Kalau ada investor asing besar mengeduk mineral yang mahal, mineral ini masuk ke dalam GDP yang 7% rata-rata itu. Tetapi barangnya milik asing, dan kalau diekspor, dicatat sebagai ekspor Indonesia yang meningkat. Oleh karena itu Prof. Sri-Edi Swasono menyebutnya “Pembangunan di Indonesia”, bukan “Pembangunan oleh Bangsa Indonesia”.

Pemerataan : Pemberdayaan Rakyat Kecil dan Pemberantasan Kemiskinan

Tidak dapat diingkari bahwa selama era Orde Baru memang ada upaya-upaya pemberantasan kemiskinan atau lebih baik pengurangan penderitaan dalam bentuk Puskesmas, Beras Miskin, Posyandu dan sejenisnya.

Juga ada upaya-upaya dalam bentuk berbagai macam kredit untuk UKM seperti Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Candak Kulak.

Orde Baru juga menghasilkan Undang-Undang Anti Monopoli dan Undang-Undang Usaha Kecil sebagai rambu-rambu agar mekanisme pasar tidak terjerumus pada ekses-ekses dari free fight liberalism.

Namun kekuatan-kekuatan yang mendorong ke arah cut throat competition dan free fight liberalism jauh lebih kuat atas pengaruh lembaga-lembaga internasional beserta perusahaan-perusahaan multinasional raksasa yang langsung memegang leher bangsa Indonesia di Jenewa dalam bulan November 1967, yang lengkapnya akan diuraikan dalam bab tersendiri dalam tulisan ini.

Itulah sebabnya bahwa walaupun ada berbagai program tersebut yang dikembangkan, posisi dari Usaha Kecil Menengah (UKM) dibandingkan dengan usaha besar luar biasa timpangnya seperti yang digambarkan dalam bab berikut ini.

Pemerataan : Peran Usaha Kecil Menengah (UKM)

Banyak indikator tentang apakah pemerataan tercapai atau tidak. Buat saya yang terpenting adalah peran UKM, karena mereka pencipta lapangan kerja. Kecuali itu, kebijakan yang pro keadilan dan pemerataan hasilnya juga harus tercermin dalam bentuk keadilan dan kewajaran serta kepatutan dalam pembagian kenikmatan dan beban antara perusahaan besar dan UKM. Mari kita lihat angka-angkanya per tahun 2000. Sampai sekarang angka-angka ini tidak banyak berubah, mungkin bahkan memburuk dengan tutupnya begitu banyak industri sangat kecil yang kesulitan BBM, kedelai dan gandum, ditambah dengan saingan dari China yang dahsyat.

Secara empirik, peran UKM dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional cukup signifikan. Dari sekitar Rp.35,2 triliun tambahan produk domestik bruto (PDB) yang terbentuk selama periode 1998-2001, maka lebih dari separuh kenaikannya (56,2% atau Rp.19,8 triliun) disumbangkan oleh UKM . Menurut sektornya, pada periode yang sama, maka di sektor perdagangan, UKM menyumbang 89,9% dan di sektor jasa menyumbang 65,3% dari tambahan PDB yang terbentuk. Bahkan di sektor keuangan, sementara lembaga keuangan menengah dan besar mengalami penurunan nilai tambah, masing-masing sebesar 1,7% dan 2,0%; maka lembaga keuangan kecil justru mengalami peningkatan nilai tambah (PDB), yaitu sebesar 2,0%. Sedangkan secara relatif, kenaikan nilai tambah UKM di sektor industri pengolahan (16,6%) lebih besar dibanding usaha besar (15,4%).

Dari total tambahan lapangan kerja yang tercipta selama periode 1998 – 2001, usaha kecil dan usaha menengah masing-masing menyerap 7,9 juta dan 1,0 juta tenaga kerja, sedangkan usaha besar hanya menyerap tambahan tenaga kerja sebesar 41,7 ribu. Di sektor industri pengolahan, tambahan lapangan kerja yang diciptakan oleh industri kecil dan menengah sangat besar, yaitu masing-masing 2,6 juta dan 0,4 juta; sedangkan industri besar hanya menciptakan 28,3 ribu tambahan lapangan kerja. Demikian pula di sektor lainnya seperti perdagangan dan jasa, tambahan lapangan kerja yang diciptakan oleh usaha kecil juga sangat besar dibandingkan dengan skala usaha besar, yaitu masing-masing sekitar 3,3 juta dan 1,1 juta.

Secara keseluruhan, dalam periode yang sama produktivitas usaha dari usaha kecil cukup bertahan (tetap di sekitar Rp.4,2 juta per unit usaha), sedangkan produktivitas usaha dari usaha menengah dan besar mengalami penurunan, masing-masing dari Rp.1,24 miliar dan Rp.85,85 miliar di tahun 1998 menjadi Rp.1,23 miliar dan Rp.82,4 miliar per unit usaha di tahun 2001. Sementara itu, produktivitas tenaga kerja di usaha kecil, menengah, maupun besar mengalami penurunan.

Angka-angka tersebut mengungkapkan bahwa yang menggerakkan ekonomi kita selama resesi ini adalah kekuatan ekonomi rakyat yang disebut usaha kecil dan mikro yang jumlahnya sekitar 39 juta. Boleh dikatakan merekalah yang dalam kondisi kehancuran perbankan mampu membuat ekonomi tumbuh dengan 4,8% di tahun 2000 dan akan tumbuh terus. Bagian terbesar perusahaan kecil dan menengah ini sama sekali tidak melakukan kejahatan, tidak berdosa apapun juga, sehingga hampir tidak mempunyai kredit macet (relatif kecil). Kelompok inilah yang mencerminkan wujud nyata kehidupan bagian terbesar rakyat Indonesia yang mempunyai potensi luar biasa untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian ekonomi nasional.

Namun demikian ditinjau dari sudut keadilan dalam pembagian pendapatan, masih terjadi kesenjangan yang sangat besar. Andil UKM rata-rata secara individual masih sangat kecil dibandingkan dengan usaha besar. Definisi Usaha Kecil di Indonesia adalah usaha yang mempunyai omset kurang dari Rp.1 milyar setahun, dan usaha menengah yang mempunyai omset lebih dari Rp.1 milyar tetapi kurang dari Rp.50 milyar.

Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa jumlah perusahaan seluruhnya di Indonesia adalah 36,8 juta. Dari jumlah ini yang tergolong Usaha Menengah Kecil (UKM) sebesar 99,9%. Jumlah perusahaan-perusahaan besar hanya 1.831 buah atau 0,01%. Tetapi andilnya dalam pembentukan PDB sebesar 40,64%. Yang 99,99% dari jumlah perusahaan bertanggung jawab atas 59,36% dari PDB.

Ditinjau dari sudut jumlah perusahaan, UKM merupakan 99.9% dari seluruh jumlah perusahaan di Indonesia. Ditinjau dari sudut penampungan angkatan kerja, UKM menampung 99,44% dari angkatan kerja yang ada.

Tetapi kalau andil UKM dalam pembentukan Produk Domestik Bruto atau PDB yang diambil, sangat tidak proporsional. UKM yang merupakan 99,9% dari jumlah perusahaan, andilnya dalam pembentukan PDB sebesar 59% atau Rp.638 trilyun. Usaha besar yang merupakan 0,01% dari seluruh jumlah perusahaan memberikan andil sebesar 41% terhadap PDB atau Rp.437 trilyun.

Kalau kita ambil rata-ratanya, setiap UKM membentuk PDB senilai Rp.638 trilyun setiap tahunnya, sedangkan Usaha Besar yang hanya 0,01% membentuk PDB sebesar Rp.437 trilyun. Diambil rata-ratanya, andil perusahaan-perusahaan besar dalam pembentukan PDB adalah Rp.238,7 milyar per tahun per perusahaan, sedangkan UKM sebesar rata-rata Rp.17 juta per tahun per perusahaannya. Ini berarti bahwa andil per perusahaan besar dalam pembentukan PDB adalah 13.770 kali lipat dari andil UKM.

Mengapa andil dalam pembentukan PDB begitu penting? Karena andil dalam pembentukan PDB kurang lebihnya mencerminkan pendapatan. Dapat kita bayangkan betapa timpangnya pendapatan rata-rata dari UKM dibandingkan dengan perusahaan berskala besar.

Kesadaran ini ada pada setiap pemerintah, termasuk pemerintah Orde Baru. Dalam masa Orde Baru itu, berbagai program untuk UKM dikembangkan seperti Kredit Investasi Kecil atau KIK, Kredit Usaha Kecil atau KUK, Kredit Modal Kerja Permanen atau KMKP, Pola Inti Rakyat atau PIR, pola kemitraan, pengembangan modal ventura dan masih ada beberapa lagi.

Tetapi seperti yang dapat kita lihat, pendapatan nasional yang jatuh pada UKM kecil. Bukan hanya pendapatannya yang kecil. Pendapatan yang kecil dibarengi dengan andil yang sangat besar dalam reselience atau kekenyalan atau ketahanan ekonomi nasional.

Apakah pemujaan dalam bidang kesuksesan pembangunan ekonomi oleh Orde Baru justified kalau kita melihat angka-angka tersebut tadi?

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan memberikan komentar atau berlangganan RSS feed untuk menyebarkan ke pembaca feed anda.

One response to "ERA ORDE BARU, SEBUAH REFLEKSI (Artikel 1)"

  1. Dono November 28th, 2011 15:51 pm Balas

    Yth Bpk Kwik Kian Gie
    Nama saya dono firman
    Email saya d_firman@yahoo.com
    Saya apakah bisa mendapat nomer telp atau email bapak?
    Sebab teman saya salah satu BEM unibraw berkepentingan mengundang bapak pada acara di kampus malang jawa timur
    Sedangkan saya berdomisili di sydney juga memiliki kepentingan dengan bapak. Terima kasih Gbu.

Leave a Reply